28.7 C
Denpasar
Thursday, June 8, 2023

Tabia Bun Berkhasiat Sembuhkan Epilepsi  

TABANAN, BALI EXPRESS – Masyarakat Bali memiliki kekayaan intelektual pada bidang kebudayaan yang mungkin saja tidak dimiliki daerah lain. Salah satunya Lontar Taru Pramana yang memuat fungsi Tabia Bun sebagai obat epilepsi.

Patut berbangga sebagai orang Bali yang telah mewarisi segala hal tentang adat, tradisi, budaya hingga kesusastraan yang diterima dari para leluhur sampai saat ini, dan tentunya masih sangat relevan  digunakan maupun dikembangkan di era 4.0 ini. Warisan akan adat, tradisi, kebudayaan hingga kekayaan intelektual lainnya menjadi sebuah gambaran, betapa hebatnya para leluhur di massa lalu.

Menurut salah seorang Penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Tabanan I Made Muliarta, salah satu warisan kekayaan intelektual yang diterima warga Bali adalah Bahasa Bali. Bahasa Bali yang di dalamnya mencakup bahasa, aksara dan sastra Bali, yang merupakan salah satu bahasa yang paling lengkap diantara 652 bahasa daerah yang ada di Indonesia. “Hal ini tentu didasari atas keberadaan bahasa Bali yang masih menjadi bahasa keseharian masyarakat Bali, serta keberadaan bahasa Bali yang dilengkapi dengan aksara, dan tentunya masih digunakan oleh masyarakat Bali hingga kini,” ungkapnya.

Begitu halnya dengan sastra Bali yang juga masih digandrungi masyarakat Bali, bahkan kawula muda Bali. Ketiga hal ini (bahasa, aksara, dan sastra Bali) telah dengan apik dituangkan para leluhur orang Bali dalam media lontar. “Pada zamannya, lontar adalah media tulis layaknya media kertas saat ini,” lanjutnya.

Ditambahkannya, semua yang tertuang dalam lontar adalah hal-hal penting dan tentu jika dilihat dari isinya, hanya memuat bagian-bagian yang dianggap ‘terpenting’ diantara yang penting. Mengapa demikian? Karena terbatasnya media lontar dan membuat para leluhur orang Bali cenderung menuliskan yang bersifat inti-intinya saja. Naskah berupa lontar dengan berbagai genre ada dan berkembang di masyarakat. “Bahkan dari hasil pemetaan maupun identifikasi dari Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali, lontar dengan berbagai kondisi telah ditemukan sebanyak 25.707 per Desember 2019,” jelasnya.

Baca Juga :  Denpasar Ikuti 14 Materi di PKB Tahun Ini

Muliarta juga mengungkapkan, dengan banyaknya lontar yang ada di Bali, sejatinya telah diklasifikasikan dan ada juga yang telah dikonservasi sebagai upaya penyelamatan lontar secara fisik. Naskah yang adapun bervariasi dan tentu kepemilikan lontar didasari atas swagina pemiliknya. Karena lontar yang dijadikan referensi erat kaitannya dengan pekerjaan pemilik, tentu lontarnya pun seputaran pekerjaannya.

“Misalkan pemilik lontar adalah seorang balian, tentu naskah pegangannya adalah tentang pengobatan. Misalnya Lontar Usada secara umum. Kemudian Lontar Usada yang lebih spesifik, seperti Usada Manak, Usada Rare, Usada Buduh, dan juga didukung lontar lainnya, seperti Lontar Tenung Lara, Lontar Taru Pramana, bahkan Lontar Bebayon maupun Lontar Panglukatan Wong Gering,” ungkap Muliarta lagi.

Kemudian dalam dunia kesehatan, penggunaan obat berbahan kimia yang tentu sudah sangat modern begitu banyak. Namun masyarakat masih banyak juga yang ingin tetap menikmati sesuatu yang alami. Masyarakat meyakini sesuatu yang alami sangat baik untuk tubuh ditengah-tengah gempuran kehidupan modernisasi. Salah satu bukti nyata dari hal itu adalah banyaknya masyarakat yang masih gemar mengonsumsi obat-obatan alami yang kiblatnya salah satunya Lontar Taru Pramana.

“Lontar Taru Pramana ini memuat ajaran tentang tumbuhan atau tanaman yang ada di sekitar kita yang berkasiat dan dapat dijadikan obat. Jika dibaca, lontar ini seolah sedang memperkenalkan dirinya kepada pembaca, mulai dari perkenalan nama maupun jenisnya, ciri-cirinya, bahkan kasiat yang dimiliki,” jelas penyuluh asal Banjar Cacab-Jangkahan, Desa Biaung, Kecamatan Penebel, Tabanan tersebut.

