BANGLI, BALI EXPRESS- Tradisi pawiwahan (perkawinan) massal hingga kini nasih dilaksanakan di Desa Pengotan, Kecamatan Bangli. Dalam setahun, tradisi yang juga dikenal dengan nganten massal ini dilaksanakan dua kali, yakni saat Sasih Kapat (bulan keempat) dan sasih kadasa (bulan kesepuluh), atau sekitar bulan September-Oktober dan Februari-Maret dalam kalender Masehi. Bagaimana prosesinya?
Rangkaia ritual pernikahan massal dimulai dari rumah masing-masing mempelai dan selanjutnya dilakukan di areal Pura Desa. Calon pasangan suami istri akan kembali disucikan dengan ritual yang disebut memawidiwidana. Kemudian, prosesi upacara berlanjut ke dalam pura.
Saat para pengantin berada di Pura Desa, mereka mengenakan pakaian khas adat Desa Pengotan ditempatkan terlebih dulu di sebuah bangunan bale yang oleh warga disebut bale pengantin. Setelah ritual itu kembali dilanjutkan.
Tokoh Adat Pengotan I Wayan Kencu menjelaskan, upacara pernikahan massal menjadi warisan turun-temurun yang dipegang kuat oleh warga setempat. Sebab, sesuai keyakinan warga, tradisi ini merupakan sebuah keharusan dan menjadi kewajiban karena telah diatur dalam pararem atau aturan adat.
Jika belum melalui upacara pernikahan massal, maka pernikahan tersebut belum diakui dan tidak dianggap sah secara adat. Bahkan, kedua mempelai juga dikenakan sanksi adat berupa larangan untuk ke pura atau tempat suci karena hubungan keduanya masih dianggap kotor.
Reporter: I Putu Mardika
BANGLI, BALI EXPRESS- Tradisi pawiwahan (perkawinan) massal hingga kini nasih dilaksanakan di Desa Pengotan, Kecamatan Bangli. Dalam setahun, tradisi yang juga dikenal dengan nganten massal ini dilaksanakan dua kali, yakni saat Sasih Kapat (bulan keempat) dan sasih kadasa (bulan kesepuluh), atau sekitar bulan September-Oktober dan Februari-Maret dalam kalender Masehi. Bagaimana prosesinya?
Rangkaia ritual pernikahan massal dimulai dari rumah masing-masing mempelai dan selanjutnya dilakukan di areal Pura Desa. Calon pasangan suami istri akan kembali disucikan dengan ritual yang disebut memawidiwidana. Kemudian, prosesi upacara berlanjut ke dalam pura.
Saat para pengantin berada di Pura Desa, mereka mengenakan pakaian khas adat Desa Pengotan ditempatkan terlebih dulu di sebuah bangunan bale yang oleh warga disebut bale pengantin. Setelah ritual itu kembali dilanjutkan.
Tokoh Adat Pengotan I Wayan Kencu menjelaskan, upacara pernikahan massal menjadi warisan turun-temurun yang dipegang kuat oleh warga setempat. Sebab, sesuai keyakinan warga, tradisi ini merupakan sebuah keharusan dan menjadi kewajiban karena telah diatur dalam pararem atau aturan adat.
Jika belum melalui upacara pernikahan massal, maka pernikahan tersebut belum diakui dan tidak dianggap sah secara adat. Bahkan, kedua mempelai juga dikenakan sanksi adat berupa larangan untuk ke pura atau tempat suci karena hubungan keduanya masih dianggap kotor.
Reporter: I Putu Mardika