MANGUPURA, BALI EXPRESS-Hindu mengenal konsep Tri Hita Karana, atau tiga penyebab keharmonisan. Di dalamnya ada Parhyangan, yakni hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan. Kemudian Pawongan, hubungan harmonis manusia dengan sesama, dan Palemahan yang merupakan hubungan harmonis manusia dengan alam atau lingkungan.
Konsep Tri Hita Karana ini juga biasanya membingkai desa adat, sehingga dalam Awig-awig juga ditemukan bagian sukerta tata Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan.
Sukerta tata Parhyangan berisi aturan seputar tempat suci, terutama pura setempat. Sementara Pawongan dan Palemahan masing-masing berisi aturan mengenai kewajiban krama dan wilayah atau druwen desa.
Nah, terkait Parhyangan, ada kepercayaan jika bekas bangunan di pura atau tempat suci tak diperkenankan dimanfaatkan untuk membangun rumah. “Misalnya ada material bekas bongkaran di pura atau sanggah merajan, itu sebaiknya tak digunakan lagi untuk membangun rumah dan sebagainya, meskipun sudah dipralina,” ungkap Jro Mangku Wayan Pada, Kamis (6/5).
Diterangkannya, bekas material tersebut pada dasarnya jika sudah dipralina secara benar, tentu tak lagi sebagai benda yang disucikan. Namun menurutnya, kurang tepat jika digunakan untuk bangunan yang nantinya ditempati.
Sebaiknya, bekasnya digunakan untuk kepentingan di jaba pura atau dilarung. “Misalnya material berupa bata atau beton, bisa untuk menguruk di areal parkir pura tersebut. Kalau bahannya kayu, bisa dibakar dan abunya dilarung,” terangnya.
Selain kurang etis, lanjutnya, ada kepercayaan pemanfaatan kembali bekas material tersebut bisa menimbulkan pamali. Hal ini tentu akan merepotkan. “Jadi ada warga yang menggunakan bekas material pura berupa kayu. Lama-lama dia sakit dan dinyatakan pamalinan. Setelah dilakukan upacara dan bekas material dilarung, sakitnya hilang,” jelasnya.
Di samping bekas pura maupun merajan, bekas dapur juga dipercaya mendatangkan pamali jika digunakan untuk rumah. Sehingga tak disarankan pula menggunakannya kembali untuk bangunan yang nantinya dimanfaatkan keluarga.
“Ya, material bekas dapur juga begitu. Dapur kan simbol api, sehingga unsurnya panas. Jadi material bekasnya digunakan untuk rumah, bisa membuat panas yang juga bisa jadi pamali,” terangnya lagi.
Tidak hanya material bangunan bekas tempat suci seperti pura, merajan dan sejenis, maupun material bekas bangunan dapur, yang pantang digunakan untuk bahan membuat bangunan lagi. Namun, ada keyakinan pula terkait penggunaan material bekas bencana.
Menurut Jro Mangku Wayan Pada, bekas material akibat bencana tersebut sudah tidak layak secara spiritual jika digunakan lagi, lantaran menyimpan memori yang buruk. “Misalnya bekas bencana alam atau kebakaran, apalagi sampai ada korban jiwa di rumah tersebut, hendaknya materialnya tak dimanfaatkan kembali,” papar pria asal Tabanan ini.
Secara logis, menurutnya material bekas bencana kurang baik jika digunakan untuk membuat bangunan baru karena pertimbangan ketahanan material tersebut. Dalam membuat bangunan, tentu sebaiknya dipilih bahan yang masih baru dan kualitasnya baik. Hal ini secara psikologis akan membangkitkan kepercayaan terhadap bahan tersebut. “Ya, walaupun baru, harus diikuti kecermatan agar kualitas bahan-bahan benar-benar bagus,” katanya.
Disinggung adanya orang yang senang menggunakan material bekas karena senang dengan barang antik, menurutnya bisa berbeda kasus. Perlu perlakuan khusus terhadap benda tersebut.
“Kalau barang antik itu kan ada perawatannya dan perlakuan khusus. Apalagi barang antik tersebut menyimpan energi spiritual, maka tak boleh disimpan sembarangan,” jelasnya.
Bagaimana jika alasan daur ulang? Menurut Jro Mangku, hal itu bisa untung-untungan. Bisa jadi tak ada dampak buruk, tapi bisa jadi kena dampak buruk pula. “Jadi sebaiknya kalau digunakan kembali, untuk digunakan di tempat itu saja. Misalnya bekas beton di pura, dipakai untuk menata parkir setempat. Jangan digunakan untuk hal lainnya daripada mengundang risiko,” tegasnya.