TABANAN, BALI EXPRESS – Upacara Ngaben identik dengan prosesi membakar jenazah. Namun di Desa Buwit, Kaba Kaba, Kediri, Tabanan, Bali, justru tak bisa melaksanakannya di Setra (kuburan ) dengan api. Penasaran, bagaimana prosesi ini berlangsung hingga kini?
Setiap desa adat di Bali punya keunikan masing-masing yang menjadi ciri khas, sehingga bisa menjadi daya tarik tersendiri. Ngaben misalnya adalah hal umum dilaksanakan di Bali dengan cara membakar jenazah, namun di Desa Buwit tradisinya sungguh berbeda. Desa Buwit konon dahulunya adalah wilayah Beraban, yang hingga kini merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Kediri, Tabanan.
Suasana pedesaan memang masih terasa di Desa Buwit, di tengah perkembangan pariwisata yang makin pesat. Warga desa menuturkan bahwa ada dua setra (kuburan) di desa mereka. Hal tersebut memang cukup lumrah, namun ternyata keberadaan dua setra tersebut, rupanya karena Setra Gede (kuburan lama) desa punya keunikan.
“Kalau di Setra Gede itu tidak bisa menggunakan api untuk membakar jenazah, sehingga sebagian krama desa memutuskan membuat setra baru bagi warga yang ingin jenazah keluarganya diaben dengan cara dibakar,” ujar Bendesa Adat Buwit, I Gusti Alit Putu Widana kepada Bali Express ( Jawa Pos Group ) pekan kemarin.
Sejarah Setra Gede, lanjut I Gusti Alit Putu Widana, sudah ada sejak berdirinya Desa Buwit. Sedari awal di Setra Gede Desa Buwit, warga krama desa ketika hendak Ngaben harus tanpa prosesi pembakaran. Prosesi pembakaran tidak bisa dilaksanakan sebab api tidak mau menyala dan membakar sarana sembahyang, bahkan dupa sekalipun tidak mau menyala.
Dikatakannya, keunikan ini pun terbukti dengan kebakaran lahan ilalang di samping Setra Gede tidak membakar sedikitpun area Setra. Bekas kebakaran pun masih tampak dari pepohonan yang batangnya menghitam di barat Setra Gede. Bila tak ada sesuatu yang magis, mestinya ilalang di Setra Gede juga terbakar, apalagi terjadi saat musim kemarau. Misteri soal tradisi tak boleh menggunakan api membakar jenazah ini, diakuinya, hingga kini tidak terungkap.
“Meski tidak bisa menyalakan api untuk sarana sembahyang pangabenan, namun bila warga menghidupkan api untuk merokok malah bisa. Tetapi dicoba ke dupa untuk upacara malah tidak mau,” papar I Gusti Alit Putu Widana dengan nada keheranan.
Lantaran tradisi turun temurun ini, krama Buwit menyiasati Ngaben dengan cara mengubur jenazah, layaknya seperti proses penguburan jenazah biasa dengan sedikit perbedaan. Jadi, prosesi Ngaben tetap dilaksanakan seperti biasa, menggunakan bade dan lembu serta upakara lainnya. Rangkaian prosesi Ngaben ketika tiba di Setra Gede Buwit, jenazah akan dikuburkan. Liang lahat untuk jenazah yang diaben posisinya bebas, tidak ada tempat secara khusus di setra tersebut.
“Penguburannya persis sama dengan penguburan pada umumnya, cuma bedanya tidak ada gundukan dan identitas atau batu nisan. Jadi, datar saja,” ujar I Gusti Alit Putu Widana sembari menunjuk ke arah tanah datar di area Setra Gede. “Itu salah satunya, tanahnya mengalami penurunan karena jenazah sudah lama diaben,” tambah pria yang menjadi bendesa untuk periode kedua.
Usai melakukan penguburan, lanjutnya, maka ada yang diambil buat direka menyerupai bentuk manusia. Lantas dilakukan prosesi Nyekah hingga Nganyut di sungai. Sedangkan jenazah yang sudah dikubur tetap dibiarkan di sana, dan dianggap sudah selesai proses Ngaben. Selanjutnya, Bade dan Lembu yang digunakan untuk mengiringi jenazah, kemudian diletakkan di sebelah utara Setra.
Tampak tumpukan Bade dan sarana lainnya sudah lapuk dimakan rayap. Namun, karena prosesi Ngaben satu dengan yang lainnya berdekatan membuat sisa sarana Ngaben sebelumnya masih menumpuk. I Gusti Alit Putu Widana pun mengaku sempat kebingungan, karena area Setra tidak cukup luas. Melihat hal ini, sempat ada keinginan warga untuk menaruh ataupun membakar di luar area Setra. “Keinginan ini sempat disetujui oleh pemangku juga, namun setelah meminta petunjuk secara niskala, ternyata Ida Batara tidak memberi izin. Akhirnya sampai sekarang Bade dan pernak-pernik lainnya tetap ditumpuk begitu saja,” ungkapnya.
Walau Setra Gede tidak terlalu luas, jenazah yang diaben maupun dikubur tidak pernah membuat area kuburan sampai kekurangan lahan. Pada tahun 2018 pun saat ramai ada proses Ngaben di Setra Gede masih cukup. Namun, sering kali terjadi jenazah lama masih tersisa ketika penggalian lubang untuk jenazah baru.
Peristiwa ini terjadi karena, jenazah yang diaben tidak memiliki gundukan ataupn penanda. “Kalau sampai itu terjadi kita angkat bekas tulang belulang jenazah yang lama, termasuk bekas bekal yag berbahan plastik. Nantinya kita akan kubur kembali,” ucap I Gusti Alit Putu Widana.
“Saya pun sudah mulai meminta krama, kalau melakukan pengabenan dan penguburan mulai mengurangi memberi bekal dengan bahan plastik karena susah terurai. bebernya.
Lantaran ada tradisi Ngaben dengan cara mengubur saja atau ridak membakar, lanjutnya, ada sebagian krama membuat Setra baru di Banjar Kelakahan Kaja. Warga yang mangempon dan memakai Setra baru ini berasal dari warga Banjar Kelakahan Kaja, sebagian dari Kelakahan Gede, dan beberapa dari banjar lainnya. Dikatakannya, soroh Senggu dan Guru memilih untuk ke Setra yang baru, sebab jenazah dari soroh tersebut harus dibakar. “Warga banjar lain pun juga boleh ke Setra baru, mereka biasanya memberikan dana punia,” terangnya kepada koran ini.
Seperti umumnya Setra, suasana angker cukup terasa. Pepohonan tinggi mengelilingi Setra, bahkan ada yang terlihat mulai rapuh yang bisa tumbang sewaktu-waktu. I Gusti Alit Putu Widana menjelaskan bahwa, pohon yang tumbang di Setra Gede itu harus dilakukan upacara Macaru dengan bebek berwarna hitam. “Jika tidak, maka bisa terjadi grubug atau bencana di desa. Konon di pohon itulah rencang-rencang di Setra tinggal,” ungkapnya.
Hingga kini, tradisi Ngaben dengan cara penguburan tetap dilestarikan. Bila ada warga yang hendak mencoba membakar jenazah ketika diaben, pemangku tak bisa menolak atau mengizinkannya, namun risikonya diserahkan kepada yang melakukannya. Dan, hingga kini warga tak mau menanggung risiko buruk yang terjadi, meski semua itu tradisi yang hingga kini jadi misteri yangvtak terungkap. Kepercayaan ini pun akhirnya tetap teguh dipegang warga Desa Buwit.