GIANYAR, BALI EXPRESS – Paska puluhan warga Desa Adat Jero Kuta Pejeng mendatangi Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) Gianyar, terkait tanah pekarangan desa (PKD), Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng, Tjokorda Gde Pemayun, menyampaikan hal itu telah sesuai awig-awig (peraturan desa adat).
Pria mantan anggota DPRD Kabupaten Gianyar itu, tidak menampik bahwa ada beberapa warganya yang keberatan terkait PKD tersebut. Namun, ia selaku prajuru adat hanya menjalankan tugasnya. “Dalam awig-awig ada dua mengenai hal itu, terdiri dari Bhuana Agung dan Bhuana Alit yang didasari Tri Hita Karana. Hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan,” jelasnya saat ditemui di Puri Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Giayar, Kamis (23/7).
Mengacu pada awig yang dimiliki oleh desa setempat, Tjokorda Pemayun mengatakan Bhuana Alit termasuk karang ayahan desa yang ditempati oleh krama desa, termasuk karangan teba (halaman belakang). Dikatakannya, teba sebagai lahan penghasil dalam mengamalkan Tri Hita Karana di desa. “Itu terbukti setiap odalan krama desa keluar bambu, nyari bambu di teba, daun, pisang, dan sebagainya dalam menjalankan Tri Hita Karana itu sendiri. Sehingga warga tidak perlu membeli,” paparnya.
Sementara PKD yang dipermasalahkan tersebut, ia sampaikan sejak awal telah melalui prosedur yang ada. Dimulai dari sosialisasi masing-masing kelihan adat di empat banjar yang ada di desa tersebut. Hingga akhirnya disetujui dan warga menyetorkan KTP dan kartu KK untuk mengurus administrasi PKD.
“Dari 280 karang ayahan desa, hanya 44 yang sebenarnya keberatan. Sementara yang lainnya setelah diberi tahu tujuan dan pemahamannya, mereka langsung tidak keberatan. Sampai ada surat pernyataan pengunduran diri keberatan guna mencabut bahwa yang bersangkutan tidak lagi keberatan,” sambungnya.
“Dalam awig sudah jelas, tanah itu adalah tanah ayahan desa. Kalau keberatan, kemungkinan mereka belum memahami tentang isi awig-awig itu. Atau sengaja tidak mau memahami awig-awig tersebut. Kita tetap mengikuti saja. Masalah keberatan itu wajar, tapi sesuai aturan yang ada di awig-awig, apabila ada warga yang keberatan agar menyampaikan terlebih dahulu ke kelihan adat masing-masing,” terangnya.
Ditambahkannya, sesuai awig-awig, setelah menyampaikan ke kelihan, namun jika belum puas, bisa disampaikan ke sangkepan banjar. Jika di sangkepan banjar belum bisa terima, baru ke desa adat yang ditujukan ke bendesa adat maupun ke kerta desa. “Kalau tidak juga bisa menerima, baru selanjutnya agar menyampaikan ke tingkat atasnya lagi. Sedangkan saat ini mereka tidak mengikuti tahapan yang sesuai awig, yang dibuat, disepakati dan digunakan bersama,” ucapnya.
Disinggung terkait pensertifikatan itu tanpa sepengetahuan pemilik lahan? Tjokorda Pemayun menampik dengan warga yang keberatan tersebut terlalu mengada-ada. Disampaikannya pensertifikatan itu merupakan program dari Presiden, kemudian BPN mengundang prajuru adat akan ada pensertifikatan lahan sesuai program yang dimaksud.
“Dalam sertifikat itu juga jelas bahwa di lahan pekarangan desa ditempati oleh siapa, dan itu tercantum nama mereka. Kalau seandainya itu dijual, dikontrak silakan. Desa adat tidak meminta bagian, namun jika dijual bagi yang membeli wajib ngayah karang desa. Di sini yang dituntut ayahan desa, semuanya itu ada di awig. Saya mempertahankan duwen desa (milik desa) berdasarkan awig, adat dan budaya,” imbuh pria yang pernah menjadi Camat Tampaksiring tersebut.