26.5 C
Denpasar
Wednesday, June 7, 2023

Remaja Sah di Pagringsingan, Digundul, Dikurung, Kelilingi Desa,

AMLAPURA, BALI EXPRESS – Menek bajang atau beranjak dewasa di Desa Adat Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem cukup rumit dan unik. Banyak proses yang harus dilalui, ditandai dengan ritual Matruna Nyoman (pria) dan Medeha (Wanita). Sanksi adat akan diterapkan jika ritual yang pelaksanaannya selama satu tahun ini tidak dilakukan.

Bila sudah melaksanakan ritual Matruna Nyoman (pria) dan Medeha (Wanita), ada rentetan upacara berikutnya yangbharus diikuti lagi.

Upacara selanjutnya dalam tradisi Materuna Nyoman adalah prosesi Kagedong dan diawali dengan potong rambut habis (magundul) dan potong gigi (Matatah). Dalam rentang waktu setahun rambut tidak boleh dipotong kembali walaupun sampai tumbuh panjang.

Kelian Adat Tenganan Pegringsingan Jro Putu Suarjana mengatakan, prosesi potong rambut ini bertujuan agar para peserta Materuna Nyoman merasakan kebersamaan atau penyamarataaan di antara peserta lainnya. “Semua sama, tidak ada pembedaan, ini simbol kebersamaan,” jelasnya.

Setelah matatah dan magundul barulah dilaksanakan upacara kagedong yang dilaksanakan setiap tiga hari sekali. Sarananya adalah disebut gedong yaitu terbuat dari gedeg (bedeg) dibentuk persegi empat dengan rangka bambu tidak beratap dan berlantai dengan tinggi kurang lebih 2 meter, sarana ini juga dilengkapi dengan alat pemanggul.

“Sarana gedong itu anyaman bambu, sebesar sebuah bus. Itu konsepnya seperti kepompong. Tidak boleh dilihat oleh orang lain. Termasuk orang tua dari pria yang mengikuti Materuna Nyoman,” imbuhnya.

Baca Juga :  Melukat dengan Bunga Tunjung Tiga Warna di Pura Jati

Sarananya dibuat seperti ini, oleh karena prosesi upacara kagedong tempatnya berpindah-pindah. Diawali persembahyangan di rumah mekel, kemudian dilanjutkan ke Subak Daha dengan menggunakan gedong yang dipanggul oleh pangawin, di mana peserta teruna nyoman masih berada di dalamnya.

Lanjutnya, ada tiga subak yang harus dikunjungi. Yaitu Subak Daha Wayan, Subak Daha Nengah, dan Subak Daha Nyoman. Sesampainya teruna nyoman di Subak Daha, mereka keluar dari gedong menuju Bale Buga bersama Daha, akan tetapi mereka tidak saling melihat, karena dipisahkan oleh penyekat.
Di sinilah mereka saling lempar lumpur (masabatan endut) yang telah disiapkan sebelumnya antara teruna dengan daha. Inilah yang disebut dengan inisiasi. Oleh sebab itu, di dalam prosesi ini mereka dapat berpikir mengenai hakikat hidup.

“Di dalam prosesi ini pula para senior mereka menyampaikan sambodana yaitu mencakup pesan-pesan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan,” paparnya.

Tahapan selanjutnya adalah Matamiang. Prosesi ini dilakukan dengan mengelilingi desa yang oleh para peserta dengan membawa tamiang (tameng).

Ritual ini diibaratkan sebagai kepompong yang baru keluar sebagian dari kulitnya. Karena itu pula ritual ini hanya dilakukan di sekitar desa saja menurut aturan adat setempat.

Baca Juga :  Pasraman Budi Pekerti Bagi Anak Terapkan Belajar Sambil Bermain 

Para peserta menutupi bagian dada mereka dengan Tamiang dan berkunjung ke masing-masing Gantih Daha yang didampingi oleh Jro Mekel dan Penegenan base untuk menyerahkan seserahan kepada masing-masing Daha.

Nantinya di masing- masing Gantih Daha akan dilaksanakan upacara Matamiang, dan peserta Teruna Nyoman yang duduk di Bale Buga hanya akan menyaksikan upacara tersebut.

“Tujuannya agar peserta Materuna Nyoman mendapatkan pembelajaran tentang tata cara upacara yang sedang berlangsung dan dapat memahami makna upacara tersebut,” sebutnya.

Tahapan selanjutnya sebelum mengakhiri pendidikan Materuna Nyoman yakni Malegar, yang merupakan prosesi akhir dalam tahap inti Matruna Nyoman,yang dilaksanakan tepat pada tilem sasih kaulu. Malegar dari arti katanya memiliki arti yaitu terlepas atau sudah terlihat sepenuhnya.

Memasuki tahapan akhir dilaksanakan kegiatan Ngintarang Katekung yang merupakan prosesi yang wajib dilakukan oleh peserta teruna nyoman dalam mengenali wilayahnya sembari melakukan persembahyangan dalam perjalanannya.

“Mereka membawa senjata tradisonal berupa Tulupan yang dimaksudkan agar nantinya para peserta teruna nyoman dapat melindungi dirinya serta wilayahnya jika terjadi ancaman-ancaman yang berbahaya dari luar desa,” pungkasnya.

