DENPASAR, BALI EXPRESS – Wimbakara (lomba) pangenter acara (pembawa acara) serangkaian Bulan Bahasa Bali digelar di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu (12/2). Lomba ini diikuti 25 peserta yang merupakan generasi muda dari kalangan siswa SMA/SMK dan mahasiswa.
Dalam penyajiannya, masing-masing peserta membawakan acara pembukaan Bulan Bahasa Bali ke-5 yang telah berlangsung. Mereka dinilai oleh tiga dewan juri, yang terdiri dari Komang Puteri Yadnya Diari (Dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja), I Wayan Jatiyasa (Dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Hindu Amlapura), dan Wayan Juliana (Dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja).

Puteri Yadnya Diari mengatakan, penampilan seluruh peserta sudah baik dalam membawakan acara. Walau demikian, beberapa peserta masih ada yang mengucapkan dialek bahasa Bali yang kurang tepat. Itu mungkin dalam kesehariannya tidak menggunakan bahasa Bali. Sebut saja wimbakara yang semestinya dibaca wimbakare.
“Beberapa peserta juga ada yang menyampaikan intonasi yang belum memenuhi kriteria ugra wakya (pangenter acara) bahasa Bali, sehingga peserta itu lebih cocok sebagai pembaca berita,” katanya.
Karena intonasi yang belum memenuhi kriteria itu, beberapa peserta yang tampil, menurutnya lebih cocok sebagai Master of Ceremony (MC) informal, sehingga pembawaannya secara informal. Namun demikian, ia menegaskan bahwa patut dibanggakan karena peminat lomba termasuk tinggi. “Meski pesertanya sudah dibatasi 25 peserta, namun informasi dari panitia masih ada yang mendaftar,” sebutnya.
Para peserta lomba ini dituntut membawakan sebuah acara dengan susunan yang benar. Mereka mesti memperhatikan suara, di mana seharusnya jeda, titik, koma dan di mana seharusnya lambat dan mempercepat. “Itu yang mesti diperhatikan para peserta,” sebutnya.
Peserta wajib mengindahkan wiraga yaitu penampilan. Seorang MC harus mampu membawakan acara yang memiliki kepercayaan diri. Selain itu, penting pula memperhatikan tata bahasa, anggah ungguhing basa Bali. Ketika masuk kruna alus singgih, semestinya tidak lagi masuk kruna alus sor.
Di sini penempatannya sor singgih masih ada yang perlu belajar. “Ada banyak peserta yang menggunakan kata ‘mantuke’, Itu termasuk halus sor, padahal yang tepat adalah ‘majeng’ yaitu kruna alus singgih. Kruna itu dipilih karena kita membicarakan orang yang kita hormati, sehingga kruna alus singgih yang lebih tepat,” paparnya.