27.6 C
Denpasar
Wednesday, June 7, 2023

Nyepi Dalam Kosmologi Hindu Semayamkan Para Dewa dalam Diri

SINGARAJA, BALI EXPRESS – Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1944 yang jatuh pada Kamis (3/3) tinggal menunggu beberapa jam saja. Umat Hindu di Nusantara merayakannya dengan penuh keheningan dan melakukan kontemplasi dalam menyambut tahun baru saka ini.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Buleleng, Nyoman Suardika kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (1/3) mengatakan, Hari raya Nyepi jatuh pada penanggal Apisan Sasih Kadasa (Eka Sukla Paksa Waisaka) sehari setelah Tilem Kesanga (Panca Dasi Krsna Paksa Sasih Chaitra).

Dikatakan Suardika, kata kadasa pada sasih kadasa selain bermakna ke sepuluh, juga dapat diinterpretasikan dengan kata kedas yang berarti bersih. Oleh karena itu, Hari Raya Nyepi diadakan pada paruh terang pertama (penanggal pisan) masa kesepuluh (sasih kadasa), merupakan hari pertama yang dipandang hari bersih untuk memulai dengan lembaran hidup baru pada tahun baru Çaka.

Dalam beberapa sumber disebutkan sebagai berikut ini. Pertama, di dalam Lontar Sri Aji Kasunu disebutkan : ring tileming sasih kasanga, patut maprakerti caru tawur wastanya, sadulurnyepi awengi.

“Artinya pada tilem sasih kasanga umat Hindu patut mengadakan upacara Bhuta Yadnya, yaitu Caru yang disebut Tawur, dilanjutkan dengan perayaan Nyepi satu malam,” ungkapnya.

Kemudian di dalam Lontar Sundari Gama disebutkan : atari chaitra tekaning tilem, ika pasucianing prawatek dewata kabeh, ana ring telenging samudra, amerta sarining kamandalu, matanghiang wenang manusa kabeh angaturan prakerti ring prawatek angapi kramanya, nihan atari prawanining tilem kasanga tan gawe akena bhuta yadnya ring catupataning desa. Enjangnya ring tilem lasti akena ikang pratime. Enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut gawe, saluirnya ageni ring saparaning genah tan wenang.

Jika dimaknai, yaitu bahwa pada hari Tilem Sasih Kasanga merupakan hari penyucian para dewa, mengambil air kehidupan yang ada di tengah-tengah lautan. Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala dijelaskan anggayuntaka laraning jagad, paklesa letehing buana, yang diartikan melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran masyarakat.

Lanjutnya, dalam lontar Sundarigama dijelaskan atari chaitra tekaning tilem iak pasuciang prawatek dewata kabeh ana ring telening samudera, amerta sarining amerta kamandalu matangiang wenang manusa kabeh, angaturang prakerti ring prawatek dewata.

Baca Juga :  Jalan-Jalan Saat Nyepi, Pekak Pikun Diamankan

“Pada hari tilem bulan chaitra merupakan hari penyucian para dewata, mengambil air kehidupan di tengah tengah samudra, oleh karena itu patutlah manusia/umat Hindu melakukan persembahan kepada para dewa,” sebutnya.

Upacara Melasti bertujuan untuk menyucikan arca, pratima, nyasa atau pralingga, seperti Arca Brahma, Wisnu, Siwa, Ganapati, dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan media yang memusatkan pikiran di dalam memuja Hyang Widhi. Selanjutnya memohon Tirtha Amerta, agar mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan dalam hidup.

Setelah melaksanakan Upacara Melasti barulah melaksanakan Upacara Tawur Kasanga sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Lontar Sri Aji Jaya Kasunu. Dijelaskan, ring tileming sasih kasanga patut maprakerti caru tawur wastanya. Artinya pada Tilem Sasih Kasanga patut mengadakan upacara Bhuta Yadnya yang disebut Tawur.

