BULELENG, BALI EXPRESS – Ratusan krama Desa Adat Pedawa, Buleleng tumpah ruah untuk mengikuti ritual ngangkid (Ngaben) di Tukad Pengangkidan, Senin (27/2) siang. Tradisi ini menjadi salah satu ritual unik yang dilaksanakan krama desa setempat.
Upacara Ngangkid juga dipusatkan di Tukad Pengangkidan sebagai tempat memanggil para roh atau atman yang sudah meninggal yang akan diupacarai. Kerabat dan sanak saudara pun ikut hadir untuk menyaksikan prosesi tersebut. Tidak ada petulangan maupun bade sebagaimana Ngaben di Bali pada umumnya.
Kelian Adat Pedawa Wayan Sudiastika mengatakan, prosesi Ngangkid di Pedawa memang diidentikkan dengan ritual Ngaben. Dalam upacara manusa yadnya ini, memang tidak ada jenazah utuh yang dibuatkan upacara Ngangkid. Pasalnya, jenazah tersebut memang sudah lama meninggal dan dikubur.
Sudiastika mengatakan, prosesi upacara ini menggunakan 12 jenis mata air. Pelaksanaannya pun ada yang massal maupun per dadia. “Tetapi, secara pakem, tetap sama dilaksanakan oleh Balian. Apakah itu Ngangkid massal atau per dadia, tetap dipimpin oleh Balian Desa,” katanya.
Saat Ngangkid dilaksanakan, roh terlebih dulu dibuatkan lau-lau sebagai adegan (tempat berstana). Lau-lau tersebut dituliskan dengan aksara Bali. Prosesi nyurat dilakukan di Sanggah Kamulan masing-masing.
Lau-lau ini lah yang dibawa ke Tukad Pengangkidan oleh sanak saudara yang meninggal untuk mengikuti proses Ngangkid. Jumlahnya ada 10 sawa.
Sesampainya di Tukad Pengangkidan, kemudian Balian Desa bertugas memanggil roh untuk masuk ke dalam adegan berupa Lau-lau. Setelah itu, barulah kembali ke Bale Pengangkidan. Di sana ada prosesi natab, dibuatkan tepung tawar, samsam bija kuning. Kemudian tahap berikutnya disebut ngeluwer.
Usai ngeluwer dilaksanakan natab banten pengangkidan. Setelah itu, Balian menghadirkan sawa atau atma yang meninggal. Kemudian roh tersebut memberikan piteket kepada pratisentana apakah anak, ibu atau bapak.
Sudiastika menyebut, ada sejumlah alasan mengapa prosesi Ngangkid dilaksanakan di Tukad Pengangkidan. Salah satunya karena lokasi ini diyakini sebagai tempat Dewa Bagus Manik Ngeluer untuk menerima dan mengantar roh ke surga.
Tukad Pengangkidan juga dianggap sebagai tempat arwah atau roh dalam menjalani hukuman. Krama meyakini jika tukad ini sebagai tempat stana dari Bhatari Durga dalam wujud Yamadipati.
“Saat prosesi Ngangkid dilaksanakan krama membendung air ((ngempel) di Tukad Pengangkidan untuk sementara waktu. Jika sudah dibendung, krama dilarang menggunakan air tersebut untuk kepentingan apapun. Kalau sudah selesai Ngangkid, barulah dibuka dan bisa digunakan kembali,” katanya.
Upacara Ngangkid, sebut Sudiastika, biasanya dilaksanakan berpedoman dengan lelintihan dan selalu dilakukan setelah upacara saba (odalan) di pura yang ada di Pedawa. Alasannya, agar upacara ini tidak nyebelin saba. Apabila ini dilaksanakan bersamaan pada waktu saba, maka akan mengakibatkan roh tidak mendapat tempat di alam baka.