BALI EXPRESS, DENPASAR – Pohon-pohon yang berdiri kokoh di pinggir jalan, di sebuah persimpangan, pura, atau di kuburan di Bali, banyak dihiasi lilitan kain berwarna hitam putih berkotak-kotak seperti papan catur. Masyarakat Bali menyebutnya sebagai saput poleng.
Poleng tersebut bermakna sama dengan dua warna atau lebih yang dipadukan dalam satu benda. Namun ketika menyebutkan saput poleng, maka secara otomatis pikiran masyarakat akan mengarah ke perpaduan warna hitam dan putih.
Jika sudah terbalut kain poleng, maka secara otomatis masyarakat Bali akan segan terhadap benda-benda tersebut. Misalnya pohon besar, patung, atau palinggih tertentu. Sehingga pada umumnya ketika diperhatikan secara seksama, secara umum akan ditemukan tumpukan sesajen berupa canang pada pohon yang terbalut saput poleng. Apabila sudah demikian, maka anggapan bahwa pohon tersebut angker, ada penunggunya, dan anggapan lain yang dihubungkan dengan hal gaib akan mengiringi. Sehingga tidak akan ada yang berani macam-macam terhadap pohon tersebut. Jangankan untuk memotong dahannya, memetik daunnya saja orang berpikir panjang.
Ketika ada orang asing yang bertanya tentang makna saput poleng tersebut, bisa dipastikan bahwa akan timbul jawaban yang dihubungkan dengan sesuatu yang mistis, sakral, atau niskala. Jika yang dibalut adalah palinggih, arca atau patung di areal pura, maka jawaban yang berhubungan dengan mistis, sakral, atau niskala tersebut tentu akan memuaskan.
Namun jika yang ditanyakan adalah pohon, tentu jawaban tersebut tidak akan bisa diterima begitu saja. Akan timbul pertanyaan lainnya, “Apakah umat Hindu memuja pohon?” dan berbagai pertanyaan lainnya yang cukup membuat repot.
Oleh karena itu, saput poleng yang belakangan ini semakin “akrab” di kalangan masyarakat, baik generasi muda maupun masyarakat cukup menarik untuk dibahas. Saput poleng yang di satu sisi dianggap mengandung nilai filosofis, sedangkan di sisi lain justru menjadi bagian tren, seperti busana dan dekorasi.
Dalam praktiknya, penganut Agama Hindu di Bali tidak bisa dilepaskan dari penggunaan simbol-simbol. Mulai dari aksara, arca, bangunan hingga ke peralatan-peralatan sehari-hari yang juga digunakan dalam upacara.
Simbol-simbol tersebut umumnya ada di setiap rumah umat. Penggunaan simbol-simbol yang disakralkan tersebut tentunya tidak asal atau hanya mengada-ada. Penggunaan simbol-simbol tersebut tentunya berdasakan nilai-nilai filosofis yang tinggi. Umumnya nilai-nilai tersebut diambil dari intisari ajaran suci Weda yang diimplementasikan dalam kehidupan. Untuk lebih mudah dipahami dan praktis atau tanpa penjelasan panjang lebar, maka nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol tertentu.
Saput poleng adalah salah satu simbol yang kerap digunakan oleh umat Hindu, khususnya di Bali. Mulai dari penggunaannya sebagai wastra palinggih, ikat kepala, busana, hingga penanda pohon yang dianggap memiliki nilai sakral. Pohon-pohon tersebut seperti beringin, bunut, pulai, kepuh, dan pohon lainnya yang umumnya berbatang besar dan tinggi serta tumbuh di tempat-tempat yang sakral pula, seperti persimpangan jalan, pura, kuburan, dan sebaginya.
Menurut Guru Besar Bidang Hukum Adat Bali Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud), Prof. Dr. Wayan P. Windia SH., MSi, memang ada tiga jenis kain poleng yang ada di Bali. “Memang itu ada filosofinya. Tentunya masyarakat Bali tidak asal memasang begitu saja,” ujarnya ketika ditemui Bali Express (Jawa pos Group) beberapa waktu lalu.
Secara mendetail mengenai filosofi, pria yang gemar menggunakan pakaian dengan corak poleng tersebut menyarankan untuk membaca lebih dalam dalam berbagai sumber. Secara pribadi Windia mengatakan bahwa dirinya memang senang menggunakan pakaian bermotif poleng. “Memang senang saja sehingga menggunakannya hingga sekarang,” jelasnya.
Sementara itu, salah satu mahasiswa Brahma Widya Program Pasca Sarjana STAHN Denpasar (kini IHDN Denpasar) I Ketut Rupawan dalam tesisnya yang kini telah menjadi buku berjudul “Saput Poleng dalam Kehidupan Beragama Hindu di Bali”, menjelaskan ada tiga macam saput poleng berdasarkan kombinasi warnanya. Yakni saput poleng rwabhineda, yaitu berwarna hitam putih; saput poleng sudhamala, yaitu berwarna putih, abu-abu, dan hitam; dan saput poleng tridatu, yaitu berwarna putih, hitam, dan merah.
Selanjutnya, secara filosofis saput poleng tersebut dikatakan memiliki masing-masing makna. Saput poleng rwabhineda memiliki filosofi ajaran yang identik dengan penerapan rwabhineda, yakni dua hal berbeda yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan, seperti baik-buruk, siang-malam, panas-dingin, dan sebagainya.
Selanjutnya saput poleng tridatu memiliki filosofi ajaran Triguna, yaitu tiga sifat yang mempengaruhi manusia, terdiri dari warna putih melambangkan sattwam (tenang/bijak), merah melambangkan rajas (aktif/keras), dan hitam tamas (malas/bodoh). Ada juga yang menghubungkan bahwa tiga warna tersebut merupakan simbol Tiga Dewa (Tri Murti), yakni merah melambangkan Brahma, hitam Wisnu, dan putih adalah Siwa.
Sedangkan pada saput poleng sudhamala, warna putih dan hitam merupakan lambang rwabhineda yang diselaraskan oleh warna abu-abu, layaknya warna putih dalam saput poleng tridatu.
Meskipun ada berbagai macam versi pemaknaan tersebut, inti yang terkandung dalam simbol berupa saput poleng tersebut adalah berhubungan dengan keseimbangan dunia dan kecerdasan pemakainya. Mengapa dikaitkan dengan kecerdasan pemakainya? Itu karena si pemakai berarti telah bisa membedakan hal yang baik dan buruk, patut dan tidak patut, benar dan salah, sehingga bisa berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai ajaran Dharma.
Sehingga bisa dijumpai, umumnya orang-orang yang menggunakan saput poleng adalah pecalang, dalang, dan punakawan dalam seni drama atau arja. Bahkan busana tarian tertentu juga menggunakannya. Sedangkan jika dipasang pada benda, pohon, atau bangunan tertentu, kain poleng bisa sebagai wastra atapun sawen (tanda) bahwa benda dan bangunan tersebut patut dijaga keberadaannya.