BALI EXPRESS, TABANAN – Sehari sebelum Hari Raya Nyepi atau Hari Pangerupukan, identik dengan pawai ogoh-ogoh yang berfungsi untuk menetralisasi (Nyomia) kekuatan Bhuta Kala. Namun, jauh sebelum tradisi tersebut, di Banjar Pohgending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Tabanan, sudah ada tradisi unik untuk Nyomia kekuatan Bhuta Kala.
Warga Banjar Pohgending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Tabanan, memiliki tradisi turun temurun yang dilakukan saat Hari Pangerupukan yang juga berfungsi untuk Nyomia Bhuta Kala yakni Siat Sambuk.
Sesuai dengan namanya, yakni ‘Siat Sambuk’ ( Perang Sabut Kelapa), ritual ini berlangsung satu tahun sekali, tepatnya pada Hari Pangerupukan. Di mana para muda-mudi di Banjar Pohgending akan dibagi menjadi dua kelompok. Selanjutnya ketika ada aba-aba dari tetua di Banjar tersebut, maka Siat Sambuk akan dimulai. Muda-mudi akan saling melempar sambuk yang sebelumnya sudah dibakar diiringi dengan gambelan Bale Ganjur yang semakin membakar semangat. Uniknya, tak ada yang pernah terluka ataupun terbakar dalam ritual tersebut. Banjar Pohgending sendiri terdiri dari 242 KK, dimana sebanyak 125 KK (kepala keluarga) yang tinggal di Banjar Pohgending.
Bendesa Adat Banjar Pohgending I Made Jelas menuturkan, ritual tersebut merupakan ritual turun temurun yang ada di Banjar Pohgending. Di mana pada zaman dahulu pada hari Pangerupukan saat menjelang Sandikala, dua pasukan yang akan berperang sudah mulai bersiap. Banjar Pohgending sendiri memiliki garis pemisah imajinernya berupa jalan pertigaan yang menuju kearah Banjar Petung. Sehingga, pembentukan pasukan dilakukan sesuai dengan rumah para warga. Warga yang mempunyai rumah di Utara jalan disebut pasukan ‘wong kaja’ yang artinya orang dari Utara, sedangkan warga yang rumah di Selatan jalan disebut ‘wong kelod’ yang artinya orang dari Selatan. “Hanya saja, khusus untuk satu warga yang rumahnya berada di tengah atau ‘wong tengah’ diberikan dispensasi bisa ikut pasukan ‘wong kaja’ atau ‘wong kelod’,” terang Bendesa Adat Banjar Pohgending I Made Jelas kepada Bali Express (Jawa Pos Group).
Sembari menyiapkan pasukan, beberapa warga mulai membakar sabut kelapa yang akan menjadi ‘senjata’ dalam Siat Sambuk tersebut , sedangkan gundukan sabut kelapa diletakkan di depan masing-masing pasukan, wong kaja dan wong kelod. “Para muda-mudi semuanya ikut dalam ritual itu, tidak ada rasa takut terluka atau terkena api,” imbuhnya.
Ia menambahkan, zaman dulu bahkan tidak ada pecalang yang mengawasi, tidak ada penengah, dan ketika Bendesa Adat memberikan aba-aba bahwa Siat Sambuk dimulai, kedua pasukan langsung mengambil sabut kelapa yang sudah dibakar menggunakan tangan kosong kemudian melemparkannya ke arah lawan. Sorak sorai penonton pun menambah seru suasana Siat Sambuk. “Dan di era tahun 70-an, itu bisa dikatakan Pangerupukan yang sangat seru dan ‘ganas’, benar-benar dikejar, dilempar, perang juga berlangsung lama, malah ada yang sudah menerapkan taktik pertempuran modern,” urainya.
Bahkan, lanjut Made Jelas, ada pasukan serbu, yang tugasnya melempar musuh dan ada pasukan logistik, yang tugasnya membawa sambuk, untuk diberikan kepada pasukan serbu. “Teriakan histeris ibu-ibu agar Pangerupukan dihentikan juga tidak digubris,” ungkapnya.
Bahkan, ketika pasukan perang kehabisan peluru sambuk, yang digunakan untuk melempar musuh adalah batu yang ada di jalanan, maklum karena ketika itu jalanan masih berupa tanah dan batu. Dan, hal itu merupakan sesuatu yang jamak kala itu. Ketika semua sudah kelelalahan atau salah satu pasukan dianggap sebagai pemenang, Bendesa Adat kemudian memerintahkan Pangerupukan diakhiri. “Setelah perang selesai, semua pasukan berkumpul di pertigaan dan bersama-sama nunas tirta, kemudian saling bersalaman, saling merangkul, seolah tidak ada perang yang baru saja usai dilakukan,” lanjut Made Jelas.
Sayangnya, di era belakangan ini tradisi ini sempat mati suri, bahkan pernah Pangerupukan di Banjar Pohgending ditiadakan dan diganti dengan pawai obor dan kulkul anak-anak. Namun, warga merasa ada sesuatu yang hilang, ada hal yag rasanya hambar pada hari Pangerupukan dan terasa hampa. “Atas hal tersebut, kami pun mengadakan paruman di banjar dan memutuskan agar ritual Siat Sambuk digelar kembali saat hari Pangerupukan sebagaimana mestinya yang sudah dilakukan para leluhur terdahulu,” paparnya.
Made Jelas menambahkan, untuk menggelar kembali ritual Siat Sambuk tersebut pihaknya sempat menemui sejumlah kendala, salah satunya ‘pasukan’ yang terkadang jumlahnya tidak seimbang. Maka dari itu, pihaknya menyiasati dengan meniadakan pasukan ‘wong kaja’ dan ‘wong kelod’. Namun, menggabungkan semua peserta, kemudian dibagi menjadi dua pasukan. “Dan akhirnya di tahun 1995 ritual Siat Sambuk digelar kembali dan pertama kali Pangerupukan tanpa ‘wong kaja’ dan ‘wong kelod’ digelar. Walau tensi emosi tidak setinggi dulu, namun esensi inti dari Siat Sambuk tidak berkurang,” tegasnya.
Hingga saat ini ritual Siat Sambuk masih terus dilestarikan di Banjar Pohgending, pada Hari Pangerupukan, usai masing-masing keluarga melakukan ritual Mabuu-buu (Ngulah Kala) di pekarangan rumah masing-masing. Warga akan berkumpul di pertigaan banjar untuk memulai ritual Siat Sambuk untuk Nyomia Bhuta Kala di seputaran banjar.
Made Jelas pun bekeyakinan ritual tersebut akan ajeg karena merupakan tradisi yang langka, mungkin hanya satu-satunya di Tabanan. Dikatakannya, tradisi warisan leluhur harus dilestarikan agar tidak menghilang karena akan diwariskan kembali kepada anak-cucu-buyut nantinya. “Dengan kemajuan zaman tentu kita gelar dengan modifikasi, misalnya dengan penambahan hiburan tari yang sifatnya spontanitas sambil menunggu saat sandikala tiba,” terangnya. Dan kini, lanjutnya, keterlibatan Pecalang juga sangat penting untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
“Kemudian kami juga meletakkan meja pemisah antara para peserta untuk memudahkan memisahkan peserta yang terlanjur ‘emosi’. Semoga dengan adanya rekonstruksi ini, budaya leluhur nan langka ini tetap lestari sepanjang zaman,” pungkasnya.