KEBERADAAN ulu apad lewat peran Jero Kubayan sudah tidak diragukan lagi dalam pelestarian seni budaya di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali. Pemeritahanan kearifan lokal ini dapat dilihat dari keberadaan rumah adat, tarian hingga gamelan masyarakat Julah.
Bendesa Adat Julah Ketut Sidemen mengatakan, rumah adat yang dihuni oleh satu kepala keluarga di Julah, hanya terdapat tiga jenis bangunan. Di antaranya tempat suci (kemulan), bale meten (tempat tidur) dan dapur. Rumah adat yang ada sudah menunjukkan sikap kesamarataan. Ukuran rumah dan bentuk hampir sama. Susunan bangunan tersebut berlaku bagi setiap rumah tinggal di Desa Julah.
Kondisi ini mencerminkan bahwa masyarakat Julah menganggap dirinya sejajar. Tidak ada perbedaan kasta maupun status sosial. Selain itu, setiap kepala keluarga (KK) wajib menempati satu rumah. Tidak boleh dalam satu rumah dihuni oleh lebih dari satu KK, sekalipun itu adalah anaknya. Mereka wajib tinggal terpisah dengan orang tuanya.
Sikap ini, sebut Sidemen sudah mencerminkan keterbukaan yang sangat dijunjung tinggi di sini secara turun-temurun hingga sekarang. Hal itu bukanlah tanpa alasan. Mengingat rumah yang ditempati lebih dari satu keluarga akan rentan terjadi masalah atau konflik.
“Dari leluhur masyarakat Julah sudah mengajarkan budaya mandiri. Tidak boleh meroban. Setiap keluarga baru, wajib memiliki rumah. Meskipun masih satu areal pekarangan, yang penting beda rumah tak masalah,” paparnya.
Dalam bidang kesenian, masyarakat Julah masih melestarikan seni Tari Baris Panah. Tarian ini ditarikan oleh empat orang laki-laki yang belum menikah. Tarian ini ditarikan setelah Tari Cekutil pada saat piodalan di pura Baleagung dilaksanakan.
“Ciri khas tarian ini adalah penarinya membawa panah dan masih bujang. Tarian ini mengandung makna yang sangat dalam yakni merupakan simbolisasi dari penerapan Catur Asrama yaitu tahapan brahmacari asrama,” imbuhnya.
Kesakralan gamelan di Desa Adat Julah tercermin karena tidak sembarangan orang boleh menyentuhnya. Gamelan pun tidak diperbolehkan untuk digunakan sebagai alat untuk mengadakan latihan. Uniknya, jika ada pelaksanaan upacara, maka siapa yang mau ngaturang ayah (menabuh) diperbolehkan, dan para penabuh hanya melihat notasi (ndang, nding, ndong, ndeng, ndung) yang telah dipajang di hadapan tempat menabuh.
Para penabuh pada saat menabuh hanya melihat notasi nada pada tempat yang sudah disiapkan serta melihat dan memukul gamelan berdasarkan notasi tabuh yang sudah disediakan. Dalam kaitannya dengan pengiring upacara, maka para penabuh tidak perlu mengadakan latihan.
“Karena begitu ada pelaksanaan upacara para penabuh langsung menabuh dengan berpedoman pada notasi yang sudah disiapkan. Inilah sakralnya. Jadi mereka secara langsung otodidak,” pungkasnya.