26.5 C
Denpasar
Sunday, May 28, 2023

Ada 108 Jenis Bhuta di Zaman Kali, Khawatir dengan Penyimpangan Pakem

BALI EXPRESS, DENPASAR – Era kini, sekaa teruna cenderung menjadikan Ogoh-ogoh sebagai ruang kreativitas semata. Meski tidak semua, akademisi Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar I Kadek Satria mengaku khawatir. Pasalnya, kesempatan untuk membuat ogoh-ogoh diikuti penyimpangan polah, juga pakem.

Kadek Satria menjelaskan, ada buku khusus yang menjabarkan terkait ketentuan pembuatan ogoh-ogoh berdasarkan wujud. Di sana dimuat tentang 108 jenis bhuta di zaman kali. Ogoh-ogoh digambarkan berbentuk kala hingga raksasa.

“Bentuknya  seram, karena itu adalah manifestasi kehancuran,” imbuhnya.

 

Oleh karena itu, Ogoh-ogoh tak boleh dibuat sembarangan. “Kreativitas harus bergerak berdasarkan ketentuan, ada acuan dalam membuat ogoh-ogoh. Tidak boleh membuat Ogoh-ogoh sembarangan, termasuk penggunaan sound system, gabus, dan plastik,” imbaunya.

Baca Juga :  Pura Dhalem Mpu Haji Simpan Tiga Pretima Unik

 

Ogoh-ogoh, kata dia, mesti dikembalikan ke jati dirinya sebagai sarana upakara untuk proses somia bhuta. “Ogoh-ogoh merupakan representasi dari kekuatan bhuta. Kemudian dalam filsafat, ogoh-ogoh berwujud bhuta, menyeramkan, dan besar.

Bagaimana dengan Ogoh-ogoh yang menyertakan wujud dewa? Satria menegaskan, selama konsep yang dipakai terkait dengan unsur nyomia, maka hal itu dibenarkan. “Sekarang untuk mengendalikan pembatasan tema Ogoh-ogoh ini, bendesa di masing-masing desa harus berperan. Maka, tak ada lagi Ogoh-ogoh yang melenceng dari pakem. Harus kembali ke jati diri sebagai sarana upakara,” pungkasnya.

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Era kini, sekaa teruna cenderung menjadikan Ogoh-ogoh sebagai ruang kreativitas semata. Meski tidak semua, akademisi Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar I Kadek Satria mengaku khawatir. Pasalnya, kesempatan untuk membuat ogoh-ogoh diikuti penyimpangan polah, juga pakem.

Kadek Satria menjelaskan, ada buku khusus yang menjabarkan terkait ketentuan pembuatan ogoh-ogoh berdasarkan wujud. Di sana dimuat tentang 108 jenis bhuta di zaman kali. Ogoh-ogoh digambarkan berbentuk kala hingga raksasa.

“Bentuknya  seram, karena itu adalah manifestasi kehancuran,” imbuhnya.

 

Oleh karena itu, Ogoh-ogoh tak boleh dibuat sembarangan. “Kreativitas harus bergerak berdasarkan ketentuan, ada acuan dalam membuat ogoh-ogoh. Tidak boleh membuat Ogoh-ogoh sembarangan, termasuk penggunaan sound system, gabus, dan plastik,” imbaunya.

Baca Juga :  Di Sini Pura yang Ada Palinggih untuk Sunda, Kristen, Hindu dan Islam

 

Ogoh-ogoh, kata dia, mesti dikembalikan ke jati dirinya sebagai sarana upakara untuk proses somia bhuta. “Ogoh-ogoh merupakan representasi dari kekuatan bhuta. Kemudian dalam filsafat, ogoh-ogoh berwujud bhuta, menyeramkan, dan besar.

Bagaimana dengan Ogoh-ogoh yang menyertakan wujud dewa? Satria menegaskan, selama konsep yang dipakai terkait dengan unsur nyomia, maka hal itu dibenarkan. “Sekarang untuk mengendalikan pembatasan tema Ogoh-ogoh ini, bendesa di masing-masing desa harus berperan. Maka, tak ada lagi Ogoh-ogoh yang melenceng dari pakem. Harus kembali ke jati diri sebagai sarana upakara,” pungkasnya.

 


Most Read

Artikel Terbaru