BADUNG, BALI EXPRESS – Bertepatan dengan Hari Ngembak Geni, Banjar Teba, Desa Adat Jimbaran kembali menggelar Tradisi Siat Yeh. Tradisi ini diikuti oleh seluruh Sekaa Teruna di Banjar tersebut dengan saling melemparkan air. Melalui tradisi ini diharapkan dapat mengusir unsur negatif dari dalam diri dan alam semesta.
Kelian adat Banjar Teba I Wayan Eka Santa Purwita mengatakan, tradisi ini pertama kali dilaksanakan pada 2018. Siat Yeh merupakan rekontruksi dari kebiasaan masyarakat di Jimbaran. Dulunya masyarakat akan bermain air di pantai timur dan barat. “Diharapkan melalui tradisi ini dapat melebur Mala (unsur negatif) dari dalam tubuh dan alam semesta. Diharapkan juga prosesi ini dapat memberikan kerahayuan,” ujar Eka Santa Purwita saat ditemui Kamis (23/3).
Menurutnya, melalui pelaksanaan tradisi ini dilakukan prosesi nunas toya dari pantai timur yang disebut suwung dan pantai barat yaitu pantai jimbaran. Selain itu akan juga dilaksanakan nunas toya di sumur yang ada di Pura Khayangan Jagat Ulun Swi dan campuhan atau tempat pertemuan air tawar dan air laut. “Sebelum Suat Yeh dimulai juga akan dihaturkan pejati di masing-masing Perahyangan di Jimbaran, begitu juga di campuhan,” ungkapnya.
Pihaknya pun menyebutkan, tradisi Siat Yeh ini telah ditetapkan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Begitu juga memiliki hak cipta dari Kementerian Hukum dan HAM. “Peserta kegiatan hari ini seluruh Sekaa Teruna sekitar 200 orang. Jika digabungkan dengan seluruh krama menjadi sekitar 300 orang,” sebutnya.
Hal senada pun disampaikan oleh Bendesa Adat Jimbaran I Gusti Ngurah Made Rai Dirga. Menurutnya, tradisi ini adalah rekrontruksi dari kebiasaan masyarakat terdahulu. Sebelumnya kebiasaan bermain air ini dilaksanakan pada Hari Raya Nyepi. “Dulunya sebelum PHDI menerapkan perayaan Hari Raya Nyepi dengan standar dan pola yang baku. Di jimbaran itu setiap Nyepi akan keluar di pukul 16.00 atau 17.00 sudah keluar dan pergi kepantai. Kemudian setelah PHDI menetapkan standar perayaan Hari Raya Nyepi atau catur berata penyepian maka kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk beradu air ini. Oleh karenanya oleh Banjar Teba ini direkrontruksi kembali menjadi festival budaya siat yeh,” jelas Rai Dirga.
Siat Yeh, lanjut Rai Dirga, pertama kali digelar saat Ngembak Geni yang berbarengan dengan Hari Banyu Pinaruh. Hal ininpun dinilai sangat telat, terlebih dapat menjadi pengelukatan agung. “Para Sekaa Teruna sangat antusias mengikuti kegiatan ini, karena pada saat ini mereka dapat berekspresi turun bersama-sama dengan krama sehingga semuanya menjadi kolaborasi dan transformasi informasi terhada budaya,” terangnya.
Lebih kanjut ia berharap, kedepannya seluruh tradisi yang ada di Jimbaran dapat direkrontruksi kembali. Sehingga dapat menjadi tradisi yang dapat menggantikan pengaruh buruk dari adanya perkembangan teknoloagi. “Ini (Tradisi Siat Yeh) sangat positif, mudah-mudahan saja setiap banjar dapat merekrontruksi ritual-ritual atau warisan budaya yang dapat menjadi icon wilayah. Sehingga dapat membentengi diri dari adanya pengaruh buruk globalisasi dan modernisasi,” imbuhnya.