26.5 C
Denpasar
Thursday, June 8, 2023

Bakar Uang Saat Ngaben, Sama dengan Bakar Amrita

BALI EXPRESS, DENPASAR – Selain digunakan dalam upakara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya, uang juga digunakan dalam Pitra Yadnya. Salah satunya adalah untuk ‘membekali’ orang yang meninggal. Oleh karena itu, tidak jarang uang itu ikut dibakar saat upacara ngaben.

 

Kebiasaan membekali orang meninggal dengan pakaian, perhiasan, ataupun uang memang telah berlangsung sejak dahulu. Sebagian besar masyarakat Bali percaya, atma seseorang di alam baka juga menjalani kebiasaan seperti di masa hidupnya. Oleh karena itu, dengan menghaturkan berbagai barang, uang, atau makanan kesukaannya semasa hidup, juga akan membuatnya bahagia di alam sana. Agar barang tersebut diterima oleh yang bersangkutan, maka bekal tersebut akan disertakan bersama jenazahnya hingga ikut dibakar.

Dosen Filsafat Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M.Fil.H justru mengungkapkan hal berbeda. Menurutnya membakar uang tidaklah bijak. Ia tidak menyalahkan umat yang ingin membekali orang yang meninggal, namun lebih baik menurutnya hal itu dilakukan secara simbolis saja. Artinya, ketika mayat dikubur atau dibakar, uang tersebut diambil dan dikumpulkan. “Lebih baik dikumpulkan dan diberikan kepada cucu-cucunya,” ujarnya.

Kebiasaan memberikan bekal berupa uang kepada orang yang meninggal dengan cara dibakar menurutnya memang sudah berlangsung lama. Bahkan orang-orang Tiongkok juga melakukan hal yang sama. Bedanya, mereka menggunakan uang khusus yang dibuat sengaja dan diberikan kepada orang yang meninggal. “Oleh karena itu, kita di Bali jangan membakar uang. Amrita itu jangan dibakar, justru dipuniakan sesuai amanat Sarasamuccaya, Manawa Dharmasastra, yang intinya menyatakan semakin banyak memberi punia kepada orang lain, semakin banyak pahalanya,” jelasnya.

Baca Juga :  Coba Peruntungan di Denpasar, 10 Duktang Tanpa Identitas Dipulangkan

Hal itu diungkapkannya bukan tanpa alasan. Pertama menurutnya, uang zaman dahulu terbuat dari logam, sehingga ketika dibakar tidak masalah karena setelahnya dapat diambil lagi, baik oleh keluarga yang bersangkutan atau orang lain yang membutuhkan. Berbeda dengan uang kertas yang tentunya ketika dibakar akan lebur menjadi abu.

Kedua, ia melanjutkan, dengan diwariskan kepada anak atau cucu, uang tersebut bisa dimanfaatkan. “Sehingga anak cucunya akan cenderung mengingat orang yang telah meninggal, karena yang meninggal selain menyisakan duka juga memberikan rezeki kepada mereka. Ini salah satu bentuk edukasi,” ujarnya.

Dengan demikian, pria yang akrab dengan panggilan Jro Dalang Nabe Roby tersebut mengatakan yang meninggal juga bertanggung jawab kepada keluarga yang ditinggalkan.

Di samping itu, ketiga, uang juga dikatakannya merupakan salah satu bentuk anugrah dari Tuhan. Oleh karena itu, membakar uang menurutnya sama dengan membakar amrita yang diberikan oleh Tuhan. “Jangan membakar uang. Uang itu kan ada dewanya. Ada yang menyebutnya Dewi Sri, Ratu Ayu Mas Melanting, dan sebagainya yang berhubungan dengan kemakmuran,” ujarnya. “Kalau membakar uang, siap-siap untuk susah mendapatkan uang,” tegasnya.

Baca Juga :  Dilandasi Sudana, Bhatari Rambut Sedana Ingatkan Bijak Menakar Artha

Selain bertujuan untuk yadnya, bukan tidak mungkin ada juga yang membakar atau merusak uang hanya karena iseng atau tujuan lainnya. Selain melanggar Undang-undang, ia mengatakan uang juga seperti benda lainnya yang jika diperlakukan dengan buruk akan mendatangkan hal yang buruk pula.

“Sederhananya, perumpamaannya kalau kita membenci uang, uang akan membenci kita. Jangan sekali-kali mengatakan uang itu jelek, jahat, dan sebagainya,” ujarnya.

Apalagi selama yang bersangkutan masih memerlukan uang untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup, ia menyarankan jangan menafikan uang.

Namun demikian, tentunya menurutnya uang adalah unsur material yang berkaitan dengan duniawi, sehingga ada batas penggunaannya. Yang terpenting, ia menekankan umat Hindu harus menggunakan uang secara bijak. Sesuai dengan konsep Catur Purusha Artha, yakni Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Dengan jalan Dharma umat bekerja untuk mendapatkan Artha. Artha tersebut akan mampu memenuhi Kama, yakni kebutuhan dan keinginan pribadi maupun keluarga sehingga datang kesejahteraan. Dengan terwujudnya kesejahteraan secara lahir dan batin, maka menurutnya kebebasan sejati atau Moksa itu akan tercapai. 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Selain digunakan dalam upakara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya, uang juga digunakan dalam Pitra Yadnya. Salah satunya adalah untuk ‘membekali’ orang yang meninggal. Oleh karena itu, tidak jarang uang itu ikut dibakar saat upacara ngaben.

