BALI EXPRESS, TABANAN – Mungkin sudah banyak yang tahu keberadaan Pura Kahyangan Jagat yang satu ini. Berada di kawasan Tanah Lot, Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan, Pura Luhur Pekendungan memiliki letak yang cukup dekat dengan Pura Luhur Tanah Lot. Terkait kepercayaan, Pura Luhur Pekendungan selama ini diyakini merupakan pusat kemakmuran, dan memiliki kaitan erat dengan sistem pertanian di Bali, khususnya di Tabanan.
Pemucuk Pengempon Pura Luhur Pekendungan I Gusti Made Bagus Damara menuturkan, derdasarkan Purana Pura Luhur Pekendungan, diceritakan pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir di Balidwipa Puri Gelgel, ada titah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diterima Ki Kaki Twa untuk membangun parahyangan (Pura) di tepi laut perbukitan Let. “Setelah tiba di tepi laut perbukitan Let, Ki Kaki Twa memperoleh ciri-ciri tempat untuk membangun pemujaan penyiwian jagat. Pura itu dibangun di tepi laut selatan, atau di suatu kawasan suci yang terletak antaran laut dan dataran kemudian diberi nama Parahyangan Pekendungan,” ungkapnya.
Nama Parahyangan Pekendungan sendiri muncul berdasarkan pawisik Ida Bhatara yang memberi petunjuk, ketika Ki Kaki Twa merabas hutan kawasan itu. Dimana kala itu ditemukan batu rata seperti tikar, dinaungi pohon kendung. Namun ketika pohon kendung itu hendak ditebang penduduk, saat itulah muncul sabda yang menyatakan, di lokasi itulah merupakan dasar pura yang akan dibangun.
“Dari sabda yang berkenan distanakan di pura itu, sampai kelak sebagai penjaga wilayah agar senantiasa selamat, negara makmur, dan pemerintahan stabil. Kemudian kehidupan penduduk tenang dan berumur panjang,” lanjut pria yang juga Ketua PHRI Tabanan tersebut.
Disamping itu, masih menurut pria ini, Pura Pekendungan juga disebut Rabut Pekendungan sebagai stana Ida Bhatara yang terus menerus menjaga Swi Prakerti. Dimana Swi artinya sawah, dan Prakerti berarti sifat bawaan atau profesi untuk mengembangkan segala macam biji-bijian. Sehingga mampu mewujudkan segala hal yang terkait dengan pangan untuk kemakmuran dan mampu memberantas segala macam hama. “Kemudian Pura Luhur Pekendungan juga sebagai stana Hyang Lohana yang bergelar Hyang Sadhana Tra, yang menjaga kelangsungan hidup jagat raya,” sambungnya.
Setelah tuntasnya pembangunan pura kala itu, maka pura diupacarai pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan hingga Wuku Merakih. Dan pada rahina itulah, atau tepat pada Hari Raya Kuningan akhirnya rutin dilaksanakan pujawali di Pura Luhur Pekendungan.
Disamping itu, keberadaan pura ini juga disebut berhubungan erat dengan keris Ki Baru Gajah yang saat ini distanakan di Puri Kediri, Tabanan. Keris ini merupakan pemberian Dang Hyang Dwijendra kepada Ki Bendesa Braban yang tiba di Bali pada tahun Isaka 1411. Pada saat kedatangan Dang Hyang Dwijendra ke Pulau kecil Let (Tanah Lot) para nelayan berdatangan, dan menghadap untuk memohon berkah dari beliau. Keesokan harinya tibalah beliau di Pura Luhur Pekendungan, yang dengan cepat didengar Ki Bendesa Braban. Mendengar kabar tersebut Ki Bendesa Brana langsung menghadap sang pendeta di pura tersebut.
Selanjutnya, sang pendeta menganugerahkan sepucuk keris yang keampuhannya dapat digunakan untuk membasmi berbagai jenis hama penyakit. Keris itu kemudian dikenal dengan nama Ki Baru Gajah, lantaran digunakan sebagai senjata untuk membinasakan I Bhuta Babuhung yang berkepala gajah dan berbadan manusia, dan sempat meresahkan krama Desa Pekraman Braban.
Selain itu, Danghyang Dwijendra juga menitahkan, agar keris tersebut diaturkan sesaji di Pura Luhur Pekendungan. Sebab keris itu dapat pula dipakai sebagai penolak hama segala tanaman petani. Tak heran, hingga kini setiap pujawali atau jika ada upacara tertentu, keris Ki Baru Gajah akan dipendak di Puri Kediri untuk selanjutnya dibawa ke Pura Luhur Pekendungan.
Tidak itu saja, atas petunjuk itu, selama ini jika ada hama yang menyerang kawasan pertanian di Tabanan atau yang dikenal dengan merana. Subak-subak tersebut biasanya akan menggelar serangkaian upacara di Pura Luhur Pekendungan guna memohon agar pertanian mampu diselamatkan. “Tirta yang ditunas di Pura Luhur Pekendungan diyakini mampu menanggulangi keberadaan hama dan penyakit tanaman pertanian. Sehingga pertanian di Tabanan tetap subur dan masyarakatnya makmur,” imbuh Damara.
Sedangkan untuk kawasan pura ini, dari pantauan di lokasi, Pura Luhur Pekendungan terdiri dari utama mandala, madya mandala dan nista mandala. Utama mandala dikelilingi penyengker lengkap dengan kori agung dan pamletasan di arah utara dan selatan. Kemudian pada utama mandala terdapat sejumlah palinggih dan bangunan, seperti Meru Tumpang Pitu sebagai stana Hyang Sedhana Tra Luhur Pekendungan, Padmasana stana Hyang Widhi, Pasimpangan Batukaru, Pasimpangan Gunung Agung, Pasimpangan Luhur Uluwatu, Pasimpangan Pura Luhur Sakenan, Pasimpangan Pura Dangin Sawen, palinggih Mekel Lingsir, palinggih Manik Segara, Manjangan Saluwang atau Pasimpangan Tanah Lot.
Kemudian Bale Murdha Manik atau Bale Pengaruman, palinggih Lumbung, Payasan Saka Pat, Bale Agung, Bale Panca Rsi atau Bale Pawedan, Payasan Singasari, Pasimpangan Rambut Siwi, Pasimpangan Srijong, palinggih Papelik, palinggih Hyang Kariyinan, palinggih Mekul atau Pamekul, Bale Panyimpenan, Bale Saka Nem atau Bale Gong, dan Puwaregan atau dapur.
Beralih ke madya mandala, terdapat Penyawangan Luhur Pakendungan, palinggih Ratu Nyoman, Bale Gong atau Bale Pegambuhan, Bale Saka Kutus sebanyak 3 buah, dan Bale Kulkul. Lalu pada Nista Mandala terdapat palinggih Danu dan Bale Saka Pat, Pasraman, Padmasari, dan Beji.
Selanjutnya nista mandala kembali dibagi menjadi tiga area, yakni nista mandala purwwa atau jaba sisi sebelah timur, dan nista mandala daksina atau jaba sisi sebelah selatan, serta nista mandala pascima atau jaba sisi sebelah barat.
Sedangkan upacara besar terakhir yang digelar, yakni karya agung Mamungkah, Mupuk Pedagingan, Pedudusan Agung, Pengusaban hingga Nangkluk Merana yang digelar pada 2006 lalu. Dimana ada 22 desa adat pengempon pura yang dengan gotong royong, bahu membahu, dan suka cita melaksanakan karya hingga tuntas.