JIKA diamati urutan prosesi musik dalam prosesi memargi ke setra, yaitu balaganjur, gender wayang, dan angklung, dapat dikatakan sebagai gambaran perjalanan sang roh dari alam sekala menuju niskala.
Dikatakan Ardiyasa, tetabuhan balaganjur peponggangan dan balaganjur babonangan yang didominasi oleh permainan ritme dan melodi yang sederhana yaitu dengan dua nada ponggang ndung dan ndang. Ditambah dengan melodi riyong (ndong, ndeng, ndung, dan ndang) yang disusun membentuk pola melodi berulang-ulang, sehingga menghasilkan suara yang ramai dan penuh semangat. “Tetabuhan ini sangat cocok dipakai untuk mengiringi rombongan pengusung lembu yang berada di posisi depan dalam prosesi upacara ngaben ageng atau utama,” jelasnya.
Apalagi, lanjut dia, saat pelaksanaan prasawya ketika memutar lembu dan padma di perempatan maupun di setra. Kehadiran balaganjur sangat dibutuhkan. Sesuai dengan karakter musikalnya, balaganjur dapat membangkitkan semangat para pengusung lembu dan padma, sehingga beban berat yang dipikul menjadi terasa ringan.
Bunyi gamelan balaganjur pada prosesi ngaben seolah menggambarkan perjuangan hidup manusia secara sekala. Lanjutnya, dengan karakter musikalnya yang menghentak-hentak, semangat, dan riuh, balaganjur menggambarkan tentang kehidupan manusia di alam material yang penuh dengan perjuangan, kerja keras, dan semangat dalam mencapai tujuan.
Begitu juga dengan tetabuhan sepasang gender wayang yang ditata di samping kanan dan kiri padma. Bila dilihat dari karakter musikalnya, bunyi yang dihasilkan oleh permainan gender wayang ini sangat tenang dan damai.
Bagi yang masih hidup, baik keluarga maupun pelayat, mendengar alunan gender wayang yang tenang dan damai, secara psikologis mereka pun akan menjadi lebih kuat dan tenang sehingga akan mengurangi kadar kedukaan yang sedang dialami. “Irama gender wayang yang tenang, damai, dengan temponya yang adalah melambangkan perjalanan sang atman mulai meninggalkan gemerlapnya dunia sekala dan memasuki alam niskala yang lebih sakral, suci, dan religius,” katanya.
Pria asal Desa Selulung, Kecamatan Kintamani, Bangli ini menambahkan keterlibatan tetabuhan dalam upacara Ngaben dapat berfungsi sebagai sarana ritual. Termasuk sebagai sarana pembangkit semangat, dan untuk menambah kekhidmatan suasana upacara.
Penggunaannya disesuaikan dengan tingkatan upacara ngaben yaitu ngaben nista (alit), ngaben madya, atau ngaben utama (ageng). Semakin tinggi tingkatan pelaksanaan upacara Ngaben, maka semakin kompleks juga tetabuhan yang digunakan dalam prosesinya.
Secara filosofis, kehadiran tetabuhan dalam upacara Ngaben dipandang sebagai bagian dari doa. Diyakini bahwa vibrasi gelombang bunyi yang dihasilkan oleh suara gamelan adalah sebuah ‘mantram’ atau suara puja kepada salah satu ista dewata.
Suara tersebut diyakini bersumber dari alam atau panca mahabhuta menyebar ke seluruh penjuru mata angin atau pangider bhuwana. Lantunan tetabuhan berlaras pelog dan slendro yang dihasilkan oleh barungan gamelan dalam upacara ngaben. “Ini menjadi salah satu sarana ritual, bagian dari doa keluarga atau masyarakat yang melaksanakan upacara, untuk mengantarkan perjalanan sang atma dari alam bhur loka (sekala) menuju alam bhuwah loka dan swah loka (niskala),” terangnya.
Namun demikian, disebutkannya juga, tetabuhan dalam ritual Ngaben memang tidak mutlak harus ada. Hal itu disesuaikan dengan kemampuan sang Yajamana. Tetapi apabila dilengkapi dengan tetabuhan, tentu pelaksanaan upacara akan kian semarak dan memberikan vibrasi spiritual. (habis)