 






Reporter: I Putu Mardika

AMLAPURA, BALI EXPRESS – Menek bajang atau beranjak dewasa di Desa Adat Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem cukup rumit dan unik. Banyak proses yang harus dilalui, ditandai dengan ritual Matruna Nyoman (pria) dan Medeha (Wanita). Sanksi adat akan diterapkan jika ritual yang pelaksanaannya selama satu tahun ini tidak dilakukan.

Bila sudah melaksanakan ritual Matruna Nyoman (pria) dan Medeha (Wanita), ada rentetan upacara berikutnya yangbharus diikuti lagi.

Upacara selanjutnya dalam tradisi Materuna Nyoman adalah prosesi Kagedong dan diawali dengan potong rambut habis (magundul) dan potong gigi (Matatah). Dalam rentang waktu setahun rambut tidak boleh dipotong kembali walaupun sampai tumbuh panjang.

Kelian Adat Tenganan Pegringsingan Jro Putu Suarjana mengatakan, prosesi potong rambut ini bertujuan agar para peserta Materuna Nyoman merasakan kebersamaan atau penyamarataaan di antara peserta lainnya. “Semua sama, tidak ada pembedaan, ini simbol kebersamaan,” jelasnya.

Setelah matatah dan magundul barulah dilaksanakan upacara kagedong yang dilaksanakan setiap tiga hari sekali. Sarananya adalah disebut gedong yaitu terbuat dari gedeg (bedeg) dibentuk persegi empat dengan rangka bambu tidak beratap dan berlantai dengan tinggi kurang lebih 2 meter, sarana ini juga dilengkapi dengan alat pemanggul.

“Sarana gedong itu anyaman bambu, sebesar sebuah bus. Itu konsepnya seperti kepompong. Tidak boleh dilihat oleh orang lain. Termasuk orang tua dari pria yang mengikuti Materuna Nyoman,” imbuhnya.

Baca Juga :  Ngusabha Bukakak Tradisi Sudaji

Sarananya dibuat seperti ini, oleh karena prosesi upacara kagedong tempatnya berpindah-pindah. Diawali persembahyangan di rumah mekel, kemudian dilanjutkan ke Subak Daha dengan menggunakan gedong yang dipanggul oleh pangawin, di mana peserta teruna nyoman masih berada di dalamnya.

Lanjutnya, ada tiga subak yang harus dikunjungi. Yaitu Subak Daha Wayan, Subak Daha Nengah, dan Subak Daha Nyoman. Sesampainya teruna nyoman di Subak Daha, mereka keluar dari gedong menuju Bale Buga bersama Daha, akan tetapi mereka tidak saling melihat, karena dipisahkan oleh penyekat.
Di sinilah mereka saling lempar lumpur (masabatan endut) yang telah disiapkan sebelumnya antara teruna dengan daha. Inilah yang disebut dengan inisiasi. Oleh sebab itu, di dalam prosesi ini mereka dapat berpikir mengenai hakikat hidup.

“Di dalam prosesi ini pula para senior mereka menyampaikan sambodana yaitu mencakup pesan-pesan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan,” paparnya.

Tahapan selanjutnya adalah Matamiang. Prosesi ini dilakukan dengan mengelilingi desa yang oleh para peserta dengan membawa tamiang (tameng).

Ritual ini diibaratkan sebagai kepompong yang baru keluar sebagian dari kulitnya. Karena itu pula ritual ini hanya dilakukan di sekitar desa saja menurut aturan adat setempat.

Baca Juga :  Tempat Nunas Taksu Kesenian, Sekaligus Memohon Segala Permohonan

Para peserta menutupi bagian dada mereka dengan Tamiang dan berkunjung ke masing-masing Gantih Daha yang didampingi oleh Jro Mekel dan Penegenan base untuk menyerahkan seserahan kepada masing-masing Daha.

Nantinya di masing- masing Gantih Daha akan dilaksanakan upacara Matamiang, dan peserta Teruna Nyoman yang duduk di Bale Buga hanya akan menyaksikan upacara tersebut.

“Tujuannya agar peserta Materuna Nyoman mendapatkan pembelajaran tentang tata cara upacara yang sedang berlangsung dan dapat memahami makna upacara tersebut,” sebutnya.

Tahapan selanjutnya sebelum mengakhiri pendidikan Materuna Nyoman yakni Malegar, yang merupakan prosesi akhir dalam tahap inti Matruna Nyoman,yang dilaksanakan tepat pada tilem sasih kaulu. Malegar dari arti katanya memiliki arti yaitu terlepas atau sudah terlihat sepenuhnya.

Memasuki tahapan akhir dilaksanakan kegiatan Ngintarang Katekung yang merupakan prosesi yang wajib dilakukan oleh peserta teruna nyoman dalam mengenali wilayahnya sembari melakukan persembahyangan dalam perjalanannya.

“Mereka membawa senjata tradisonal berupa Tulupan yang dimaksudkan agar nantinya para peserta teruna nyoman dapat melindungi dirinya serta wilayahnya jika terjadi ancaman-ancaman yang berbahaya dari luar desa,” pungkasnya.

 






Reporter: I Putu Mardika

Most Read

Artikel Terbaru