26.5 C
Denpasar
Sunday, April 2, 2023

Jelang Eksekusi Lahan di Desa Adat Taro Kelod

Bingung Mau Tinggal Dimana, Suardika Mohon Perlindungan ke Polda Bali

GIANYAR, BALI EXPRESS – Pasca vonis 8 bulan untuk prajuru Desa Adat Taro Kelod atas kasus pencabutan penjor, eksekusi lahan atas perkara perdata yang menuai sebelumnya menuai pro dan kontra di desa setempat, juga rencananya akan digelar, Rabu (8/3). Bahkan anak dari I Nyoman Sabit, I Wayan Suardika kini menempuh upaya hukum sekaligus memohon perlindungan ke Kapolda Bali, agar eksekusi ditunda.

 

Didampingi kuasa hukumnya, I Wayan Suardika  menerangkan bahwa selama perkara yang menyangkut tanah yang ditempatinya sejak lahir itu bergulir, dirinya tidak pernah dilibatkan. Padahal dalam tanah  pekarangan yang ditempatinya itu selama ini dijadikan tatakan ayahan keluarganya sebagai Krama Desa Adat Taro Kelod. “Sebagai anak satu-satunya  dari I Nyoman Sabit, saya juga memiliki hak dan kewajiban adat. Karena tidak pernah dilibatkan dalam perkara ini, keberadaan saya seakan tidak ada. Untuk itu saya mencoba mendapatkan keadilan,” tegasnya Senin (6/3).

Disamping mengajukan upaya hukum, melalui kuasa hukumnya, Suardika juga mengaku  akan meminta perlindungan hukum ke Kapolda Bali. Ia berharap bisa mendapatkan perlindungan dan pelaksanaan eksekusi ditunda. “Saya bersurat ke Polda Bali dan berharap upaya hukum yang saya lakukan ini mendapat perlindungan.   Saya memohon agar Bapak Kapolda  mempertimbangkan agar jajarannya menunda pelaksanaan eksekusi hingga gugatan saya mempunyai kekuatan hukum,” imbuhnya.

Sementara itu, kuasa hukum Suardika, I Nyoman Astana dan Ika Nedy menuturkan jika  kliennya  adalah pihak  yang sangat dirugikan oleh Putusan Pengadilan Negeri dalam Perkara Perdata Nomor : 74/Pdt.G/2017/Pn.Gin. Sebab selama ini tidak pernah dilibatkan sebagai pihak.  Sehingga kliennya berhak untuk mengajukan perlawanan  terhadap Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Gianyar tanggal I Maret 2023 Nomor : 74/Pen. Eks.Pdt/2017/Pn.Gin jo Nomor : 74/Pdt.G/2017/Pn.Gin mengenai sita eksekusi atas sebidang tanah  yang kini ditempati kliennya.

Baca Juga :  Terlilit Kasus Korupsi, Mantan Perbekel Baha Dituntut Lima Tahun

“Jadi Pak Suardika ini adalah anak kandung dari I Nyoman Sabit yang sejak lahir, tumbuh di Tanah Pekarangan Desa (PKD) milik Desa Adat Taro Kelod. Jadi hak-hak Keperdataannya juga harus dilindungi. Dan sebagai anak laki-laki satu-satunya dari  I Nyoman Sabit,  Pak Suardika juga menjadi tulang punggung keluarga yang kehidupannya serba kekurangan.  Mulai dari pemenuhan papan, sandang dan pangan. Bahkan dua bangunan rumah, masing-masing bangunan Bale Bedaja dengan ukuran  4 meter x 5 meter serta bangunan rumah Kaja Kauh dengan ukuran 3 meter x 4 meter adalah  bangunan yang dibangun oleh Suardika. Jadi kalau eksekusi dilakukan, keluarga ini bingung mau tinggal dimana,” bebernya.

Termasuk juga bangunan suci di merajan atau sanggah keluarga di atas Objek Eksekusi adalah  harta warisan bersama yang menjadi tanggung jawab dari kliennya. Atas dasar itulah, pihaknya memohon  ke Kapolda Bali, agar  hak-hak keperdataan I Wayan Suardika juga dilindungi. Yakni dengan menunda pelaksanaan eksekusi  atas Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Gianyar tanggal I Maret 2023 Nomor : 74/Pen. Eks.Pdt/2017/Pn.Gin jo Nomor : 74/Pdt.G/2017/Pn.Gin.