Lontar ini ibarat resep dari Lontar Usada. Lontar Usada mengidentifikasi jenis penyakitnya, dan Lontar Taru Pramana adalah resep dari gejala atau penyakit yang muncul. Salah satu tanaman obat yang jarang diketahui khasiatnya oleh masyarakat adalah Tabia Bun atau Tabia Dakep yang dalam bahasa latinnya Piper Retrofractum.

Baca Juga :  Bunga Ratna; Berawal dari Siasat Dewa Hentikan Tapa Dua Raksasa

Menurut Lontar Taru Pramana yang tersimpan di Perpustakaan Lontar Gedong Kirtya, cuplikan isinya berbunyi “Titiang tabia bun daging panes, akah babakan panes, don titiange anggen loloh ayan. Ra kapkap mica, lunak tanek, temu tis, 2, sisir”.

Berdasarkan kutipan tersebut, sangat jelas Tabia Bun atau juga disebut Tabia Dakep memiliki karakteristik daging yang panas, akar serta kulitnya juga panas, kemudian daunnya bisa digunakan sebagai jamu atau obat penyakit Epilepsi dengan campuran daun lada yang sudah tua, endapan asam, temu tis (Curcuma purpurascens Bl. syn. C. soloensis Val) sebanyak dua iris.

“Cara pengolahannya adalah dengan mencampurkan semua bahan tersebut, kemudian dihaluskan hingga betul-betul halus, lalu diperas serta disaring dan dituangkan ke dalam air, loloh pun siap diminum,” sambungnya.

Muliarta yang menamatkan S1 Pendidikan Bahasa Bali dan S2 Pendidikan Dasar di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja itu juga mempertegas, penggunaan obat yang disarankan oleh lontar-lontar tersebut tidak bisa hanya sekali langsung sembuh, tentu harus dilakukan secara rutin.

Selain sebagai obat Epilepsi, Tabia Bun juga sering sebagai pelengkap obat untuk penyakit-penyakit tertentu. Tidak lupa Muliarta juga mengingatkan, begitu besar dan banyak manfaat tanaman yang ada di sekitar kita, semua yang ada telah tersedia untuk kebutuhan hidup kita. “Kita sebagai umat manusia tinggal memahami sesuai dengan persepektif naskah/sastranya, sehingga bisa memanfaatkan dengan bijak segala anugerah Tuhan. Mari jaga alam kita, niscaya alam akan menjaga dan memberi kehidupan bagi kita,” tandas Muliarta.

 


TABANAN, BALI EXPRESS – Masyarakat Bali memiliki kekayaan intelektual pada bidang kebudayaan yang mungkin saja tidak dimiliki daerah lain. Salah satunya Lontar Taru Pramana yang memuat fungsi Tabia Bun sebagai obat epilepsi.

Patut berbangga sebagai orang Bali yang telah mewarisi segala hal tentang adat, tradisi, budaya hingga kesusastraan yang diterima dari para leluhur sampai saat ini, dan tentunya masih sangat relevan  digunakan maupun dikembangkan di era 4.0 ini. Warisan akan adat, tradisi, kebudayaan hingga kekayaan intelektual lainnya menjadi sebuah gambaran, betapa hebatnya para leluhur di massa lalu.

Menurut salah seorang Penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Tabanan I Made Muliarta, salah satu warisan kekayaan intelektual yang diterima warga Bali adalah Bahasa Bali. Bahasa Bali yang di dalamnya mencakup bahasa, aksara dan sastra Bali, yang merupakan salah satu bahasa yang paling lengkap diantara 652 bahasa daerah yang ada di Indonesia. “Hal ini tentu didasari atas keberadaan bahasa Bali yang masih menjadi bahasa keseharian masyarakat Bali, serta keberadaan bahasa Bali yang dilengkapi dengan aksara, dan tentunya masih digunakan oleh masyarakat Bali hingga kini,” ungkapnya.

Begitu halnya dengan sastra Bali yang juga masih digandrungi masyarakat Bali, bahkan kawula muda Bali. Ketiga hal ini (bahasa, aksara, dan sastra Bali) telah dengan apik dituangkan para leluhur orang Bali dalam media lontar. “Pada zamannya, lontar adalah media tulis layaknya media kertas saat ini,” lanjutnya.

Ditambahkannya, semua yang tertuang dalam lontar adalah hal-hal penting dan tentu jika dilihat dari isinya, hanya memuat bagian-bagian yang dianggap ‘terpenting’ diantara yang penting. Mengapa demikian? Karena terbatasnya media lontar dan membuat para leluhur orang Bali cenderung menuliskan yang bersifat inti-intinya saja. Naskah berupa lontar dengan berbagai genre ada dan berkembang di masyarakat. “Bahkan dari hasil pemetaan maupun identifikasi dari Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali, lontar dengan berbagai kondisi telah ditemukan sebanyak 25.707 per Desember 2019,” jelasnya.

