27.6 C
Denpasar
Sunday, March 26, 2023

Rerajahan dalam Ritual Metatah, Penolak Bala Desti Teluh Tarangjana

Saat pelaksanaan upacara metatah, tidak terlepas dari penggunaan sarana Rerajahan Semara Ratih yang dirajah pada tikeh tempat metatah dilakasanakan. Rupanya, rerajaan ini berfungsi sebagai sarana penolak bala desti teluh tarangjana.

 

Dosen Filsafat, STAHN Mpu Kuturan Singaraja, I Made Gami Sandi Untara, S.Fil.H, M.Ag mengatakan rerajahan diyakini dapat memberikan kekuatan-kekuatan gaib yang dapat membantu kehidupan manusia yang menggunakannya.

 

Rerajahan merupakan salah satu simbol dalam agama Hindu berupa gambar-gambar wayang yang dikonfirmasikan dengan Aksara Bali yang mempunyai bentuk fungsi makna filosofis yang sangat kompleks.

 

Gami mengatakan, penggunaan Rerajahan Semara Ratih dalam upacara Metatah terungkap dalam Lontar Dharma Kahuripan, isinya yakni: Malih maka pangangya ring angekeb, tatkalaning atatah, yan lanang, yan wadon, yogya seharepnya angge wenang, muwang hana, sedana wastra kuning salembar. Walining Wong atatah, yan lanang wastranya cepuk sari, ya bagya, yan hana cepuk madu. Sabuknya bagus Anom, lan wangsul, slendangnya kayu sugih. Yan wadon ngkenya cepuk lugeng luwih, wastranya suka wredi, sabuknya taler bagus Anom, lan wangsul, slendangnya kayu sugih. Muwah maka paturwanya, tekaning ulesnya, lakibi, samapta, pada semangkana, paturwanya; tikeh plasa abidang, sinurut Sang Hyang Semara Ratih, Lawos sirahnya Kemit, plangka gading gedongan garingsing, kalasanana, pramadani, lan patawala sutra.

Baca Juga :  Hilang Sehari, Dadong Tinggen Ditemukan Tewas di Sawah

 

Jika diartikan: Lalu pakaian yang digunakan saat nyekeb, ketika akan mulai metatah, jika (yang) laki-laki, yang wanita dibolehkan semuanya memakai, dan dilengkapi dengan kain kuning selembar upacara orang yang ditatah, yang laki-laki, kainnya cepuk sari, agar bahagia, jika ada cepuk madu sabuknya (ikat pinggangnya) bagus anom, dan wangsul kampuh kayu sugih. Dan lagi sebagai tempat tidurnya, serta alasnya (maksudnya: kain dan bantalnya), suami istri masing-masing sama demikian, tikar plasa satu lembar, dirajah Sang Hyang Semara Ratih, kerudung kapalanya hendaknya dijaga, plangka gading (kalung emas) gedongan gringsing, tikar, pramadani, dan juga patawala sutra.

 

Dalam cuplikan lontar Dharma Kahuripan disebutkan, setiap melakukan upacara metatah selalu dilengkapi dengan rerajahan tikar yang disebut Rerajahan Semara Ratih. Rerajahan Semara Ratih merupakan nyasa Ida Sanghyang Widhi Wasa merage Ardhanareswari Sanghyang Semara dan Dewi Ratih.

Baca Juga :  Papekek Poleng di Nyuhtebel Asli Tinggal Puluhan

 

“Itulah mengapa Rerajahan Semara Ratih menjadi sarana pokok dalam upacara metatah untuk memohon anugerah kesejahteraan lahir batin, ketampanan dan kecantikan,penolak teluh Desti Tarangjana. Sehingga sangat penting rerajahan Semara Ratih ada,” ungkapnya.(bersambung) 


Saat pelaksanaan upacara metatah, tidak terlepas dari penggunaan sarana Rerajahan Semara Ratih yang dirajah pada tikeh tempat metatah dilakasanakan. Rupanya, rerajaan ini berfungsi sebagai sarana penolak bala desti teluh tarangjana.

 

Dosen Filsafat, STAHN Mpu Kuturan Singaraja, I Made Gami Sandi Untara, S.Fil.H, M.Ag mengatakan rerajahan diyakini dapat memberikan kekuatan-kekuatan gaib yang dapat membantu kehidupan manusia yang menggunakannya.

 

Rerajahan merupakan salah satu simbol dalam agama Hindu berupa gambar-gambar wayang yang dikonfirmasikan dengan Aksara Bali yang mempunyai bentuk fungsi makna filosofis yang sangat kompleks.

 

Gami mengatakan, penggunaan Rerajahan Semara Ratih dalam upacara Metatah terungkap dalam Lontar Dharma Kahuripan, isinya yakni: Malih maka pangangya ring angekeb, tatkalaning atatah, yan lanang, yan wadon, yogya seharepnya angge wenang, muwang hana, sedana wastra kuning salembar. Walining Wong atatah, yan lanang wastranya cepuk sari, ya bagya, yan hana cepuk madu. Sabuknya bagus Anom, lan wangsul, slendangnya kayu sugih. Yan wadon ngkenya cepuk lugeng luwih, wastranya suka wredi, sabuknya taler bagus Anom, lan wangsul, slendangnya kayu sugih. Muwah maka paturwanya, tekaning ulesnya, lakibi, samapta, pada semangkana, paturwanya; tikeh plasa abidang, sinurut Sang Hyang Semara Ratih, Lawos sirahnya Kemit, plangka gading gedongan garingsing, kalasanana, pramadani, lan patawala sutra.

Baca Juga :  OM Mrgapanaye Namah, Pengendali Pikiran

 

Jika diartikan: Lalu pakaian yang digunakan saat nyekeb, ketika akan mulai metatah, jika (yang) laki-laki, yang wanita dibolehkan semuanya memakai, dan dilengkapi dengan kain kuning selembar upacara orang yang ditatah, yang laki-laki, kainnya cepuk sari, agar bahagia, jika ada cepuk madu sabuknya (ikat pinggangnya) bagus anom, dan wangsul kampuh kayu sugih. Dan lagi sebagai tempat tidurnya, serta alasnya (maksudnya: kain dan bantalnya), suami istri masing-masing sama demikian, tikar plasa satu lembar, dirajah Sang Hyang Semara Ratih, kerudung kapalanya hendaknya dijaga, plangka gading (kalung emas) gedongan gringsing, tikar, pramadani, dan juga patawala sutra.

 

Dalam cuplikan lontar Dharma Kahuripan disebutkan, setiap melakukan upacara metatah selalu dilengkapi dengan rerajahan tikar yang disebut Rerajahan Semara Ratih. Rerajahan Semara Ratih merupakan nyasa Ida Sanghyang Widhi Wasa merage Ardhanareswari Sanghyang Semara dan Dewi Ratih.

Baca Juga :  Desa Adat Kedonganan Rancang Awig-Awig Berbahasa Inggris

 

“Itulah mengapa Rerajahan Semara Ratih menjadi sarana pokok dalam upacara metatah untuk memohon anugerah kesejahteraan lahir batin, ketampanan dan kecantikan,penolak teluh Desti Tarangjana. Sehingga sangat penting rerajahan Semara Ratih ada,” ungkapnya.(bersambung) 


Most Read

Artikel Terbaru