26.5 C
Denpasar
Sunday, April 2, 2023

Tradisi Metoh-tohan Kelilingi Api Unggun 12 Jam, Kalah Kena Denda

BANGLI, BALI EXPRESS -Desa Adat Manikliyu memiliki tradisi Metoh-tohan yang dilaksanakan saat Galungan Nadi dan Galungan Mabunga. Masyarakat setempat menyebut Galungan Nadi apabila Galungan bertepatan dengan Purnama Sasih kapitu, sedangkan Galungan Mabunga, jika pada wuku Dungulan terdapat Purnama kapitu.

Galungan Mabunga dirayakan desa yang berada di Kecamatan Kintamani, Bangli itu pada Galungan belum lama ini. Sebab, saat itu terdapat Purnama kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan. Oleh karena itu, desa setempat menggelar tradisi Metoh-tohan, yang merupakan salah satu rangkaian merayakan Galungan Mabunga.

Bendesa Manikliyu I Nyoman Jaga. Istimewa

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Metoh-tohan dimaknai sebagai taruhan. Pemain utamanya adalah daha (pemudi), teruna (pemuda), janda (balu luh) dan duda (balu muani). Tidak ada unsur judi dalam tradisi ini. Mereka tidak menggunakan uang sebagai taruhan. Melainkan, bagi yang mengalami kekalahan harus membayar denda berupa 2 kaling atau 2-3 liter tuak.

Toh-tohan ini disaksikan oleh prajuru adat dan diiringi oleh sekaa gong dan sekaa gambang. Prosesi diawali dengan membuat penjor, membuat candi bentar dan gelung kuri, melasti, sampian oyod lunga (mengunjungi) ke Kahyangan Tiga, Pura Dadia, dan Pura Pemaksan, metoh-tohan, metalun teruna, metani, metalun desa, dan mabuang.

Bendesa Manikliyu I Nyoman Jaga menjelaskan, saat ritus Metoh-tohan dipentaskan tarian dengan mengelilingi api unggun selama 12 jam. Para penari bersama sekaa gambang dan sekaa gong berpuasa. Mereka tidak boleh tidur, dilarang keluar dari arena pertandingan (grombong).

“Apabila salah satu peserta, terutama daha (pemudi) dan janda (balu luh) menggunakan selendang dan jatuh, maka dinyatakan kalah. Apabila mengalami kekalahan harus membayar denda dengan tuak 2 kaling (2-3 liter minuman tuak),” katanya, belum lama ini.

Uniknya, saat Metoh-tohan ada sebuah pertanda muncul. Yakni adanya burung bangau atau kedis kokokan yang berukuran sangat besar yang hinggap di salah satu palinggih yang ada di Pura Bale Agung. Areal pelaksanaan Metoh-tohan atau grombong dilaksanakan di areal jaba tengah Pura Bale Agung. Sengaja dibuatkan areal yang berbentuk lingkaran yang berdiameter kurang lebih 11 depa atau panjang rentang tangan dari ujung tangan kiri ke ujung tangan kanan. Setiap depa panjangnya 1,5 meter.

Baca Juga :  Bisa Nunas Tamba, Juga Diyakini sebagai Pengantar Roh ke Sunialoka

Areal tersebut menggunakan pelepah daun enau yang sudah dikumpulkan oleh krama pangarep atau tergantung jumlah krama desa pangarep (warga pokok). Pelepah yang dikumpulkan pun harus dengan kondisi yang bagus, apabila dinyatakan rusak harus dikembalikan dan mengumpulkan yang baru.

Setelah semua terkumpul, baru pelepah tersebut ditancapkan ke tanah berbentuk lingkaran dan dijalin menggunakan tikar. Tidak hanya mempergunakan pelepah enau, tetapi juga menggunakan tikar yang nantinya akan membuat panas api itu tidak keluar dan hawa panas tersebut terasa oleh para penari.

Sebelum dilakukan Metoh-tohan tersebut, terlebih dulu ada persembahan sarana upakara seperti banten caru eka sata. Tujuannya untuk mengharmoniskan dengan unsur palemahan.

Selama di dalam arena (grombong), para penari daha dan janda menari seperti Tari Rejang. Sedangkan untuk teruna dan duda menari seperti penari Tari Baris. Gerakan tergolong sederhana. Daha dan janda menari mengelilingi api unggun dan mengikatkan selendangnya di salah satu jari yang saling mengikat satu penari dengan penari lainnya.