Baca Juga :  Tata Letak Tanaman Ikuti Pengider Bhuana

Muliarta juga mengungkapkan, dengan banyaknya lontar yang ada di Bali, sejatinya telah diklasifikasikan dan ada juga yang telah dikonservasi sebagai upaya penyelamatan lontar secara fisik. Naskah yang adapun bervariasi dan tentu kepemilikan lontar didasari atas swagina pemiliknya. Karena lontar yang dijadikan referensi erat kaitannya dengan pekerjaan pemilik, tentu lontarnya pun seputaran pekerjaannya.

“Misalkan pemilik lontar adalah seorang balian, tentu naskah pegangannya adalah tentang pengobatan. Misalnya Lontar Usada secara umum. Kemudian Lontar Usada yang lebih spesifik, seperti Usada Manak, Usada Rare, Usada Buduh, dan juga didukung lontar lainnya, seperti Lontar Tenung Lara, Lontar Taru Pramana, bahkan Lontar Bebayon maupun Lontar Panglukatan Wong Gering,” ungkap Muliarta lagi.

Kemudian dalam dunia kesehatan, penggunaan obat berbahan kimia yang tentu sudah sangat modern begitu banyak. Namun masyarakat masih banyak juga yang ingin tetap menikmati sesuatu yang alami. Masyarakat meyakini sesuatu yang alami sangat baik untuk tubuh ditengah-tengah gempuran kehidupan modernisasi. Salah satu bukti nyata dari hal itu adalah banyaknya masyarakat yang masih gemar mengonsumsi obat-obatan alami yang kiblatnya salah satunya Lontar Taru Pramana.

“Lontar Taru Pramana ini memuat ajaran tentang tumbuhan atau tanaman yang ada di sekitar kita yang berkasiat dan dapat dijadikan obat. Jika dibaca, lontar ini seolah sedang memperkenalkan dirinya kepada pembaca, mulai dari perkenalan nama maupun jenisnya, ciri-cirinya, bahkan kasiat yang dimiliki,” jelas penyuluh asal Banjar Cacab-Jangkahan, Desa Biaung, Kecamatan Penebel, Tabanan tersebut.

Lontar ini ibarat resep dari Lontar Usada. Lontar Usada mengidentifikasi jenis penyakitnya, dan Lontar Taru Pramana adalah resep dari gejala atau penyakit yang muncul. Salah satu tanaman obat yang jarang diketahui khasiatnya oleh masyarakat adalah Tabia Bun atau Tabia Dakep yang dalam bahasa latinnya Piper Retrofractum.

Baca Juga :  Epilepsi, Dikabarkan Hilang, Murjana Ditemukan Membusuk di Sawah

Menurut Lontar Taru Pramana yang tersimpan di Perpustakaan Lontar Gedong Kirtya, cuplikan isinya berbunyi “Titiang tabia bun daging panes, akah babakan panes, don titiange anggen loloh ayan. Ra kapkap mica, lunak tanek, temu tis, 2, sisir”.

Berdasarkan kutipan tersebut, sangat jelas Tabia Bun atau juga disebut Tabia Dakep memiliki karakteristik daging yang panas, akar serta kulitnya juga panas, kemudian daunnya bisa digunakan sebagai jamu atau obat penyakit Epilepsi dengan campuran daun lada yang sudah tua, endapan asam, temu tis (Curcuma purpurascens Bl. syn. C. soloensis Val) sebanyak dua iris.

“Cara pengolahannya adalah dengan mencampurkan semua bahan tersebut, kemudian dihaluskan hingga betul-betul halus, lalu diperas serta disaring dan dituangkan ke dalam air, loloh pun siap diminum,” sambungnya.

Muliarta yang menamatkan S1 Pendidikan Bahasa Bali dan S2 Pendidikan Dasar di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja itu juga mempertegas, penggunaan obat yang disarankan oleh lontar-lontar tersebut tidak bisa hanya sekali langsung sembuh, tentu harus dilakukan secara rutin.

Selain sebagai obat Epilepsi, Tabia Bun juga sering sebagai pelengkap obat untuk penyakit-penyakit tertentu. Tidak lupa Muliarta juga mengingatkan, begitu besar dan banyak manfaat tanaman yang ada di sekitar kita, semua yang ada telah tersedia untuk kebutuhan hidup kita. “Kita sebagai umat manusia tinggal memahami sesuai dengan persepektif naskah/sastranya, sehingga bisa memanfaatkan dengan bijak segala anugerah Tuhan. Mari jaga alam kita, niscaya alam akan menjaga dan memberi kehidupan bagi kita,” tandas Muliarta.

 


Most Read

Artikel Terbaru