“Lebih-lebih dalam objek sengketa terdapat pura keluarga atau merajan yang merupakan harta warisan yang menjadi tanggungjawab dari klien kami. Kalau dilakukan pembongkaran harus diawali prosesi upacara Penggingsiran dan pralina, tidak bisa begitu saja,” pungkas Astana.

Baca Juga :  Dinas PUPR Rancang Master Plan Tata Kawasan Pantai Sanur

Sebelumnya diberitakan bahwa persoalan itu tidak terlepas dari sejarah Desa Adat Taro Kelod, yang dibangun sebelum Indonesia merdeka. Dimana desa tersebut dibangun oleh 50 Kepala Keluarga (KK). Dan hingga saat ini keturunan masih menempati karang ayah atau lahan adat seperti pertama kali desa ini dibangun.

 

Kemudian, seiring berjalannya waktu, karang ayahan milik seorang krama bernama I Sabit, diklaim oleh krama bernama I Ketut Warka. I Sabit yang termasuk krama kurang mampu ini digugat di pengadilan. Dan dalam persidangan I Sabit kalah, sehingga diminta meninggalkan tanah tersebut oleh Warka. Ketika itulah desa adat turun tangan, dan mengungkap bahwa dalam persidangan, Warka membawa saksi palsu.

 

Disisi lain, untuk Warka, menurutnya terlalu banyak melakukan kesalahan, dan setiap teguran tidak pernah dihiraukan, sehingga krama adat tidak bisa lagi mengajak yang bersangkutan sebagai krama Desa Adat Taro Kelod.  Maka dari itu, tanah adat yang ditempati Warka terpaksa diminta kembali. Apalagi peringatan telah diberikan pihak adat sejak tahun 2019 lalu. Sampai kemudian pihak adat melakukan eksekusi terhadap tanah yang ditempati Warka. Hal ini pula yang memicu terjadinya kasus pencabutan penjor milik Warka oleh sejumlah prajuru adat yang berujung pada ditetapkannya 7 orang prajuru adat Desa Adat Taro Kelod sebagai tersangka bahkan kini telah divonis 8 bulan penjara. (ras)


GIANYAR, BALI EXPRESS – Pasca vonis 8 bulan untuk prajuru Desa Adat Taro Kelod atas kasus pencabutan penjor, eksekusi lahan atas perkara perdata yang menuai sebelumnya menuai pro dan kontra di desa setempat, juga rencananya akan digelar, Rabu (8/3). Bahkan anak dari I Nyoman Sabit, I Wayan Suardika kini menempuh upaya hukum sekaligus memohon perlindungan ke Kapolda Bali, agar eksekusi ditunda.

 

Didampingi kuasa hukumnya, I Wayan Suardika  menerangkan bahwa selama perkara yang menyangkut tanah yang ditempatinya sejak lahir itu bergulir, dirinya tidak pernah dilibatkan. Padahal dalam tanah  pekarangan yang ditempatinya itu selama ini dijadikan tatakan ayahan keluarganya sebagai Krama Desa Adat Taro Kelod. “Sebagai anak satu-satunya  dari I Nyoman Sabit, saya juga memiliki hak dan kewajiban adat. Karena tidak pernah dilibatkan dalam perkara ini, keberadaan saya seakan tidak ada. Untuk itu saya mencoba mendapatkan keadilan,” tegasnya Senin (6/3).

Disamping mengajukan upaya hukum, melalui kuasa hukumnya, Suardika juga mengaku  akan meminta perlindungan hukum ke Kapolda Bali. Ia berharap bisa mendapatkan perlindungan dan pelaksanaan eksekusi ditunda. “Saya bersurat ke Polda Bali dan berharap upaya hukum yang saya lakukan ini mendapat perlindungan.   Saya memohon agar Bapak Kapolda  mempertimbangkan agar jajarannya menunda pelaksanaan eksekusi hingga gugatan saya mempunyai kekuatan hukum,” imbuhnya.

