29.8 C
Denpasar
Wednesday, March 22, 2023

Pemedek yang Lahir Saat Wuku Wayang Tangkil untuk Melukat

Pura Siwa Manik Dalang, yang terletak di Dusun Dangin Margi, Desa Pemaron, Kecamatan Buleleng senantiasa ramai dikunjungi Umat Hindu yang lahir pada Wuku Wayang. Selain tempat memohon penglukatan, Pura Siwa Manik Dalang kerap didatangi oleh para dalang untuk memohon taksu.

 

Pantauan Bali Express (Jawa Pos Group) pada Sabtu (7/8) bertepatan dengan Tumpek (Saniscara) Wayang sejumlah pemedek dari berbagai wilayah nangkil ke Pura Siwa Manik Dalang. Mayoritas dari mereka adalah kelahiran saat Wuku Wayang. Namun, tidak jarang juga pemedek yang nangkil kelahirannya di luar wuku Wayang.

 

Penyarikan Pura Siwa Manik Dalang, Jro Mangku Ketut Badra mengatakan, belum diketahui secara pasti sejarah berdirinya Pura Siwa Manik Dalang. Namun, dari penuturan lisan oleh para pendahulunya, pura ini sudah ada tahun 1804 masehi.

 

Hal itu terungkap dari angka tahun yang tertulis pada paduraksa. “Sejarahya prasastinya memang sudah tidak ada. Mungkin saat masa penjajahan dibawa lari ke Belanda,” ujar Mangku Badra kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Baca Juga :  Purnama Picu Isi Alam, Gravitasi Bumi dan Bulan 10 Kali Lebih Kuat

 

Konon Pura Siwa Manik Dalang merupakan bagian dari Pura Pancer atau Pajenengan di Gobleg, Kecamatan Banjar. Mangku Badra menceritakan, hubungan itu ibarat Ayah (Pura Pancer) dengan Anak (Pura Siwa Manik Dalang).  

 

Hubungan itu bisa dilihat saat Pujawali Agung di Pura Siwa Manik Dalang. Pengempon biasanya nangkil ke Pua Pancer di Gobleg untuk nunas tirta. Meski diyakini memiliki hubungan ayah-anak, namun, di Pura Pancer justru tidak ada pementasan Wayang oleh dalang saat pujawali, seperti yang biasanya dilakukan di Pura Siwa Manik Dalang.

 

Dikatakan Mangku Badra, Pura Siwa Manik Dalang diempon oleh Dadia Arya Kepakisan Dauh Bale Agung di Pemaron. Ada pula pangempon yang sifatnya berasal dari Pemaksan. “Pemaksan itu artinya menjadi pengempon karena ada saud atur,” bebernya.

 

Ada empat pelinggih di areal Jeroan atau Utama Mandala. Yakni Pelinggih Dewa Bagus Manik Dalang, Dewa Ayu Manik Mas Aglayang, Pelinggih Taksu Agung atau Taksu Gede/Taksu Bagus Semar untuk memohon seni Pedalangan dan Pelinggih Padmasana. Sedangkan di areal jaba (nista mandala) hanya ada Pelinggih Penglurah Patih Agung.

Baca Juga :  Pangkung Paruk Desa Pertama Salurkan BLT di Buleleng

 

Bila ditelisik, di Pelinggih Dewa Bagus Manik Dalang ini terdapat wayang kulit yakni Tualen (Ismaya) dan Bhatara Guru (Siwa). Wayang Kulit yang dipajang itu merupakan persembahan dari Jro Dalang.

 

Bahkan, di Pura ini terdapat dua gedong (kotak) Wayang yang berbeda usia. Wayang yang usianya lebih tua (lama) tidak disolahkan atau dipentaskan. Hanya wayang baru (duplikatnya) saja yang sering dipentaskan oleh Jro Dalang saat Pujawali, tepatnya Soma Wuku Wayang.