 

Kebiasaan membekali orang meninggal dengan pakaian, perhiasan, ataupun uang memang telah berlangsung sejak dahulu. Sebagian besar masyarakat Bali percaya, atma seseorang di alam baka juga menjalani kebiasaan seperti di masa hidupnya. Oleh karena itu, dengan menghaturkan berbagai barang, uang, atau makanan kesukaannya semasa hidup, juga akan membuatnya bahagia di alam sana. Agar barang tersebut diterima oleh yang bersangkutan, maka bekal tersebut akan disertakan bersama jenazahnya hingga ikut dibakar.

Dosen Filsafat Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M.Fil.H justru mengungkapkan hal berbeda. Menurutnya membakar uang tidaklah bijak. Ia tidak menyalahkan umat yang ingin membekali orang yang meninggal, namun lebih baik menurutnya hal itu dilakukan secara simbolis saja. Artinya, ketika mayat dikubur atau dibakar, uang tersebut diambil dan dikumpulkan. “Lebih baik dikumpulkan dan diberikan kepada cucu-cucunya,” ujarnya.

Kebiasaan memberikan bekal berupa uang kepada orang yang meninggal dengan cara dibakar menurutnya memang sudah berlangsung lama. Bahkan orang-orang Tiongkok juga melakukan hal yang sama. Bedanya, mereka menggunakan uang khusus yang dibuat sengaja dan diberikan kepada orang yang meninggal. “Oleh karena itu, kita di Bali jangan membakar uang. Amrita itu jangan dibakar, justru dipuniakan sesuai amanat Sarasamuccaya, Manawa Dharmasastra, yang intinya menyatakan semakin banyak memberi punia kepada orang lain, semakin banyak pahalanya,” jelasnya.

Baca Juga :  Jika Masalah Desa Adat Renon Tak Tuntas, Polisi Akan Proses Hukum

Hal itu diungkapkannya bukan tanpa alasan. Pertama menurutnya, uang zaman dahulu terbuat dari logam, sehingga ketika dibakar tidak masalah karena setelahnya dapat diambil lagi, baik oleh keluarga yang bersangkutan atau orang lain yang membutuhkan. Berbeda dengan uang kertas yang tentunya ketika dibakar akan lebur menjadi abu.

Kedua, ia melanjutkan, dengan diwariskan kepada anak atau cucu, uang tersebut bisa dimanfaatkan. “Sehingga anak cucunya akan cenderung mengingat orang yang telah meninggal, karena yang meninggal selain menyisakan duka juga memberikan rezeki kepada mereka. Ini salah satu bentuk edukasi,” ujarnya.

Dengan demikian, pria yang akrab dengan panggilan Jro Dalang Nabe Roby tersebut mengatakan yang meninggal juga bertanggung jawab kepada keluarga yang ditinggalkan.

Di samping itu, ketiga, uang juga dikatakannya merupakan salah satu bentuk anugrah dari Tuhan. Oleh karena itu, membakar uang menurutnya sama dengan membakar amrita yang diberikan oleh Tuhan. “Jangan membakar uang. Uang itu kan ada dewanya. Ada yang menyebutnya Dewi Sri, Ratu Ayu Mas Melanting, dan sebagainya yang berhubungan dengan kemakmuran,” ujarnya. “Kalau membakar uang, siap-siap untuk susah mendapatkan uang,” tegasnya.

Baca Juga :  Pura Manik Batu Ditemukan Saat Panen, Kini Jadi Tempat Malukat

Selain bertujuan untuk yadnya, bukan tidak mungkin ada juga yang membakar atau merusak uang hanya karena iseng atau tujuan lainnya. Selain melanggar Undang-undang, ia mengatakan uang juga seperti benda lainnya yang jika diperlakukan dengan buruk akan mendatangkan hal yang buruk pula.

“Sederhananya, perumpamaannya kalau kita membenci uang, uang akan membenci kita. Jangan sekali-kali mengatakan uang itu jelek, jahat, dan sebagainya,” ujarnya.

Apalagi selama yang bersangkutan masih memerlukan uang untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup, ia menyarankan jangan menafikan uang.

Namun demikian, tentunya menurutnya uang adalah unsur material yang berkaitan dengan duniawi, sehingga ada batas penggunaannya. Yang terpenting, ia menekankan umat Hindu harus menggunakan uang secara bijak. Sesuai dengan konsep Catur Purusha Artha, yakni Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Dengan jalan Dharma umat bekerja untuk mendapatkan Artha. Artha tersebut akan mampu memenuhi Kama, yakni kebutuhan dan keinginan pribadi maupun keluarga sehingga datang kesejahteraan. Dengan terwujudnya kesejahteraan secara lahir dan batin, maka menurutnya kebebasan sejati atau Moksa itu akan tercapai. 


Most Read

Artikel Terbaru

/