Sementara itu, kuasa hukum Suardika, I Nyoman Astana dan Ika Nedy menuturkan jika  kliennya  adalah pihak  yang sangat dirugikan oleh Putusan Pengadilan Negeri dalam Perkara Perdata Nomor : 74/Pdt.G/2017/Pn.Gin. Sebab selama ini tidak pernah dilibatkan sebagai pihak.  Sehingga kliennya berhak untuk mengajukan perlawanan  terhadap Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Gianyar tanggal I Maret 2023 Nomor : 74/Pen. Eks.Pdt/2017/Pn.Gin jo Nomor : 74/Pdt.G/2017/Pn.Gin mengenai sita eksekusi atas sebidang tanah  yang kini ditempati kliennya.

Baca Juga :  Diduga Dihipnotis, Uang Puluhan Juta Warga Kerambitan Raib

“Jadi Pak Suardika ini adalah anak kandung dari I Nyoman Sabit yang sejak lahir, tumbuh di Tanah Pekarangan Desa (PKD) milik Desa Adat Taro Kelod. Jadi hak-hak Keperdataannya juga harus dilindungi. Dan sebagai anak laki-laki satu-satunya dari  I Nyoman Sabit,  Pak Suardika juga menjadi tulang punggung keluarga yang kehidupannya serba kekurangan.  Mulai dari pemenuhan papan, sandang dan pangan. Bahkan dua bangunan rumah, masing-masing bangunan Bale Bedaja dengan ukuran  4 meter x 5 meter serta bangunan rumah Kaja Kauh dengan ukuran 3 meter x 4 meter adalah  bangunan yang dibangun oleh Suardika. Jadi kalau eksekusi dilakukan, keluarga ini bingung mau tinggal dimana,” bebernya.

Termasuk juga bangunan suci di merajan atau sanggah keluarga di atas Objek Eksekusi adalah  harta warisan bersama yang menjadi tanggung jawab dari kliennya. Atas dasar itulah, pihaknya memohon  ke Kapolda Bali, agar  hak-hak keperdataan I Wayan Suardika juga dilindungi. Yakni dengan menunda pelaksanaan eksekusi  atas Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Gianyar tanggal I Maret 2023 Nomor : 74/Pen. Eks.Pdt/2017/Pn.Gin jo Nomor : 74/Pdt.G/2017/Pn.Gin.

“Lebih-lebih dalam objek sengketa terdapat pura keluarga atau merajan yang merupakan harta warisan yang menjadi tanggungjawab dari klien kami. Kalau dilakukan pembongkaran harus diawali prosesi upacara Penggingsiran dan pralina, tidak bisa begitu saja,” pungkas Astana.

Baca Juga :  Ayah-Anak Tertimpa Pohon Saat Naik Motor di Seraya, Si Bungsu Tewas

Sebelumnya diberitakan bahwa persoalan itu tidak terlepas dari sejarah Desa Adat Taro Kelod, yang dibangun sebelum Indonesia merdeka. Dimana desa tersebut dibangun oleh 50 Kepala Keluarga (KK). Dan hingga saat ini keturunan masih menempati karang ayah atau lahan adat seperti pertama kali desa ini dibangun.

 

Kemudian, seiring berjalannya waktu, karang ayahan milik seorang krama bernama I Sabit, diklaim oleh krama bernama I Ketut Warka. I Sabit yang termasuk krama kurang mampu ini digugat di pengadilan. Dan dalam persidangan I Sabit kalah, sehingga diminta meninggalkan tanah tersebut oleh Warka. Ketika itulah desa adat turun tangan, dan mengungkap bahwa dalam persidangan, Warka membawa saksi palsu.

 

Disisi lain, untuk Warka, menurutnya terlalu banyak melakukan kesalahan, dan setiap teguran tidak pernah dihiraukan, sehingga krama adat tidak bisa lagi mengajak yang bersangkutan sebagai krama Desa Adat Taro Kelod.  Maka dari itu, tanah adat yang ditempati Warka terpaksa diminta kembali. Apalagi peringatan telah diberikan pihak adat sejak tahun 2019 lalu. Sampai kemudian pihak adat melakukan eksekusi terhadap tanah yang ditempati Warka. Hal ini pula yang memicu terjadinya kasus pencabutan penjor milik Warka oleh sejumlah prajuru adat yang berujung pada ditetapkannya 7 orang prajuru adat Desa Adat Taro Kelod sebagai tersangka bahkan kini telah divonis 8 bulan penjara. (ras)


Most Read

Artikel Terbaru