BALI EXPRESS, DENPASAR – Sidang terhadap I Wayan Okta Widiantara,22, seniman muda yang biasa bikin tato ini akhirnya sampai pada tahap penuntutan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang membawa perkaranya ke persidangan, menuntut agar Okta diganjar dengan hukuman selama dua tahun dan sepuluh bulan.
Okta yang mengaku akan produktif membuat karya itu dinilai terbukti melakukan tindak pidana narkotika. Yakni menyalahgunakan narkotika golongan satu untuk diri sendiri.
Perbuatan Okta itu sebagaimana Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal itu diterapkan pihak penuntut umum dalam dakwaan alternatif keempat yang disampaikan di hadapan majelis hakim yang diketuai Hakim Angeliky Handajani Day.
Terhadap tuntutan itu, terdakwa memohon adanya keringanan. Seperti disampaikan kuasa hukum terdakwa, I Ketut Dodik Arta Kariawan, saat dikonfirmasi kemarin (26/10), permohonan itu sudah disampaikan secara lisan usai pembacaan surat tuntutan.
“Intinya memohon keringanan. Karena terdakwa juga masih muda. Dia menyesal sudah menjadi penyalah guna dan berjanji memperbaiki diri,” kata Dodik.
Dalam sidang sebelumnya, Okta mengaku baru bisa produktif mengeluarkan ide dan membuat desain. Kebetulan saat itu, pemuda yang lehernya penuh tato hasil kreasinya sendiri sebelum dijual ke orang lain itu menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa.
“Biasa saya konsumsi menjelang mau membuat gambar. Lebih gampang saya mendapatkan inspirasi. Enak saja kalau habis pakai. Apalagi kalau dipakai sedang menggambar,” tutur Okta, menjawab pertanyaan yang salah satunya datang dari penasehat hukumnya.
Soal motivasinya menggunakan narkotika jenis sabu-sabu itu juga sempat dia ceritakan kepada majelis hakim dan penuntut umum. Jawabannya pun sama. Bahkan hakim sempat bertanya soal pekerjaan sebagai seniman tato. Bagaimana dirinya memasarkan desain tatonya kepada orang lain. “Saya gambar dulu di badan saya. Kalau bagus, saya jual,” akunya kepada hakim.
Di luar keterangannya itu, ada juga cerita yang agak miris dari seniman muda ini. Bisa dikata, sejak balita dia sudah ada dalam lingkungan yang broken home. Klasik memang. Namun, situasi seperti itu membuat dirinya, bahkan siapa saja, bisa jadi mudah terpengaruh pergaulan bebas. “Umur dua tahun, kedua orang tuanya cerai,” tutur seorang sumber di luar persidangan.
Kendati alasan Okta demikian, toh persoalan hukumnya tetap jalan. Kendati dalam persidangan terungkap bahwa dirinya seorang pemakai, dalam surat dakwaan tertera empat pasal alteratif yang diterapkan penuntut umum dalam masing-masing dakwaan yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dakwaan pertamanya, dia melanggar ketentuan pidana Pasal 114 ayat (1). Kedua, Pasal 112 ayat (1). Ketiga, Pasal 115 ayat (1). Dan yang keempat atau yang terakhir, Pasal 127 ayat (1).
Okta sendiri ditangkap pada Kamis, 10 Mei 2018, malam. Sekitar pukul 20.30. Waktu itu dia kebetulan berada di pinggir Jalan Raya Puputan. Tepatnya di Banjar Sembung, Desa Kelurahan Sumerta Kelod, Denpasar Timur
Dia ditangkap karena memang sedang diintai petugas dari Satuan Reserse Narkoba Polresta Denpasar yang sedang melakukan penyelidikan atas informasi yang mereka dapatkan sebelumnya.
Saat ditangkap, terdakwa tidak melawan. Pun demikian saat dirinya digeledah hingga akhirnya petugas menemukan barang bukti berupa sabu-sabu seberat 0,15 yang disimpan dalam dompetnya. Dalam keterangannya saat ditangkap, dia mengaku mendapatkan serbuk kristal itu dengan cari membeli dari seseorang bernama Wowok seharga Rp 450 ribu. Dia membelinya dengan cara mengambil tempelan.