DENPASAR, BALI EXPRESS -Seorang wanita berinisial EL, 27, mengaku dipaksa mengaborsi anaknya oleh pria berinisial F, 28, saat masih berpacaran. Tindakan tersebut dinilai sebagai percobaan pembunuhan, dan pria itu dilaporkan ke Unit PPA Satreskrim Polresta Denpasar.
EL yang didampingi kuasa hukumnya Siti Sapura, membeberkan kasus tersebut di Denpasar, Kamis (2/2). Mewakili kliennya, Siti Sapura mengatakan pihaknya melaporkan F pada Desember 2022, atas dugaan percobaan pembunuhan atau percobaan aborsi dengan Pasal 53 ayat 1 KUHP jo Pasal 338 KUHP jo Pasal 75 Ayat 1 UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Penyidik pun telah memeriksa keterangan EL dan kedepannya disebut akan memanggil dokter yang sempat diminta untuk melakukan aborsi di klinik.
“Ancaman hukumannya sampai sembilan tahun. Ketika hamil, anak yang dikandung memiliki hak dilahirkan ke dunia, tapi ayah dari anak tersebut berinisial F ingin mengambil hak hidup anak tersebut, jadi tidak ada alasan pembenar jika dianggap ini unsurnya tidak masuk,” ujar wanita yang akrab disapa Ipung itu.
Pengacara yang juga aktivis perempuan dan anak ini pun menerangkan sejatinya tak ingin memenjarakan F. Pihaknya hanya menunggu itikad baik dari pria pemilik toko emas di Jalan Hasanudin Denpasar itu dan keluarganya untuk bertanggung jawab dengan mengakui anak yang dikandung EL sebagai anaknya, serta membuatkan akta kelahiran bagaimanapun caranya. Karena pada intinya, pihaknya ingin anak tersebut tahu bahwa memiliki ayah dan ibu. Jika tidak, maka proses hukum akan terus ditempuh.
Sementara it,, EL menceritakan kisahnya dari awal sampai masalah ini terjadi. Dimulai ketika wanita ini berpacaran dengan F sejak 2018, hingga akhirnya EL hamil pada 2021. Tapi saat dikomunikasikan dengan F, respon pria itu dirasa tidak baik. Bahkan dari awal berusaha mencari cara untuk mengakhiri kandungan tersebut melalui temannya yang seorang bidan. “Dia negosiasi sama saya untuk minum obat-obatan untuk menggugurkan,” ucapnya. Namun, EL tidak mau aborsi dan merasa takut.
Kemudian ia dipertemukan dengan kedua orang tua F. Sayangnya respon yang didapat sama saja. Kedua orang tua F meminta EL untuk mengaborsi juga dan bersedia mencarikan dokter terbaik dan paling mahal untuk melakukannya. Wanita itu tetap saja tak mau. Lalu, diadakan pertemuan keluarga besar antara kedua orang tua EL dan orang tua F untuk mencari jalan tengah yang terbaik dengan hasil buntu.
Setelah itu, sempat tidak ada komunikasi antara kedua belah pihak. Berselang dua bulan, F datang menemui EL lagi, dan mengajak kontrol kandungan. Pria itu mengiming-imingi EL untuk menikah di luar Bali, tepatnya Malang Jawa Timur.
Wanita itu berpikir F sudah terketuk pintu hatinya untuk sang anak. Tetapi setelah dua minggu F berubah pikiran lagi dengan mengatakan agar mereka menikah di KUA di Bali saja. Karena saat itu keadaan kandungan EL mulai membesar, maka dirinya mengiyakan tawaran tersebut.
“Karena kecamatan kami berbeda, saya di Denut (Depasar Utara) dan F di Denbar (Denpasar Barat), maka kami mengurus surat-surat kami masing-masing, urus surat pengajuan pernikahan,” tambahnya.
Setelah surat untuk diajukan ke KUA lengkap, berkas milik F malah ditahan oleh ayahnya dan diberi solusi agar menikah siri saja. Hal itu membuat EL stres dan syok, sampai empat kali mengalami pendarahan di usia kandungan yang menginjak enam bulan.
Maka setelah berembug dengan keluarga, EL menerima permintaan nikah siri. Mirisnya saat diadakan pertemuan dengan pihak F yang membawa pengacara untuk membahas pernikahan siri tersebut, topik yang dibahas malah berbeda lagi.
Pihak F meminta tes DNA saat anak itu lahir. Jika terbukti, baru F akan tanggung jawab. Tindakan tersebut tentu membuat EL dan keluarganya sakit hati. Singkat cerita setelah sang anak berjenis kelamin perempuan lahir, ayah EL mengajak bayi itu bertemu keluarga F guna melakukan tes DNA. Tapi tak ada orang di rumah F, hanya pembantunya saja.
Berikutnya pengacara F menemui orang tua EL untuk membahas tes DNA, dan kedua pihak mengatur jadwal lagi. Ironisnya saat bertemu kembali, pengacara itu langsung menawarkan uang Rp 100 juta. “Pengacara itu bilang bagaimana kalau Rp 100 juta, ayah saya langsung tanya, kok Rp 100 juta, katanya kalau lahir mau tes DNA, tapi kenapa malah mau memberi uang seperti itu, ayah saya tak terima,” tuturnya sambil berurai air mata.
EL pun mengambil langkah dengan mengadu ke P2TP2A Denpasar untuk menemukan solusi. Diadakan mediasi yang hasilnya pihak F tetap tidak mau mengakui anak, ataupun tidak mau tes DNA. Mereka hanya bersedia memberi uang Rp 150 juta dengan dalih tali kasih, tapi intinya putus hubungan atau minta jangan ganggu pihak mereka lagi.
“Dalam pertemuan keluarga saya dan keluarga besar F, pria itu sempat bilang tidak mau saya melahirkan anak yang saya kandung. Dia mengakui itu anaknya, tapi akan membawa aib baginya kalau lahir ke dunia,” katanya.
EL menegaskan kalau memang pihak F takut tentang dirinya mengambil uang dari keluarga mereka, maka EL bersedia membuat kesepakatan hitam di atas putih. Bahwa wanita itu tidak akan menuntut sepeser pun dari keluarga F, tapi akuilah anaknya. Karena anak itu berhak tahu siapa ibu dan siapa ayahnya. Karena sampai sekarang tak ada jalan keluar, maka jalan satu-satunya dengan menempuh proses hukum.