BANGLI, BALI EXPRESS – Naur Kelaci merupakan rangkaian akhir dari upacara pernikahan yang harus dilakukan di Desa Adat Subaya, Kecamatan Kintamani, Bangli. Ritual ini dilaksanakan oleh krama yang sudah menikah sebagai momentum pembersihan desa dari leteh (kotor).
Masyarakat Desa Subaya melaksanakan upacara Naur Kelaci ketika seseorang di desanya telah melewati proses perkawinan dan sah menjadi pasangan suami istri atau telah berkeluarga. Naur Kelaci tidak diatur dalam awig-awig. Desa Subaya juga tidak mengharuskan masyarakatnya untuk melaksanakan tradisi itu. Namun, kepercayaan masyarakat yang kuat, sehingga mereka masih melestarikan Naur Kelaci.
Masyarakat desa juga meyakini ketika upacara tersebut tidak dilaksanakan, maka akan menimbulkan kekotoran pada diri orang bersangkutan, begitu pula dengan Desa Subaya menjadi leteh.
Perbekel Desa Subaya Nyoman Diantara mengatakan, tradisi Naur Kelaci berangkat dari sejarah yang panjang. Konon, pada awalnya, masyarakat Desa Subaya saat itu belum sepenuhnya Naur Kelaci. Hanya beberapa dari mereka menjalankan tradisi itu.
Lambat laun penduduk desa dilanda bencana dan terkena wabah penyakit. Masyarakat pun merasa resah dengan keadaan tersebut. Setelah dibawa ke pengobatan medis tidak menemukan hasil sama sekali.
Pada akhirnya mereka memutuskan menanyakan ke balian ( tokoh spiritual). Hasilnya menyebutkan bahwa leluhur Desa Subaya terdahulu ada yang belum membayarkan (naur) Kelaci.
Setelah Kelaci tersebut dibayarkan, kehidupan penduduk kian membaik. Semenjak saat itulah, masyarakat Desa Subaya mulai rutin membayarkan Kelaci.
Dikatakan Diantara, tidak ada paksaan bagi krama untuk melaksanakan tradisi ini. Ia menyebut pertimbangan itu lebih ke faktor ekonomi. Namun, jika dirasa secara ekonomi sudah mapan dipersilakan untuk menggelar tradisi Naur Kelaci.
“Upacara Naur Kelaci dilaksanakan setiap Purnamaning Sasih Kadasa dan Purnamaning Sasih Kasa, kemudian setelah krama Desa Pakraman Subaya mengadakan paruman atau sangkepan, maka Naur Kelaci disepakati untuk dilaksanakan pada Purnamaning Sasih Kasa,” jelasnya.
Menurut keyakinan masyarakat setempat, dipilihnya Purnamaning Sasih Kasa karena sasih tersebut merupakan sasih miik (harum) yang dipercaya sasih yang baik untuk melaksanakan upacara Naur Kelaci. Kelaci dibayarkan oleh mereka yang telah menikah, baik oleh pihak perempuan maupun pihak laki-laki.
Bentuk pembayaran Naur Kelaci oleh warga berupa satu ekor babi, 10 butir kelapa, 10 kg beras, 10 kg bumbu-bumbu dapur lengkap, 35 lembar daun pisang, dan satu ikat kayu bakar. Sarana tersebut dihaturkan ke Desa Adat Subaya.
Ritual tersebut dilakukan di Pura Puseh Bale Agung Desa Subaya dan nantinya akan dipandu Jero Kubayan Muncuk dan Jero Kubayan Kiwa. Selanjutnya Kelaci yang telah dibayarkan oleh pasangan suami istri tersebut akan diracik dan dimasak seperti daging babi dan bumbu-bumbu dapur oleh warga masyarakat yang hadir dalam upacara tersebut.
“Setelah usai diracik dan dimasak, maka mulailah dibagikan kepada masyarakat setempat. Masyarakat setempat biasa menyebut pembagian tersebut sebagai Kawesan,” katanya
Ada dua macam perbedaan dalam konteks pembayarannya. Bila laki-laki dari Desa Subaya menikah dengan perempuan dari desa yang sama atau dari desa tetangga seperti Desa Les, Tejakula, Batih, Siakan, Kutuh, dan Sukawana, maka dalam pembayarannya akan diturunkan terus ke generasi penerus mereka selanjutnya.
Sedangkan bagi masyarakat luar yang meminang perempuan di Desa Subaya dan bagi mereka yang dari luar desa, selain desa tetangga tersebut yang umur pernikahan belum menginjak satu bulan tujuh hari, maka Naur Kelaci hanya dilakukan sekali saja.
Hal ini dianggap oleh masyarakat Desa Subaya bahwa ketika ada orang dari luar desa yang baru menikah dan memasuki Desa Subaya dianggap leteh, sehingga harus dilakukan pembersihan dengan ritual Naur Kelaci.