BULELENG, BALI EXPRESS – Kayu cendana menjadi salah satu kayu yang paling sering digunakan untuk membangun palinggih atau tempat suci. Ada ragam jenis palinggih pada bangunan suci yang menggunakan kayu cendana, diantaranya palinggih meru, kamulan, sakepat sari, taksu, menjangan seluang, bale pasaren, rong dua, piasan, gedong ibu atau gedong simpen.
Sebut saja Palinggih Kamulan atau Palinggih Rong Telu (tiga). Palinggih ini merupakan tempat berstana Ida Bhatara Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Siwa/ Iswara. Sanggah Kamulan sebagai simbol dan leluhur purusa pradana yang distanakan di kamulan, simbol Bhatara Hyang Guru dan simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai Tri Murti.
Dikatakan Ida Pedanda Istri Anom Kemenuh, pada palinggih ini sangat layak menggunakan kayu cendana. “Namun tidak semua masyarakat diharuskan menggunakan kayu cendana seutuhnya, tetapi dalam setiap bangunan suci harus ada unsur dari kayu cendana walaupun hanya sedikit karena cendana merupakan simbol dari Parama Siwa” katanya.
Kayu cendana juga digunakan pada palinggih piasan. Palinggih ini memiliki fungsi sebagai tempat untuk menghias pratima, lingga-lingga Ida Bhatara pada waktu upacara piodalan dan berfungsi sebagai tempat pemujaan Ida Bhatara sami.
Piasan juga dapat diartikan sebagai tempat menghias dan tempat palinggihan atau tempat stana Ida Bhatara sami pada waktu diadakan upacara piodalan. Melalui upacara panedunan Ida Bhatara Bhatari, pelastian atau pabejian, makalaiyasan, setelah itu baru dilinggihkan. Karena dijadikan tempat menghias, maka sangat tepat menggunakan sarana kayu cendana.
“Dimanapun pohon cendana tumbuh dapat digunakan sebagai palinggih dan pratima. Meskipun cendana tumbuh di tempat kotor sekalipun, tetap dapat digunakan sebagai kahyangan Dewa karena Parama Siwa ada dalam pohon cendana yang tetap suci karena tidak terpengaruh oleh apapun,” pungkasnya.