26.5 C
Denpasar
Wednesday, June 7, 2023

Loloh Cemcem Penglipuran Diusulkan sebagai Warisan Budaya

BANGLI, BALI EXPRESS-Loloh Cemcem menjadi minuman khas di Desa Wisata Penglipuran, Kelurahan Kubu, Bangli. Kini Pemkab Bangli mengusulkan loloh yang dahulu dinamai rujak Kloncing itu sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikburistek). Hal itu tidak terlepas dari sejarah loloh yang merupakan warisan budaya.

Bagi orang yang pernah berkunjung ke Penglipuran, pasti tidak asing dengan loloh berwarna hijau ini. Iya, karena hampir setiap pedagang di sana menyediakan loloh Cemcem. Harganya Rp 5 ribu untuk kemasan 600 mililiter.

Bahan utama loloh ini adalah daun Cemcem, biasa juga disebut kecemcem atau kedondong hutan. Masyarakat Penglipuran menyebutnya Kloncing. “Minuman ini (loloh Cemcem) menjadi ciri khas Desa Wisata Penglipuran, selain klepon ubi,” ungkap Klian Adat Penglipuran I Wayan Budiarta ditemui belum lama ini.

Kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Budiarta mengakui memang loloh cemcem diusulkan sebagai WBTB Indonesia. Sebelum terkenal seperti sekarang, loloh Cemcem memang memiliki sejarah yang panjang.

Dahulu namanya rujak kloncing. Rujak ini menjadi favorit masyarakat setempat yang zaman dahulu sebagian besar merupakan petani. Bahannya mudah didapat dan cara membuatnya cukup sederhana. Tidak kalah penting lagi adalah khasiatnya. Tidak sebatas menghilangkan haus.

Dikatakan Budiarta, tanaman Cemcem atau Kloncing banyak tumbuh di desanya. Sebab tidak hanya daunnya yang bisa dipakai rujak, tanaman ini juga difungsikan sebagai kayu pagar atau pembatas lahan warga. Untuk membuat rujak Kloncing pun sangat sederhana. Cukup dengan menumbuk daun Cemcem dicampur cabai, dan air kelapa. Jadi lah rujak kloncing yang siap dinikmati. “Cara membuatnya juga tidak jauh beda dengan loloh Cemcem sekarang,” kata Budiarta.

Baca Juga :  Musibah Beruntun Lantaran Lupa Matur Piuning di Goa Peteng

Lanjut dia, rujak Kloncing mulai dikenal masyarakat umum berawal dari keberadaan taman tugu pahlawan Penglipuran. Pemerintah sering menggelar kegiatan di sana. Oleh masyarakat Penglipuran, tamu ini dibuatkan rujak Kloncing untuk sekadar menghilangkan dahaga. Penyajiannya sederhana, yaitu pakai gelas.

Sejumlah warga Penglipuran mulai menjualnya seiring berkembangannya Desa Penglipuran yang mulai dikunjungi wisatawan. Namun saat awal dipasarkan, kemasannya masih menggunakan botol bekas yang dicuci sampai bersih. Lama-kelamaan masyarakat semakin kreatif dengan menggunakan botol baru, dan namanya pun berubah menjadi loloh Cemcem khas Desa Penglipuran. “Mulai banyak dijual itu sekitar tahun 2000-an, namanya berubah dari rujak Kloncing menjadi loloh Cemcem,” terangnya.

Tak hanya di Penglipuran, loloh Cemcem ini juga dipasarkan ke kabupaten lain di Bali. Bahkan sesekali dikirim ke luar Bali. Kini ada sekitar 10 orang produsen loloh Cemcem di desa yang terkenal dengan kebersihannya itu.

Budiarta didampingi produsen loloh Cemcem Wayan Sandia pun berharap, loloh Cemcem khas desanya bisa ditetapkan sebagai warisan budaya, karena memang benar-benar warisan budaya. “Ini salah satu warisan budaya kami, mungkin di luar ada, tapi tidak berkembang seperti di Penglipuran,” jelas Budiarta.

Baca Juga :  Minum Air Bunga Tujuh Warna, Samar Gantang Berubah Aneh    

Ditemui terpisah, Fungsional Pamong Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangli Sang Made Suda Adnyana menyampaikan, loloh Cemcem khas Desa Penglipuran menjadi salah satu yang diusulkan sebagai WBTB Indonesia tahun ini karena memiliki sejarah yang panjang. Ketika nanti ditetapkan sebagai warisan budaya, maka tidak bisa diklaim oleh pihak lain.

Cara membuat loloh ini juga masih dengan cara tradisional. Tidak jauh beda dengan membuat rujak Kloncing zaman dahulu. Berdasarkan hasil turun ke lapangan untuk kepentingan melengkapi data pengajuan WBTB, Suda Adnyana menegaskan bahwa mendapatkan data soal sejarah loloh Cemcem.

Pada masa lampau, daun cemcem seringkali digunakan petani setempat sebagai sarana untuk menghilangkan haus dengan cara memetik pucuk daunnya langsung dan memakannya mentah-mentah.