Dalam Lontar Sundari Gama menjelaskan bahwa ring prawaning tilem kesanga gaweakane bhuta ya yadnya ring catur pataning desa. Artinya pada hari prawarni tilem kasanga agar melaksanakan upacara Tawur Kasanga di perempatan desa.

Begitu juga dari kutipan Agastya Parwa dijelaskan, bhuta yadnya angaranya tawur kapuja ring tuwuh. “Bhuta yadnya adalah tawur untuk keselamatan makhluk hidup. Dalam Cundamani disebutkan tujuan Bhuta Yadnya adalah untuk menetralisasikan kekuatan-kekuatan alam agar perputaran alam ini tidak goncang,” katanya.

Kearifan Lokal dalam Konsep Bhuta Ya, Dewa Ya

Dalam Lontar Sundarigama disebutkan Hari Raya Nyepi dilaksanakan setelah diadakan Upacara Bhuta Yandya yang juga disebut Tawur Kasanga atau Pangrupukan.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Buleleng, Nyoman Suardika mengatakan, upacara Pangrupukan yang jatuh pada hari Tilem Sasih Kasanga itu memiliki makna filosofis yang sangat dalam bagi umat Hindu di Bali, yaitu kasanga berarti kesembilan.

“Angka sembilan merupakan angka terakhir untuk selanjutnya berganti dengan angka yang mengandung nol (0), misalnya setelah sembilan akan disusul oleh angka sepuluh, setelah sembilan belas akan disusul oleh dua puluh, dan seterusnya,” ungkap pria yang juga dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini.

Baca Juga :  Dilanggar, Bisa Apes; Ini Dewasa Ayu dan Pantangan Bercocok Tanam

Hal ini mengindikasikan bahwa setelah sembilan akan terjadi peralihan perhitungan. Kecuali itu, menurut kosmologi umat Hindu bahwa angka sembilan juga mengacu kepada ke sembilan penjuru arah mata angin.

Masyarakat Hindu di Bali percaya bahwa di sembilan arah mata angin itu bersemayam para Dewata, yaitu di arah timur Dewa Iswara, di Tenggara Dewa Maheswara, di Selatan Dewa Brahma, Dewa Rudra di Barat Daya, Dewa Mahadewa di arah Barat, Dewa Sangkara di Barat Laut, Dewa Wisnu di arah Utara, Dewa Sambu di Timur Laut, dan Dewa Siwa bersemanyam di tengah-tengah.

“Inilah konsep dari Dewata Nawa Sanga, artinya sembilan dewa yang bersemanyam di masing-masing arah mata angin,” paparnya.

Kearifan lokal masyarakat Bali juga mengenal konsep Kala Ya Dewa Ya. Konsep ini mengandung makna bahwa kala atau waktu itu terdiri atas waktu (hari) baik dan waktu buruk. Hari baik dihubungkan dengan turunnya para Dewa, sedangkan hari buruk diasosiasikan dengan berkeliarannya para Bhuta Kala. Oleh karena itu, lanjutnya, di samping di sembilan arah mata angin itu bersemanyam para dewa, juga di sembilan arah mata angin itu dihuni para Bhuta Kala.

Dari dimensi makrokosmos, setiap arah mata angin memiliki urip. Diantaranya arah Timur dengan urip 5, warna putih; arah Selatan dengan urip 9, warna merah; arah Barat dengan urip 7, warna kuning; arah Utara dengan urip 4, warna hitam, dan arah tengah dengan urip 8, warna brumbun (campuran dari kelima warna itu). Jika dijumlahkan urip-nya menjadi 33.

Dari dimensi mikrokosmos, para Dewa itu juga dapat bersemanyam di dalam tubuh manusia. Seperti Dewa Wisnu di empedu, Dewa Sambu di pankreas, Dewa Iswara di jantung, Dewa Maheswara di paru-paru, Dewa Brahma di hati, Dewa Rudra di usus, Dewa Mahadewa di ginjal, Dewa Sangkara di limpa, dan Dewa Siwa ditumpukan hati.

“Dengan demikian, pada hari raya Nyepi, para dewa itu disemanyamkan dan dipuja pada diri manusia,” pungkasnya.


