Tradisi penggunaan Okokan di Desa Adat Kediri beberapa tahun terakhir menjadi pertunjukan rutin menjelang Hari Raya Nyepi tepatnya pada Tawur Kasanga.
TABANAN, BALI EXPRESS -Malam Pangrupukan atau sehari sebelum Nyepi umumnya dirayakan dengan mengarak Ogoh-ogoh keliling desa. Namun berbeda dilakukan masyarakat Desa Adat Kediri, Kecamatan Kediri, Tabanan. Krama menetralkan energi negatif jelang Hari Raya Nyepi dengan mementaskan kesenian Okokan.
Dahulu tradisi mementaskan Okokan dilaksanakan krama Desa Adat Kediri ketika sedang mengalami musibah (gerubug) atau terserang wabah penyakit (kabrebehan). Warga masing-masing banjar keliling desa dengan membunyikan bunyi-bunyian (nektek atau tektekan) yang lebih dikenal dengan tradisi Okokan.
Namun, sejak tahun 2014 hingga sekarang ini, pelaksanaan Okokan rutin dilaksanakan setiap malam Pangrupukan. Keputusan itu ditetapkan melalui peraturan tidak tertulis setelah melalui musyawarah desa yang dihadiri oleh tokoh adat dari masing-masing banjar se-Desa Kediri dan disetujui oleh seluruh banjar.
Okokan ini terbuat dari kayu, menyerupai kentongan seperti kalung sapi yang berbentuk segi empat dan berukuran besar. Bagian dalam diisi kayu pentol atau disebut palit.
Namun, seiring perkembangan zaman, mulai dihias dengan berbagai lukisan yang berbeda sesuai dengan kegiatannya. Salah satunya adalah Karang Boma sebagai simbol penolak bala dan menggunakan kain poleng.
Tokoh Desa Adat Kediri Anak Agung Ngurah Panji menjelaskan, menurut cerita dari tetua yang ada di desanya, Okokan ini dibunyikan ketika masyarakat merasakan ada sesuatu merana atau mala, misalnya ada wabah atau gagal panen di masyarakat. Wabah seperti banyaknya orang yang sakit atau tanaman di sawah diserang hama.
Ketika ada kejadian seperti itu, masyarakat langsung turun dan memainkan Okokan tersebut. Inilah ciri daripada Okokan yang dimainkan itu disebut Okokan Nadi. Disebut demikian karena pada alat musik tersebut mengandung unsur taksu atau berunsur religius.
Konon, kalau sudah nadi, pementasan Okokan bisa berlangsung lebih dari satu bulan dan susah dihentikan sampai para tetua banjar dan perangkat Desa Kediri turun tangan menyepakati Okokan untuk diakhiri.
“Tradisi penggunaan Okokan di Desa Adat Kediri beberapa tahun terakhir menjadi pertunjukan rutin sebelum menjelang Hari Raya Nyepi, tepatnya pada Tawur Kasanga,” ungkap Ngurah Panji.
Pementasan kesenian Okokan saat Tawur Kasanga sebagai persembahan upacara Bhuta Yadnya. Suaranya diyakini mampu menetralkan kekuatan negatif yang berwujud Bhuta Kala agar kembali menjadi positif.
Ada sejumlah rangkaian yang dilalui saat membunyikan Okokan saat malam Pangrupukan. Prosesi diawali dengan matur piuning agar diberikan kelancaran dalam pementasan. Krama meyakini pementasan ini sekaligus sebagai nyomya. Selanjutnya meletakan kembali Okokan di setiap Bale Banjar Desa Adat Kediri.
Pementasan Okokan ini dilakukan dengan mengelilingi Desa Adat Kediri yang sebelumnya diadakan matur piuning terlebih dulu oleh Jro Mangku di Pura Ratu Gede Ngurah, kemudian mempersiapkan alat-alat gambelan, termasuk Okokan yang diambil dari masing-masing Bale Banjar.
Kesenian ini dipentaskan pada pukul 19.00 sampai selesai. Sarana yang digunakan berupa banten pangulapan, jerimpen pajeg pitu, prayascita, pasucian, pejati 2 soroh, ayengan surya, sasat gantung 2, sasat, segehan agung, segehan barak, tetabuhan.
Okokan ketika diayun-ayun mengandung taksu (kekuatan magis), sehingga menjadi hidup dan berjiwa. Bahkan, ketika dimainkan mengeluarkan suara atau irama yang tidak hanya indah, namun mampu menggetarkan perasaan, baik secara sekala maupun niskala. “Sifat-sifat keburukan yang harus dikendalikan sehingga bisa menciptakan sifat-sifat kebaikan dari diri sendiri,” sebutnya.
Sebelum Okokan ini keliling desa, dilakukan persembahyangan terlebih dulu dan mempersembahkan banten di depan Okokan. Setelah itu, dilanjutkan dengan mengelilingi banjar masing-masing terlebih dulu. Dilanjutkan dengan mengelilingi desa sebanyak satu kali.
Selain itu, dalam kegiatan mengelilingi desa ini, canang segehan Panca Warna dipersembahkan di setiap banjar yang akan dilewati Okokan.
Ngurah Panji menyebutkan, saat Okokan keliling desa, masyarakat tumpah ruah dengan membawa obor sebagai alat penerangan untuk melintasi perjalanan. Mereka berbaris rapi. Pada barisan utama diawali dengan alat Okokan yang sudah disakralkan (pasupati).
“Berbeda dengan kegiatan tektekan yang hanya untuk dipentaskan yang tidak bersifat sakral, alat yang telah dipasupati tidak digunakan dalam acara festival atau acara yang lainnya yang tidak bersifat sakral,” tutupnya.