Posisi Pradulu (ulu apad) ikut serta di dalam yang fungsinya untuk mengontrol jalannya ritual. Adapun tugas dari teruna yang tidak mengikuti Metoh-tohan tersebut adalah mengatur besar kecilnya api dan menyiapkan kayu bakar.

Baca Juga :  Lontar Dipingit dan Pemilik Takut Ajawera, Konservasi Terhambat

“Mereka yang mempunyai tugas ini diperbolehkan keluar masuk arena. Api unggun yang dibuat pun tidak kecil, tidak tanggung-tanggung api yang ada di dalam pun memiliki ketinggian sampai 7 meter setara dengan tinggi pohon enau dan dengan kondisi api yang tidak boleh padam,” ungkapnya.

Keesokan harinya setelah waktu dianggap cukup oleh pradulu adat, maka mereka yang ada di dalam area Metoh-tohan keluar dan merobek grombong yang terbuat dari daun enau menggunakan keris.

“Abu dari sisa pembakaran api unggun tersebut dibagi kepada masyarakat desa yang memiliki lahan perkebunan, selanjutnya abu tersebut ditaburkan di ladang yang dipercaya oleh masyarakat untuk kesuburan tanaman,” paparnya.

Tradisi yang dilaksanakan masyarakat Desa Adat Manikliyu, Kecamatan Kintamani, Bangli ini, memang tergolong sebagai tradisi turun-temurun. Bahkan tercatat sudah ada sejak angka tahun 877 SM pada Prasasti Manikliyu.

Dikatakan I Nyoman Jaga, tradisi yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi ini diyakini sebagai bentuk penghormatan dan persembahan yang tulus kepada para leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Ia menambahkan, tradisi Metoh-tohan oleh masyarakat Manikliyu, tidak hanya dilihat sebagai prosesi ritual dan pendidikan semata, tetapi masyarakat juga banyak memberikan pelajaran terhadap generasi muda di Desa Manikliyu agar senantiasa menjaga, memelihara, dan melestarikan kebudayaan yang sudah ada.

Upacara Galungan Nadi dan Galungan Mabunga khususnya ritus Metoh-tohan sebagai upacara yang wajib dilaksanakan karena akan membawa kemakmuran.

“Masyarakat yakin dan percaya mengenai abu dari sisa pembakaran api unggun tersebut diambil dan dipergunakan oleh para petani yang ada di desa yang nantinya ditaburkan di ladang,” tutupnya.

 






Reporter: I Putu Mardika

BANGLI, BALI EXPRESS -Desa Adat Manikliyu memiliki tradisi Metoh-tohan yang dilaksanakan saat Galungan Nadi dan Galungan Mabunga. Masyarakat setempat menyebut Galungan Nadi apabila Galungan bertepatan dengan Purnama Sasih kapitu, sedangkan Galungan Mabunga, jika pada wuku Dungulan terdapat Purnama kapitu.

Galungan Mabunga dirayakan desa yang berada di Kecamatan Kintamani, Bangli itu pada Galungan belum lama ini. Sebab, saat itu terdapat Purnama kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan. Oleh karena itu, desa setempat menggelar tradisi Metoh-tohan, yang merupakan salah satu rangkaian merayakan Galungan Mabunga.

Bendesa Manikliyu I Nyoman Jaga. Istimewa

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Metoh-tohan dimaknai sebagai taruhan. Pemain utamanya adalah daha (pemudi), teruna (pemuda), janda (balu luh) dan duda (balu muani). Tidak ada unsur judi dalam tradisi ini. Mereka tidak menggunakan uang sebagai taruhan. Melainkan, bagi yang mengalami kekalahan harus membayar denda berupa 2 kaling atau 2-3 liter tuak.

Toh-tohan ini disaksikan oleh prajuru adat dan diiringi oleh sekaa gong dan sekaa gambang. Prosesi diawali dengan membuat penjor, membuat candi bentar dan gelung kuri, melasti, sampian oyod lunga (mengunjungi) ke Kahyangan Tiga, Pura Dadia, dan Pura Pemaksan, metoh-tohan, metalun teruna, metani, metalun desa, dan mabuang.

Bendesa Manikliyu I Nyoman Jaga menjelaskan, saat ritus Metoh-tohan dipentaskan tarian dengan mengelilingi api unggun selama 12 jam. Para penari bersama sekaa gambang dan sekaa gong berpuasa. Mereka tidak boleh tidur, dilarang keluar dari arena pertandingan (grombong).

“Apabila salah satu peserta, terutama daha (pemudi) dan janda (balu luh) menggunakan selendang dan jatuh, maka dinyatakan kalah. Apabila mengalami kekalahan harus membayar denda dengan tuak 2 kaling (2-3 liter minuman tuak),” katanya, belum lama ini.