SINGARAJA, BALI EXPRESS – Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1944 yang jatuh pada Kamis (3/3) tinggal menunggu beberapa jam saja. Umat Hindu di Nusantara merayakannya dengan penuh keheningan dan melakukan kontemplasi dalam menyambut tahun baru saka ini.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Buleleng, Nyoman Suardika kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (1/3) mengatakan, Hari raya Nyepi jatuh pada penanggal Apisan Sasih Kadasa (Eka Sukla Paksa Waisaka) sehari setelah Tilem Kesanga (Panca Dasi Krsna Paksa Sasih Chaitra).

Dikatakan Suardika, kata kadasa pada sasih kadasa selain bermakna ke sepuluh, juga dapat diinterpretasikan dengan kata kedas yang berarti bersih. Oleh karena itu, Hari Raya Nyepi diadakan pada paruh terang pertama (penanggal pisan) masa kesepuluh (sasih kadasa), merupakan hari pertama yang dipandang hari bersih untuk memulai dengan lembaran hidup baru pada tahun baru Çaka.

Dalam beberapa sumber disebutkan sebagai berikut ini. Pertama, di dalam Lontar Sri Aji Kasunu disebutkan : ring tileming sasih kasanga, patut maprakerti caru tawur wastanya, sadulurnyepi awengi.

“Artinya pada tilem sasih kasanga umat Hindu patut mengadakan upacara Bhuta Yadnya, yaitu Caru yang disebut Tawur, dilanjutkan dengan perayaan Nyepi satu malam,” ungkapnya.

Kemudian di dalam Lontar Sundari Gama disebutkan : atari chaitra tekaning tilem, ika pasucianing prawatek dewata kabeh, ana ring telenging samudra, amerta sarining kamandalu, matanghiang wenang manusa kabeh angaturan prakerti ring prawatek angapi kramanya, nihan atari prawanining tilem kasanga tan gawe akena bhuta yadnya ring catupataning desa. Enjangnya ring tilem lasti akena ikang pratime. Enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut gawe, saluirnya ageni ring saparaning genah tan wenang.

Jika dimaknai, yaitu bahwa pada hari Tilem Sasih Kasanga merupakan hari penyucian para dewa, mengambil air kehidupan yang ada di tengah-tengah lautan. Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala dijelaskan anggayuntaka laraning jagad, paklesa letehing buana, yang diartikan melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran masyarakat.

Lanjutnya, dalam lontar Sundarigama dijelaskan atari chaitra tekaning tilem iak pasuciang prawatek dewata kabeh ana ring telening samudera, amerta sarining amerta kamandalu matangiang wenang manusa kabeh, angaturang prakerti ring prawatek dewata.

Baca Juga :  Selain Obat, di Pura Tamba Waras Juga untuk Mohon Jodoh dan Keturunan

“Pada hari tilem bulan chaitra merupakan hari penyucian para dewata, mengambil air kehidupan di tengah tengah samudra, oleh karena itu patutlah manusia/umat Hindu melakukan persembahan kepada para dewa,” sebutnya.

Upacara Melasti bertujuan untuk menyucikan arca, pratima, nyasa atau pralingga, seperti Arca Brahma, Wisnu, Siwa, Ganapati, dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan media yang memusatkan pikiran di dalam memuja Hyang Widhi. Selanjutnya memohon Tirtha Amerta, agar mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan dalam hidup.

Setelah melaksanakan Upacara Melasti barulah melaksanakan Upacara Tawur Kasanga sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Lontar Sri Aji Jaya Kasunu. Dijelaskan, ring tileming sasih kasanga patut maprakerti caru tawur wastanya. Artinya pada Tilem Sasih Kasanga patut mengadakan upacara Bhuta Yadnya yang disebut Tawur.

Dalam Lontar Sundari Gama menjelaskan bahwa ring prawaning tilem kesanga gaweakane bhuta ya yadnya ring catur pataning desa. Artinya pada hari prawarni tilem kasanga agar melaksanakan upacara Tawur Kasanga di perempatan desa.

