BULELENG, BALI EXPRESS -Konsep purusa dan pradana dalam kaitan dengan hukum waris adat Bali mengenal beberapa istilah, seperti pewaris, ahli waris, dan hak serta kewajiban ahli waris. Seorang ahli waris atau keturunannya tidak hanya mewarisi harta benda semata. Tetapi juga harus paham kewajiban atau ayahan dari para leluhurnya.
Dikatakan dosen Hukum Hindu, STAHN Mpu Kuturan Gede Yoga Satriya Wibawa, pewaris adalah orang yang meninggalkan harta warisan. Dalam pengertian seperti itu, maka pewaris dapat berstatus anak, orang tua, kakek, nenek ataupun saudara.
Dengan kata lain, pewaris itu kemungkinan berada di garis lurus ke atas, misalnya orang tua atau kakek nenek yang meninggal. Ada kemungkinan berada di garis lurus menurun, misalkan yang meninggal itu si anak, atau bisa jadi di garis samping, apabila yang meninggalkan harta itu saudara atau paman. Siapapun dia, karena masyarakat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal (baca purusa), maka yang dimaksud itu mempunyai hubungan di garis purusa
Ahli waris adalah orang yang menerima harta warisan dari pewaris. Sama halnya dengan pewaris, ahli waris juga kemungkinannya ada di garis menurun anak ataupun cucu, kemungkinan di garis ke atas orang tua ataupun kakek, nenek, dan juga di garis samping seperti saudara ataupun paman, sepupu.
Siapapun yang menjadi ahli waris, dalam artian mempunyai hubungan garis purusa dengan pewaris. Walaupun ahli waris itu kemungkinannya ada di garis mendaki, di garis menurun, ataupun di garis samping. Akan tetapi untuk menentukan siapa yang secara nyata benar-benar berhak mewaris, hal tersebut ditentukan berdasarkan dua prinsip, yaitu prinsip keutamaan dan prinsip pergantian.
Yoga menambahkan, seorang ahli waris menurut hukum adat Bali, tidak saja mewarisi hak, akan tetapi juga mewarisi kewajiban dari si pewaris. Warisan berupa hak misalnya hak atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si pewaris, baik berupa harta yang bergerak seperti mobil, uang, perhiasan, maupun harta yang tidak bergerak berupa tanah baik sawah, ladang, bangunan rumah, tempat suci.
Warisan berupa kewajiban antara lain berupa kewajiban meneruskan harta kekayaan yang diterimanya itu kepada ahli waris generasi berikutnya. Kewajiban memelihara si pewaris pada waktu masih hidup, termasuk merawatnya dalam keadaan sakit dan membuatkan upacara ritual setelah pewaris meninggal, serta melakukan pemujaan setelah si pewaris berstatus sebagai leluhur yang distanakan di sanggah atau pamerajan ataupun pura kawitan.
Selain kewajiban tersebut, seorang ahli waris juga wajib meneruskan ayahan. Ayahan si pewaris di masyarakat banjar ataupun desa pakraman, demikian juga kewajiban memelihara hubungan manyama braya. Hak dan kewajiban tersebut juga dilakukan dalam hubungan garis purusa.
“Purusa dan pradana dalam arti yang sempit mempunyai makna biologis yang diartikan laki-laki (untuk purusa) dan perempuan (untuk pradana),” ujarnya.
Purusa dan pradana, lanjutnya, juga dapat diartikan secara lebih luas dalam hal ini bermakna sosial yang berarti kedudukan atau status maupun fungsi. Dalam pengertian ini baik laki-laki maupun perempuan dapat berkedudukan ataupun berfungsi sebagai purusa. “Demikian juga di lain pihak baik laki-laki maupun perempuan dapat berkedudukan sebagai pradana,” pungkasnya.