SINGARAJA, BALI EXPRESS-Dewi Sri bagi umat Hindu di Bali disimbolkan sebagai Dewi Kemakmuran. Tidak mengherankan, jika pemujaan terhadap Sakti Dewa Wisnu ini sangat diutamakan bagi para petani untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah.
Putu Maria Ratih Anggraini, M.Fil.H mengatakan, selain disebut sebagai Dewi Sri, dalam masyarakat Hindu di Bali beliau juga disebut sebagai Sri Sadhana atau Rambut Sadhana, Dewi Danu serta Dewa Ayu Manik Galih.
Ada yang menarik dalam pemahaman umat Hindu di Bali adalah adanya perwujudan Sri Sadhana, yakni dua arca yang terbuat dari uang kepeng. Sri Sadhana sering disebut sebagai dewata Rambut Sadhana, dewata yang berambut uang (dipuja pada hari Buda Cemeng Klawu).
Ada yang menafsirkan bahwa Rambut Sadhana adalah tempat uang yang tertinggi, karena kata Sadhana diartikan uang. Sri Sadhana pada umumnya disungsung atau dipuja oleh kaum pedagang di pasar.
Sedangkan Dewi Sri sebagai Dewi kemakmuran dan kesuburan merupakan sakti dari Dewa Wisnu yang sebagai dewa pemelihara dan penguasa air. Lalu, dalam masyarakat Hindu di Bali mengenal sebutan Dewi Danu sebagai nama lain dari Dewi Sri.
“Dewi Danu arti dewi yang sangat dipuja atau disembah sebagai penguasa air atau danau yang bertujuan untuk memohon keselamatan, kesuburan dalam bidang pertanian,” jelasnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), kemarin.
Selain itu, Dewi Sri juga disebut sebagai Dewa Ayu Manik Galih, yaitu sebagai dewi yang menguasi pangan (beras atau padi) dan sebagai Dewi Kemakmuran. Suburnya tanaman pangan yang disebut padi itu adalah simbol kemakmuran ekonomi.
Pemujaan kehadapan Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran dan Kesuburan termasuk dalam pura fungsional, seperti Pura Subak (Ulun Swi), Bedugul, dan Melanting.
Pada Pura Subak (Ulun Swi), Dewi Sri dipuja sebagai Dewi Kesuburan dan Kemakmuran tanaman padi atau lahan pertanian, beliau dipuja dan disunggung oleh seluruh krama subak setempat.
Pura Subak pada umumnya didirikan pada hulu daripada lahan pertanian subak setempat. Selain itu, ada beberapa pura di Bali yang disungsung oleh krama subak, baik subak sawah maupun subak abian sebagai sthana Dewi Sri, seperti Pura Uluncarik, Pura Masceti, Pura Amerta Sari, Alas Angker, Alas Sari, Puncak Sari, dan lain sebagainya.
“Bentuk pemujaan Dewi Sri pada Pura Ulun Suwi diwujudkan dengan menggunakan pratima yang terbuat dari kayu cendana dan berisi seikat atau lebih batang padi (Dewa Nini) dan piodalan atau upacaranya dilaksanakan setiap 6 bulan sekali serta disesuaikan dengan kesepakatan krama subak setempat, yang sering disebut dengan Ngusaba Nini,” jelasnya.
Kemudian pada Pura Bedugul atau Ulun Danu dijadikan sebagai sthana atau tempat pemujaan Dewi Danu sebagai penguasa air dan Dewi Kesuburan.
Pada umumnya Pura Bedugul atau Ulun Danu didirikan dekat dengan sumber air dan panyungsungnya sebagian besar adalah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani.
Selanjutnya Pura Melanting sebagai sthana atau tempat pemujaan kehadapan Bhatara Sri Sadhana sebagai Dewi Kemakmuran dan Kekayaan.
Pura Melanting biasanya didirikan pada hulu atau di tengah tengah kawasan pasar. Pada umumnya disungsung oleh seluruh masyarakat Hindu yang bermata pencaharian sebagai pedagang pada daerah tersebut.
Dalam pelaksanaannya, pemujaan kepada Sri Sadhana diwujudkan dengan dua arca atau pratima. Arca tersebut dibuat dari uang kepeng. Selain pura, ada juga tempat pemujaan atau sthana Dewi Sri seperti Glebeg (jineng) atau lumbung yang digunakan untuk menyimpan hasil panen padi (gabah) yang ada di setiap keluarga.
Ada juga yang disebut dengan pulu sebagai tempat penyimpanan beras dan di setiap pamerajan keluarga besar biasanya ada Palinggih Gedong Manik Galih. “Palinggih ini merupakan salah satu bangunan untuk mensthanakan Dewa Kekayaan yang sering disebut dengan Bhatara Sri Sedhana,” bebernya.