SINGARAJA, BALI EXPRESS – Suasana Jumat (24/3) malam di Pura Desa, Desa Pakraman Sumberklampok, Buleleng, terlihat ramai. Krama Desa Sumberklampok sejak pukul 19.00 Wita satu persatu berdatangan. Mereka menggunakan pakaian adat. Terlihat juga sejumlah pacalang berjaga di luar pura.
Malam itu sedang dilakukan paruman adat. Paruman itu dilakukan berdasarkan persoalan yang mencuat saat Hari Raya Nyepi, Rabu (22/3) lalu, terkait video yang beredar di dunia Maya, yang memperlihatkan seorang laki-laki membuka portal menuju Pantai Prapat Agung, Taman Nasional Bali Barat.
Pada video lainnya, juga memperlihatkan seorang warga laki-laki berdebat dengan pacalang menginginkan portal tetap dibuka.
Hal itu pun membuat warga desa geram. Keputusan untuk menentukan sanksi terhadap warga yang melanggar ditentukan dalam paruman tersebut. Tetapi paruman dilangsungkan secara tertutup.
Paruman dimulai pada pukul 19.30 Wita. Kepala Desa Sumberklampok, Wayan Sawitra Yasa dan Bendesa Adat Sumberklampok Jro Putu Artana, Bhabinsa hingga tokoh adat turut hadir. Sekitar pukul 22.00 Wita paruman selesai. Satu per satu krama keluar dari jaba tengah pura desa. Dari pantauan Bali Express (Jawa Pos Grup) di lapangan, sekitar 60 lebih krama desa ikut dalam paruman tersebut.
Bendesa Adat Sumberklampok, Jro Putu Artana mengatakan, hasil paruman yang dilakukan belum bisa dipublikasikan saat ini. Menurutnya, masih ada beberapa perbaikan agar hasil yang keluar bisa diterima dengan bijak tanpa kesalahpahaman. “Hasil paruman sudah jelas ada. Tapi masih dimatangkan lagi. Masih menyusun kalimatnya biar pas. Hasilnya sudah ada, cuma untuk mengeluarkan keputusannya itu besok. Biar gak salah,” terangnya saat ditemui usai paruman.
Secara garis besar, krama desa mengusulkan hal tersebut diserahkan ke ranah hukum. Sebab peristiwa itu dilakukan oleh oknum. “Dari Krama menginginkan kelanjutan proses hukum. Adapun pertimbangannya adalah ini oknum, bukan masyarakat banyak,” imbuhnya.
Kendati demikian, untuk kejadian itu desa adat tidak memiliki peraturan mengikat. Sebab, tidak diatur dalam awig-awig desa adat. Sehingga dalam hal ini dua oknum tersebut tidak bisa langsung diberikan sanksi adat. “Untuk di awig-awig, peraturan untuk Krama tamiu itu belum ada. Karena kami masih revisi awig-awig. Sehingga untuk peristiwa ini belum ada aturan jadinya. Kami serahkan ke hukum,” kata dia.
Pihak desa adat pun menyerahkan sepenuhnya kepada pihak berwajib. Artana tak mau berkomentar banyak saat disinggung mengenai penistaan agama. “Kami tidak menyebut demikian. Kami serahkan ke ranah hukum. Biar nanti di kepolisian yang menilai,” tutupnya.