Begitu juga dari kutipan Agastya Parwa dijelaskan, bhuta yadnya angaranya tawur kapuja ring tuwuh. “Bhuta yadnya adalah tawur untuk keselamatan makhluk hidup. Dalam Cundamani disebutkan tujuan Bhuta Yadnya adalah untuk menetralisasikan kekuatan-kekuatan alam agar perputaran alam ini tidak goncang,” katanya.

Kearifan Lokal dalam Konsep Bhuta Ya, Dewa Ya

Dalam Lontar Sundarigama disebutkan Hari Raya Nyepi dilaksanakan setelah diadakan Upacara Bhuta Yandya yang juga disebut Tawur Kasanga atau Pangrupukan.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Buleleng, Nyoman Suardika mengatakan, upacara Pangrupukan yang jatuh pada hari Tilem Sasih Kasanga itu memiliki makna filosofis yang sangat dalam bagi umat Hindu di Bali, yaitu kasanga berarti kesembilan.

“Angka sembilan merupakan angka terakhir untuk selanjutnya berganti dengan angka yang mengandung nol (0), misalnya setelah sembilan akan disusul oleh angka sepuluh, setelah sembilan belas akan disusul oleh dua puluh, dan seterusnya,” ungkap pria yang juga dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini.

Baca Juga :  Sarasamuccaya (25) : Tiga Api Suci yang Disebut Tryagni

Hal ini mengindikasikan bahwa setelah sembilan akan terjadi peralihan perhitungan. Kecuali itu, menurut kosmologi umat Hindu bahwa angka sembilan juga mengacu kepada ke sembilan penjuru arah mata angin.

Masyarakat Hindu di Bali percaya bahwa di sembilan arah mata angin itu bersemayam para Dewata, yaitu di arah timur Dewa Iswara, di Tenggara Dewa Maheswara, di Selatan Dewa Brahma, Dewa Rudra di Barat Daya, Dewa Mahadewa di arah Barat, Dewa Sangkara di Barat Laut, Dewa Wisnu di arah Utara, Dewa Sambu di Timur Laut, dan Dewa Siwa bersemanyam di tengah-tengah.

“Inilah konsep dari Dewata Nawa Sanga, artinya sembilan dewa yang bersemanyam di masing-masing arah mata angin,” paparnya.

Kearifan lokal masyarakat Bali juga mengenal konsep Kala Ya Dewa Ya. Konsep ini mengandung makna bahwa kala atau waktu itu terdiri atas waktu (hari) baik dan waktu buruk. Hari baik dihubungkan dengan turunnya para Dewa, sedangkan hari buruk diasosiasikan dengan berkeliarannya para Bhuta Kala. Oleh karena itu, lanjutnya, di samping di sembilan arah mata angin itu bersemanyam para dewa, juga di sembilan arah mata angin itu dihuni para Bhuta Kala.

Dari dimensi makrokosmos, setiap arah mata angin memiliki urip. Diantaranya arah Timur dengan urip 5, warna putih; arah Selatan dengan urip 9, warna merah; arah Barat dengan urip 7, warna kuning; arah Utara dengan urip 4, warna hitam, dan arah tengah dengan urip 8, warna brumbun (campuran dari kelima warna itu). Jika dijumlahkan urip-nya menjadi 33.

Dari dimensi mikrokosmos, para Dewa itu juga dapat bersemanyam di dalam tubuh manusia. Seperti Dewa Wisnu di empedu, Dewa Sambu di pankreas, Dewa Iswara di jantung, Dewa Maheswara di paru-paru, Dewa Brahma di hati, Dewa Rudra di usus, Dewa Mahadewa di ginjal, Dewa Sangkara di limpa, dan Dewa Siwa ditumpukan hati.

“Dengan demikian, pada hari raya Nyepi, para dewa itu disemanyamkan dan dipuja pada diri manusia,” pungkasnya.


Most Read

Artikel Terbaru