BALI EXPRESS, DENPASAR – Era kini, sekaa teruna cenderung menjadikan Ogoh-ogoh sebagai ruang kreativitas semata. Meski tidak semua, akademisi Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar I Kadek Satria mengaku khawatir. Pasalnya, kesempatan untuk membuat ogoh-ogoh diikuti penyimpangan polah, juga pakem.
Kadek Satria menjelaskan, ada buku khusus yang menjabarkan terkait ketentuan pembuatan ogoh-ogoh berdasarkan wujud. Di sana dimuat tentang 108 jenis bhuta di zaman kali. Ogoh-ogoh digambarkan berbentuk kala hingga raksasa.
“Bentuknya seram, karena itu adalah manifestasi kehancuran,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Ogoh-ogoh tak boleh dibuat sembarangan. “Kreativitas harus bergerak berdasarkan ketentuan, ada acuan dalam membuat ogoh-ogoh. Tidak boleh membuat Ogoh-ogoh sembarangan, termasuk penggunaan sound system, gabus, dan plastik,” imbaunya.
Ogoh-ogoh, kata dia, mesti dikembalikan ke jati dirinya sebagai sarana upakara untuk proses somia bhuta. “Ogoh-ogoh merupakan representasi dari kekuatan bhuta. Kemudian dalam filsafat, ogoh-ogoh berwujud bhuta, menyeramkan, dan besar.
Bagaimana dengan Ogoh-ogoh yang menyertakan wujud dewa? Satria menegaskan, selama konsep yang dipakai terkait dengan unsur nyomia, maka hal itu dibenarkan. “Sekarang untuk mengendalikan pembatasan tema Ogoh-ogoh ini, bendesa di masing-masing desa harus berperan. Maka, tak ada lagi Ogoh-ogoh yang melenceng dari pakem. Harus kembali ke jati diri sebagai sarana upakara,” pungkasnya.