Hal ini kemudian berlanjut pada masa kemerdekaan RI. Pejuang kemerdekaan asal Bangli Kapten Anak Agung Gde Anom Mudita, salah satu tokoh yang dikenang oleh masyarakat Penglipuran sebagai seseorang yang selalu menyelipkan daun Cemcem di mulutnya untuk menghilangkan dahaga ketika berjuang melawan Belanda. (wan)

 


BANGLI, BALI EXPRESS-Loloh Cemcem menjadi minuman khas di Desa Wisata Penglipuran, Kelurahan Kubu, Bangli. Kini Pemkab Bangli mengusulkan loloh yang dahulu dinamai rujak Kloncing itu sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikburistek). Hal itu tidak terlepas dari sejarah loloh yang merupakan warisan budaya.

Bagi orang yang pernah berkunjung ke Penglipuran, pasti tidak asing dengan loloh berwarna hijau ini. Iya, karena hampir setiap pedagang di sana menyediakan loloh Cemcem. Harganya Rp 5 ribu untuk kemasan 600 mililiter.

Bahan utama loloh ini adalah daun Cemcem, biasa juga disebut kecemcem atau kedondong hutan. Masyarakat Penglipuran menyebutnya Kloncing. “Minuman ini (loloh Cemcem) menjadi ciri khas Desa Wisata Penglipuran, selain klepon ubi,” ungkap Klian Adat Penglipuran I Wayan Budiarta ditemui belum lama ini.

Kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Budiarta mengakui memang loloh cemcem diusulkan sebagai WBTB Indonesia. Sebelum terkenal seperti sekarang, loloh Cemcem memang memiliki sejarah yang panjang.

Dahulu namanya rujak kloncing. Rujak ini menjadi favorit masyarakat setempat yang zaman dahulu sebagian besar merupakan petani. Bahannya mudah didapat dan cara membuatnya cukup sederhana. Tidak kalah penting lagi adalah khasiatnya. Tidak sebatas menghilangkan haus.

Dikatakan Budiarta, tanaman Cemcem atau Kloncing banyak tumbuh di desanya. Sebab tidak hanya daunnya yang bisa dipakai rujak, tanaman ini juga difungsikan sebagai kayu pagar atau pembatas lahan warga. Untuk membuat rujak Kloncing pun sangat sederhana. Cukup dengan menumbuk daun Cemcem dicampur cabai, dan air kelapa. Jadi lah rujak kloncing yang siap dinikmati. “Cara membuatnya juga tidak jauh beda dengan loloh Cemcem sekarang,” kata Budiarta.

Baca Juga :  Minimalisir Keramaian, Pasar Badung Terapkan Sistem Belanja Online

Lanjut dia, rujak Kloncing mulai dikenal masyarakat umum berawal dari keberadaan taman tugu pahlawan Penglipuran. Pemerintah sering menggelar kegiatan di sana. Oleh masyarakat Penglipuran, tamu ini dibuatkan rujak Kloncing untuk sekadar menghilangkan dahaga. Penyajiannya sederhana, yaitu pakai gelas.

Sejumlah warga Penglipuran mulai menjualnya seiring berkembangannya Desa Penglipuran yang mulai dikunjungi wisatawan. Namun saat awal dipasarkan, kemasannya masih menggunakan botol bekas yang dicuci sampai bersih. Lama-kelamaan masyarakat semakin kreatif dengan menggunakan botol baru, dan namanya pun berubah menjadi loloh Cemcem khas Desa Penglipuran. “Mulai banyak dijual itu sekitar tahun 2000-an, namanya berubah dari rujak Kloncing menjadi loloh Cemcem,” terangnya.

Tak hanya di Penglipuran, loloh Cemcem ini juga dipasarkan ke kabupaten lain di Bali. Bahkan sesekali dikirim ke luar Bali. Kini ada sekitar 10 orang produsen loloh Cemcem di desa yang terkenal dengan kebersihannya itu.

Budiarta didampingi produsen loloh Cemcem Wayan Sandia pun berharap, loloh Cemcem khas desanya bisa ditetapkan sebagai warisan budaya, karena memang benar-benar warisan budaya. “Ini salah satu warisan budaya kami, mungkin di luar ada, tapi tidak berkembang seperti di Penglipuran,” jelas Budiarta.

Baca Juga :  Misteri Kreteg Kuno Sibang Gede (2); Usianya Rautsan Tahun

Ditemui terpisah, Fungsional Pamong Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangli Sang Made Suda Adnyana menyampaikan, loloh Cemcem khas Desa Penglipuran menjadi salah satu yang diusulkan sebagai WBTB Indonesia tahun ini karena memiliki sejarah yang panjang. Ketika nanti ditetapkan sebagai warisan budaya, maka tidak bisa diklaim oleh pihak lain.

Cara membuat loloh ini juga masih dengan cara tradisional. Tidak jauh beda dengan membuat rujak Kloncing zaman dahulu. Berdasarkan hasil turun ke lapangan untuk kepentingan melengkapi data pengajuan WBTB, Suda Adnyana menegaskan bahwa mendapatkan data soal sejarah loloh Cemcem.

Pada masa lampau, daun cemcem seringkali digunakan petani setempat sebagai sarana untuk menghilangkan haus dengan cara memetik pucuk daunnya langsung dan memakannya mentah-mentah.

Hal ini kemudian berlanjut pada masa kemerdekaan RI. Pejuang kemerdekaan asal Bangli Kapten Anak Agung Gde Anom Mudita, salah satu tokoh yang dikenang oleh masyarakat Penglipuran sebagai seseorang yang selalu menyelipkan daun Cemcem di mulutnya untuk menghilangkan dahaga ketika berjuang melawan Belanda. (wan)

 


Most Read

Artikel Terbaru