DENPASAR, BALI EXPRESS – Bali tidak bisa bebas Rabies selama 11 tahun disebabkan oleh multifaktor, sehingga semua pihak yang terlibat, khususnya pemerintah harus melakukan instrospeksi terhadap kasus ini.
Demikin diungkapkan Ketua Komisi Bidang Internasional Pengurus Besar PDHI, Drh Made Restiati dalam pemilihan Pengurus PDHI Cabang Bali masa bakti 2019-2023 di Denpasar, Minggu, kemarin.
Lebih lanjut dikatakan Restiati, dalam penanganan kasus ini, pemerintah seharusnya bisa menuruti dan mengikuti strategi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Karena dalam hal ini, pemerintah pusat sebagai leader, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menuruti dan melaksanakan strategi yang ditetapkan.
Terkait lamanya penanganan endemik Rabies di Bali yang memakan waktu hingga 11 tahun dengan gelontoran dana hingga Rp 378 Miliar, Restiati mengakui hal tersebut secara langsung merugikan Pulau Bali dari beberapa sisi.
Mulai dari sektor pariwisata, karena wisatawan akan takut berkunjung ke Bali akibat adanya status endemik Rabies untuk Pulau Bali. “Secara tidak langsung hal ini membawa dampak pada sektor perekonomian masyarakat Bali, karena hingga saat ini pariwisata masih menjadi tulang punggung perekonomian Bali,” terangnya.
Terkait penanganan Rabies di Bali, Mantan Ketua PDHI Cabang Bali masa bakti 2015-2019 ini mengatakan, bisa dilakukan dengan melibatkan Desa dinas yang ada di Bali. Hal ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat Pulau Bali yang masih menganggap istimewa anjing sebagai hewan peliharaan. Namun, kesadaran masyarakat Bali sebagai pemilik anjing belum maksimal, anjing yang sakit belum dirawat secara maksimal oleh pemiliknya.
Dengan dilibatkannya perangkat desa dalam pendataan anjing ini, maka kasus Rabies bisa ditangani mulai dari tatanan masyarakat desa. Dikatakannya, identifikasi terhadap anjing tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja atau oleh organisasi profeai saja.
Dengan adanya pemberdayaan ini, lanjutnya, maka pemerintah bisa membentuk tim penanggulangan Rabies dengan melibatkan satu dokter hewan, satu paramedis didampingi perngkat desa. “Namun hal ini, tidak bisa dilakukan hanya sekali, tim ini harus solid dan permanen, sehingga endemik Rabies bisa ditangani dalam waktu yang singkat,” urainya.
Dikatakan Restiati, pembentukan tim ini tidak terllu sulit, mengingat dana yang tersedia untuk pemberantasan Rabies di Bali sangat besar.
PDHI Minta Lembaga Desa Turut Perangi Rabies

DENPASAR, BALI EXPRESS – Bali tidak bisa bebas Rabies selama 11 tahun disebabkan oleh multifaktor, sehingga semua pihak yang terlibat, khususnya pemerintah harus melakukan instrospeksi terhadap kasus ini.
Demikin diungkapkan Ketua Komisi Bidang Internasional Pengurus Besar PDHI, Drh Made Restiati dalam pemilihan Pengurus PDHI Cabang Bali masa bakti 2019-2023 di Denpasar, Minggu, kemarin.
Lebih lanjut dikatakan Restiati, dalam penanganan kasus ini, pemerintah seharusnya bisa menuruti dan mengikuti strategi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Karena dalam hal ini, pemerintah pusat sebagai leader, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menuruti dan melaksanakan strategi yang ditetapkan.
Terkait lamanya penanganan endemik Rabies di Bali yang memakan waktu hingga 11 tahun dengan gelontoran dana hingga Rp 378 Miliar, Restiati mengakui hal tersebut secara langsung merugikan Pulau Bali dari beberapa sisi.
Mulai dari sektor pariwisata, karena wisatawan akan takut berkunjung ke Bali akibat adanya status endemik Rabies untuk Pulau Bali. “Secara tidak langsung hal ini membawa dampak pada sektor perekonomian masyarakat Bali, karena hingga saat ini pariwisata masih menjadi tulang punggung perekonomian Bali,” terangnya.
Terkait penanganan Rabies di Bali, Mantan Ketua PDHI Cabang Bali masa bakti 2015-2019 ini mengatakan, bisa dilakukan dengan melibatkan Desa dinas yang ada di Bali. Hal ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat Pulau Bali yang masih menganggap istimewa anjing sebagai hewan peliharaan. Namun, kesadaran masyarakat Bali sebagai pemilik anjing belum maksimal, anjing yang sakit belum dirawat secara maksimal oleh pemiliknya.
Dengan dilibatkannya perangkat desa dalam pendataan anjing ini, maka kasus Rabies bisa ditangani mulai dari tatanan masyarakat desa. Dikatakannya, identifikasi terhadap anjing tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja atau oleh organisasi profeai saja.
Dengan adanya pemberdayaan ini, lanjutnya, maka pemerintah bisa membentuk tim penanggulangan Rabies dengan melibatkan satu dokter hewan, satu paramedis didampingi perngkat desa. “Namun hal ini, tidak bisa dilakukan hanya sekali, tim ini harus solid dan permanen, sehingga endemik Rabies bisa ditangani dalam waktu yang singkat,” urainya.
Dikatakan Restiati, pembentukan tim ini tidak terllu sulit, mengingat dana yang tersedia untuk pemberantasan Rabies di Bali sangat besar.