 

“Kalau ada dalang yang tidak membawa gedog saat ngayah pada Pujawali, maka mereka bisa memakai Wayang di Pura Siwa Manik Dalang. Tetapi kalau sudah bawa, bisa langsung pentas,” bebernya. (bersambung)


Pura Siwa Manik Dalang, yang terletak di Dusun Dangin Margi, Desa Pemaron, Kecamatan Buleleng senantiasa ramai dikunjungi Umat Hindu yang lahir pada Wuku Wayang. Selain tempat memohon penglukatan, Pura Siwa Manik Dalang kerap didatangi oleh para dalang untuk memohon taksu.

 

Pantauan Bali Express (Jawa Pos Group) pada Sabtu (7/8) bertepatan dengan Tumpek (Saniscara) Wayang sejumlah pemedek dari berbagai wilayah nangkil ke Pura Siwa Manik Dalang. Mayoritas dari mereka adalah kelahiran saat Wuku Wayang. Namun, tidak jarang juga pemedek yang nangkil kelahirannya di luar wuku Wayang.

 

Penyarikan Pura Siwa Manik Dalang, Jro Mangku Ketut Badra mengatakan, belum diketahui secara pasti sejarah berdirinya Pura Siwa Manik Dalang. Namun, dari penuturan lisan oleh para pendahulunya, pura ini sudah ada tahun 1804 masehi.

 

Hal itu terungkap dari angka tahun yang tertulis pada paduraksa. “Sejarahya prasastinya memang sudah tidak ada. Mungkin saat masa penjajahan dibawa lari ke Belanda,” ujar Mangku Badra kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Baca Juga :  Kejari Buleleng Eksekusi Uang Pengganti Perkara Tirtayatra DPRD Buleleng

 

Konon Pura Siwa Manik Dalang merupakan bagian dari Pura Pancer atau Pajenengan di Gobleg, Kecamatan Banjar. Mangku Badra menceritakan, hubungan itu ibarat Ayah (Pura Pancer) dengan Anak (Pura Siwa Manik Dalang).  

 

Hubungan itu bisa dilihat saat Pujawali Agung di Pura Siwa Manik Dalang. Pengempon biasanya nangkil ke Pua Pancer di Gobleg untuk nunas tirta. Meski diyakini memiliki hubungan ayah-anak, namun, di Pura Pancer justru tidak ada pementasan Wayang oleh dalang saat pujawali, seperti yang biasanya dilakukan di Pura Siwa Manik Dalang.

 

Dikatakan Mangku Badra, Pura Siwa Manik Dalang diempon oleh Dadia Arya Kepakisan Dauh Bale Agung di Pemaron. Ada pula pangempon yang sifatnya berasal dari Pemaksan. “Pemaksan itu artinya menjadi pengempon karena ada saud atur,” bebernya.

 

Ada empat pelinggih di areal Jeroan atau Utama Mandala. Yakni Pelinggih Dewa Bagus Manik Dalang, Dewa Ayu Manik Mas Aglayang, Pelinggih Taksu Agung atau Taksu Gede/Taksu Bagus Semar untuk memohon seni Pedalangan dan Pelinggih Padmasana. Sedangkan di areal jaba (nista mandala) hanya ada Pelinggih Penglurah Patih Agung.

Baca Juga :  Pura Manik Galih Dibangun Lantaran Ayam Aduan Raja Lepas

 

Bila ditelisik, di Pelinggih Dewa Bagus Manik Dalang ini terdapat wayang kulit yakni Tualen (Ismaya) dan Bhatara Guru (Siwa). Wayang Kulit yang dipajang itu merupakan persembahan dari Jro Dalang.

 

Bahkan, di Pura ini terdapat dua gedong (kotak) Wayang yang berbeda usia. Wayang yang usianya lebih tua (lama) tidak disolahkan atau dipentaskan. Hanya wayang baru (duplikatnya) saja yang sering dipentaskan oleh Jro Dalang saat Pujawali, tepatnya Soma Wuku Wayang.

 

“Kalau ada dalang yang tidak membawa gedog saat ngayah pada Pujawali, maka mereka bisa memakai Wayang di Pura Siwa Manik Dalang. Tetapi kalau sudah bawa, bisa langsung pentas,” bebernya. (bersambung)


Most Read

Artikel Terbaru