SINGARAJA, BALI EXPRESS-Desa Sembiran di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, merupakan salah satu desa Bali Aga yang ada di Bali Utara. Sebagai desa tua, Sembiran memiliki tradisi unik terkait siklus kehidupan dari lahir hingga meninggal.
Ada sejumlah alasan, mengapa Sembiran masuk dalam daftar Desa Bali Aga. Berdasarkan catatan Balai Arkeologi Denpasar, di Desa Sembiran banyak ditemukan benda-benda Megalith atau benda dan bangunan terbuat dari batu. Misalnya, batu berdiri tegak, pundan berundak, yang menurut dugaan para ahli sejarah, telah berusia sekitar 2.000 tahun sebelum masehi atau zaman Neolithikum.
Juga ditemukan benda-benda prasejarah lainnya, diantaranya alat-alat dari batu. Alat-alat tersebut termasuk alat pada zaman batu tua atau Paleotithikum yang berusia 5 ribu tahun yang lalu. Yaitu batu berbentuk setrika, batu berbentuk alat pemotong, batu berbentuk kapak tangan, batu berbentuk palu batu, dan batu berbentuk alat batu kecil untuk mengiris.
Desa Sembiran disebut juga sebagai desa peninggalan zaman Megalithikum. Sebab, banyak pura dijumpai di Desa Sembiran yang sebagian besar pura mengandung unsur megalitik. Tujuan masyarakat membuat bangunan megalith untuk menyembah arwah nenek moyang dan merupakan warisan dari zaman prasejarah dan masih hidup sampai sekarang.
Kelian Desa Adat Sembiran I Nengah Arijaya, 52, mengatakan, ada mitos yang diyakini masyarakat setempat terkait asal usul Sembiran. Sebelum ada penduduk di Desa Sembiran dikisahkan ada seorang pertapa yang dipercaya warga sampai saat ini disebut Ida Bhatara Guru, melakukan yoga semadi di dalam hutan, tepat di bawah salah satu pohon kayu yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan kayu Kastuban.
Kemudian Ida Bhatara Guru melihat ada empat buah kepompomg yang berada di pohon tersebut. Seketika itu juga Ida memohon panugerahan agar bisa mengubah kepompong tersebut menjadi bayi. Benar saja, ada dua bayi laki-laki dan dua bayi perempuan.
Setelah menjadi bayi, Ida Bhatara Guru kemudian bingung untuk mencari siapa yang kelak merawat keempat bayi itu. Beliau kembali memohon agar ada yang bisa merawat bayi tersebut sampai dewasa. “Akhirnya muncul seorang wanita tua yang belum pernah menikah atau daha tua yang siap merawat bayi-bayi tersebut. Daha tua itu diyakini sebagai penjelmaan Bethari Licin,” jelas Nengah Arijaya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Minggu (16/5) lalu.
Mereka tumbuh dewasa, tetapi tidak tertarik satu dengan yang lain, dan tidak ingin menjadikan suami atau istri diantara mereka. Kemudian yang laki-laki dipindahkan ke seberang sungai, yaitu di hutan Julah, dan dua yang perempuan tetap di Sembiran.
Di hutan mereka memakan buah-buahan. Lama-kelamaan laki-laki dan perempuan itu bertemu, yang pertama dan kawin di hutan Julah. Laki-laki yang satunya yang belum kawin bertanya kepada laki-laki yang sudah mendapatkan istri.
“Di mana bisa dapat perempuan itu? Lalu dijawab laki-laki yang sudah kawin, bahwa dia mendapatkan perempuan dari Sembiran. Tetapi ketika laki-laki yang kedua tadi menemukan perempuan satunya. Kemudian perempuan itu mau dinikahi, tetapi tidak mau pergi ke Julah, dan tetap tinggal Samirana yang kini bernama Sembiran. Pasangan itu beranak-pinak di Sembiran,” jelasnya.