Pura Dalem Panunggekan berada di Banjar Adat Blungbang, Desa Adat Kawan, Bangli. Pura tersebut merupakan salah satu Pura Dalem di wilayah Desa Adat Kawan. Pengemponnya Banjar Adat Blungbang. Pura itu menyimpan berbagai keunikan. Salah satunya soal relief di tembok pura bagian depan.
I MADE MERTAWAN, Bangli
PURA Dalem Panunggekan beralamat di Jalan Merdeka, Bangli. Tak diketahui dengan pasti kapan pura tersebut dibangun. Sebatas dipastikan bahwa termasuk pura kuno. Banjar Adat Blungbang terus berusaha menjaga bangunannya supaya tetap utuh seperti zaman dulu. Diupayakan tidak diubah mengikuti perkembangan zaman.
Klian Banjar Adat Blungbang Putu Rupadana mengungkapkan, sebenarnya ada dua versi soal nama pura dalem tersebut. Ada yang menyebut Pura Dalam Tengah. Ada pula menyebut Pura Dalem Panunggekan yang kini menjadi nama resmi pura setempat. Disebut Pura Dalem Tengah diperkirakan karena posisinya berada di tengah-tengah. Dikelilingi sejumlah Pura Dalem di wilayah Kota Bangli, meskipun jaraknya berjauhan. Seperti Pura Dalem Purwa, Pura Dalem Gede Selaungan, Pura Dalem Cungkub dan Pura Dalem Lagaan.
Selain dikelilingi Pura Dalem, Rupadana menyebutkan bahwa sekitar 1970-an, pura setempat dikelilingi setra (kuburan). Namun sekarang tinggal di selatan pura terdapat setra. “Kalau panunggekan, itu artinya tonggak. Tonggak di sisi selatan Bangli. Sampai sekarang namanya Pura Dalem Panunggekan,” ungkap Rupadana ditemui beberapa waktu lalu.
Sebagai pura peninggalan, pura itu diakui memiliki beberapa keunikan, baik dari sisi fisik maupun kepercayaan secara niskala turun-temurun. Salah satunya terkait relief atau gambar dalam bentuk ukiran pada tembok pura bagian depan. Sepanjang tembok berisi lukisan timbul. Sejumlah peneliti sempat melakukan penelitian keberadaan relief itu. Ternyata tidak sebatas seni. Relief itu sarat makna, memberikan pesan moral untuk kehidupan umat manusia. Pria berusia 61 tahun itu meyakini, sangging yang membuat relief tersebut sangat menjunjung tinggi seni, mempertimbangkan kemajuan zaman.
“Pura itu berada di pinggir jalan raya. Saya yakin sangging pada waktu itu memikirkan seni supaya enak dilihat karena berada pinggir jalan raya serta ada pesan moralnya,” tutur pensiunan guru tersebut.
Pesan moral yang dimaksud, lanjut dia, adalah dilihat dari relief sepanjang tembok saling berkaitan sehingga membentuk cerita. Relief tersebut mengambil epos Mahabrata. Kisah Mahabrata saat Bima ke swargaloka. Jelas Rupadana, relief menggambarkan perjalanan hidup manusia di dunia nyata hingga setelah kematian. Orang yang semasa hidup berbuat baik, maka saat meninggal akan mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Sebaliknya, orang jahat akan mendapat ganjaran setimpal atau dalam agama Hindu diikenal dengan karmapala. “Relief itu memvisualkan kehidupan manusia,” terang Rupadana yang sudah menjadi klian banjar sejak 12 tahun yang lalu.
Seorang mantan wartawan senior yang juga warga asli Blungbang Komang Suarsana menyebut, relief tersebut sering jadi objek penelitian. Ia pun berharap nilai-nilai filosofis dalam relief harus tetap dilestarikan oleh generasi saat ini dan penerus. Jangan sampai terjadi nilai-nilai luhur dalam arsitektur bersejarah itu dihancurkan oleh modernisasi dan kemajuan zaman. “Apalagi atas nama renovasi atau rehabilitasi bangunan yang bersumber bantuan sosial, lalu bangunan diganti dengan material dan mode masa kini,” katanya. Kalaupun nantinya kondisi bangunan mengalami kerusakan alamiah, lanjut mantan ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali itu, yang dilakukan adalah restorasi. Bukan renovasi atau rehabilitasi. (bersambung)