Uniknya, saat Metoh-tohan ada sebuah pertanda muncul. Yakni adanya burung bangau atau kedis kokokan yang berukuran sangat besar yang hinggap di salah satu palinggih yang ada di Pura Bale Agung. Areal pelaksanaan Metoh-tohan atau grombong dilaksanakan di areal jaba tengah Pura Bale Agung. Sengaja dibuatkan areal yang berbentuk lingkaran yang berdiameter kurang lebih 11 depa atau panjang rentang tangan dari ujung tangan kiri ke ujung tangan kanan. Setiap depa panjangnya 1,5 meter.

Baca Juga :  Upacara Nampah Batu di Pura Puseh Desa Depeha, Kubutambahan (2-Habis)

Areal tersebut menggunakan pelepah daun enau yang sudah dikumpulkan oleh krama pangarep atau tergantung jumlah krama desa pangarep (warga pokok). Pelepah yang dikumpulkan pun harus dengan kondisi yang bagus, apabila dinyatakan rusak harus dikembalikan dan mengumpulkan yang baru.

Setelah semua terkumpul, baru pelepah tersebut ditancapkan ke tanah berbentuk lingkaran dan dijalin menggunakan tikar. Tidak hanya mempergunakan pelepah enau, tetapi juga menggunakan tikar yang nantinya akan membuat panas api itu tidak keluar dan hawa panas tersebut terasa oleh para penari.

Sebelum dilakukan Metoh-tohan tersebut, terlebih dulu ada persembahan sarana upakara seperti banten caru eka sata. Tujuannya untuk mengharmoniskan dengan unsur palemahan.

Selama di dalam arena (grombong), para penari daha dan janda menari seperti Tari Rejang. Sedangkan untuk teruna dan duda menari seperti penari Tari Baris. Gerakan tergolong sederhana. Daha dan janda menari mengelilingi api unggun dan mengikatkan selendangnya di salah satu jari yang saling mengikat satu penari dengan penari lainnya.

Posisi Pradulu (ulu apad) ikut serta di dalam yang fungsinya untuk mengontrol jalannya ritual. Adapun tugas dari teruna yang tidak mengikuti Metoh-tohan tersebut adalah mengatur besar kecilnya api dan menyiapkan kayu bakar.

Baca Juga :  Hindari Jalan Longsor, CRV Terguling di Perbatasan Sukawati-Kemenuh

“Mereka yang mempunyai tugas ini diperbolehkan keluar masuk arena. Api unggun yang dibuat pun tidak kecil, tidak tanggung-tanggung api yang ada di dalam pun memiliki ketinggian sampai 7 meter setara dengan tinggi pohon enau dan dengan kondisi api yang tidak boleh padam,” ungkapnya.

Keesokan harinya setelah waktu dianggap cukup oleh pradulu adat, maka mereka yang ada di dalam area Metoh-tohan keluar dan merobek grombong yang terbuat dari daun enau menggunakan keris.

“Abu dari sisa pembakaran api unggun tersebut dibagi kepada masyarakat desa yang memiliki lahan perkebunan, selanjutnya abu tersebut ditaburkan di ladang yang dipercaya oleh masyarakat untuk kesuburan tanaman,” paparnya.

Tradisi yang dilaksanakan masyarakat Desa Adat Manikliyu, Kecamatan Kintamani, Bangli ini, memang tergolong sebagai tradisi turun-temurun. Bahkan tercatat sudah ada sejak angka tahun 877 SM pada Prasasti Manikliyu.

Dikatakan I Nyoman Jaga, tradisi yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi ini diyakini sebagai bentuk penghormatan dan persembahan yang tulus kepada para leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Ia menambahkan, tradisi Metoh-tohan oleh masyarakat Manikliyu, tidak hanya dilihat sebagai prosesi ritual dan pendidikan semata, tetapi masyarakat juga banyak memberikan pelajaran terhadap generasi muda di Desa Manikliyu agar senantiasa menjaga, memelihara, dan melestarikan kebudayaan yang sudah ada.

Upacara Galungan Nadi dan Galungan Mabunga khususnya ritus Metoh-tohan sebagai upacara yang wajib dilaksanakan karena akan membawa kemakmuran.

“Masyarakat yakin dan percaya mengenai abu dari sisa pembakaran api unggun tersebut diambil dan dipergunakan oleh para petani yang ada di desa yang nantinya ditaburkan di ladang,” tutupnya.

 






Reporter: I Putu Mardika

Most Read

Artikel Terbaru