NEGARA, BALI EXPRESS – Pura Bakungan di Dusun Penginuman, Kelurahan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Jembrana, diyakini berkaitan erat dengan keberadaan Pura Agung Pecangakan, yang berada di belakang Kantor Bupati Jembrana, di Dauhwaru.
Juru Sapuh Pura Bakungan, Wayan Lulut, menuturkan, piodalan di Pura Bakungan dilakukan setiap enam bulan sekali, pada Rabu, Wage, wuku Kelawu atau yang lazim disebut dengan Buda Cemeng Kelawu.
Pura Bakungan terdiri dari dua halaman, yaitu halaman luar (jaba) dan halaman dalam (jeroan). Sebelum memasuki areal pura, di depan sisi kiri terdapat bangunan bale yang berisikan palinggih dan patung macan hitamputih di kedua sisi.
“Pengguna jalan Gilimanuk-Singaraja biasanya berhenti sejenak, bersembahyang mohon keselamatan. Karena mereka akan masuk ke wilayah pedalaman (hutan) sebelum tiba di Singaraja,” terangnya pekan kemarin.
Memasuki bagian dalam pura, berdiri candi setinggi sekitar 5 meter. Bangunan itu merupakan bangunan awal atau pokok yang dikenal dengan Candi Bakungan. Keberadaan bangunan candi yang terbuat dari bata merah itu, dipercaya sebagai peninggalan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Susunan bata merah itu, bentuknya serupa dengan candi-candi yang ada di Pulau Jawa. Bangunan candi itu terdiri dari bagian kaki candi, badan candi dan atap candi (lapik).
Keberadaan Candi Bakungan ini juga erat kaitannya dengan masuknya Mpu Kuturan ke Bali pada abad ke-9. Hal ini dibuktikan dengan adanya Lingga Siwa-Buddha yang ditemukan di lokasi yang merupakan peninggalan zaman Majapahit. Sehingga keberadaan Candi Bakungan sendiri sesuai UU RI Nomor 5 Tahun 1992 Prov. Bali, NTB, NTT masuk sebagai cagar budaya nasional.
Tidak hanya itu, berdasarkan SK Bupati Jembrana Nomor 373/Sosbud/2005, kawasan Candi Bakungan masuk kedalam kawasan suci. “Selain candi, disini juga ada dua Lingga Siwa-Buddha peninggalan Majapahit. Sekarang ditempatkan di depan candi di dalam areal pura,” ujarnya.
Di sisi utara areal Pura Bakungan, terdapat Palinggih Taman dan juga Palinggih Ulun Danu Tirta. Di lokasi ini dipercaya sebagai tempat Payogan Dalem Siwa Budha Narayana. “Pamedek yang datang untuk bersembahyang, biasanya juga melakukan ritual panglukatan. Sarana menggunakan banten daksina dan klungah,” imbuhnya.
Di sisi barat Pura Bakungan, terdapat Pohon Beringin besar, yang dibawahnya berdiri sebuah palinggih yang berisi patung kijang dan seekor kuda putih. Dikatakan Juru Sapuh Wayan lulut, keberadaan palinggih ini sebagai penghormatan kepada Patih Ki Jaya Kusuma yang gugur dalam peperangan mempertahankan Kerajaan Bakungan.
Dijelaskannya, dari kutipan Babad Dinasti Ki Ageng Melele Cengkrong (Pedoman Sejarah Keluarga Pancoran) diceritakan, pada tahun 1400 M kekuasaan atas daerah Jembrana dilanjutkan oleh keturunan Raja Bakungan (Sri Ageng Malele Cengkrong), yaitu Ki Ageng Mekel Bang, Ki Ageng Cengkrong, dan Ki Ageng Malele Bang.
Selanjutnya Ki Ageng Mekel Bang mendirikan puri jauh di sebelah timur Kerajaan Bakungan yang diberi nama Kerajaan Pecangakan. Karena di daerah ini masih merupakan dataran rendah yang banyak ada Burung Cangak (Bangau). Maka beliau oleh penguasa yang berpusat di Samprangan (Sri Kresna Kepakisan) diberi gelar I Gusti Ngurah Gde Pecangakan.
Beliau memerintah bersama adiknya yang pada waktu itu sebagai Manca Agung (wakil raja) yang bernama Ki Ageng Malele Bang. Sebagai patih saat itu, diangkatlah Ki Tegal Badeng yang masih merupakan turunan Bali Aga.
I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dianugerahi seekor kuda putih oleh Dalem Pasuruan (Sri Bimo Cili) yang masih merupakan kerabatnya. Mengingat Kerajaan Pecangakan jauh terletak di sebelah timur dari Kerajaan Bakungan. Kuda ini diberi nama Jaran Bana Rana. Berkat kerja keras dari Kerajaan Pecangakan, negeri tersebut menjadi makmur, aman, dan sentosa.
Sementara Ki Ageng Cengkrong melanjutkan pemerintahan ayahandanya di Kerajaan Bakungan dan beliau oleh Dalem Kresna Kepakisan diberi gelar I Gusti Ngurah Bakungan. Beliau mengangkat patih yang bernama Ki Jaya Kusuma yang merupakan kerabatnya di Pejarakan.