29.8 C
Denpasar
Saturday, June 10, 2023

Menjalani Tapa Brata 3 Tilem, Biaya Ditanggung Desa Adat

Desa Adat Padang Bulia, kecamatan Sukasada masih memegang teguh Tradisi Manak Salah atau bayi lahir kembar buncing. Tradisi secara turun-temurun ini pelaksanannya sangat manusiawi. Sebab, segala kebutuhan orang tua si bayi dan upacaranya sudah ditanggung desa adat.

Bendesa Adat Padang Bulia Gusti Aji Nyoman Bisana, 74 menjelaskan, tidak ada keterangan yang jelas sejak kapan tradisi manak salah mulai dilaksanakan. Tetapi masyarakat mempercayai bahwa tradisi tersebut sudah dilaksanakan sejak dahulu kala.

Gusti Aji Bendesa Bisana menegaskan, tidak ada kaitannya tradisi manak salah di Padang Bulia dengan masa pemerinatahan Raja Masula Masuli yang melakukan pengucilan terhadap keluarga yang memiliki anak kembar buncing.Sedangkan kalau di Padang Bulia, tradisi manak salah diperlakukan manusiawi. Bakan, seluruh krama ikut bergotong royong dalam melayani keluarga si bayi kembar buncing.

Dikatakan Bendesa Bisana, bukti otentik itu diperkuat dengan ditemukannya beberapa lontar yang memuat tentang tradisi manak salah. Salah satunya adalah lontar Dewa Tatwadan Brahma Sapa.

Dalam lontar Brahma Sapa diceritakan awal mula bagaimana bisa terjadinya fenomena manak salah atau kembar buncing. Sampai saat ini masyarakat Padang Bulia masih mempercayai hal tersebut.

“Oleh karena itu setiap ada kelahiran bayi kembar buncing, maka semua masyarakat akan saling menolong bergotong-royong untuk membantu segala hal yang harus dilakukan sesuai dengan isi dari lontar dewa tatwa,” jelasnya, Rabu (18/8).

Baca Juga :  Dewi Melanting, Dewi Kemakmuran untuk Kaum Pedagang

Lontar Dewa Tatwa dan Brahma Sapa yang berlaku di Desa adat Padangbulia merupakan dasar dari pelaksanaan upacara melasti terkait dengan kelahiran bayi kembar buncing atau manak salah. Masyarakat Padangbulia menganggap kelahiran bayi kembar buncing merupakan suatu kesalahan atau disebut sebagai salah wetu yang menyebabkan kahyangan menjadi kotor.

Hal ini juga tercantum dalam lontar dewa tatwa yang berbunyi: Yan ana salah wetu ring pasabhaning kahyangan yadnya sarwa tumuwuh manusa mwang sarwa patikawenang metu ring pertiwi manusa wetu tan pasuku tan pamata mwang ana lewihnia ana kurangnia wetu buncing mwah kunang sakalwir tan paripurna kadi kawitania yadyan sarba satwa

Jika diartikan: bahwa kahyangan yang disebut sebagai kahyangan kotor adalah bila ada kelahiran yang ganjil pada wilayah prahyangan seperti tumbuh-tumbuhan manusia dan segala hewan peliharaan yang lahir di bumi ini yaitu manusia lahir tanpa kaki tidak memiliki mata memiliki anggota tubuh yang berlebih ataupun yang kurang kelahiran buncing (laki-laki dan perempuan) dan semua kelahiran yang tidak sempurna termasuk binatang. Dalam rangka menyucikan desa keluarga beserta bayi kembar buncing melakukan tapa berata atau pengasingan sementara di daerah campuhan selama telung tilem (tiga bulan).

Baca Juga :  Usada Lara Kamatus (1) : Menyehatkan Sperma

Selama masa tapa brata tersebut orang tua beserta bayi kembar buncing dilarang pulang ke rumah. Setelah tiga bulan tepatnya pada saat tilem ketiga orang tua beserta bayi kembar buncing akan melakukan rangkaian upacara penyucian.

Upacara penyucian dilakukan dibeberapa tempat. Dimulai di tempat tapa berata yang kemudian dilanjutkan di pura desa. Setelah di pura desa maka akan dilanjutkan di segara (pantai). Tuntas di pantai maka orang tua beserta bayi kembar buncing akan diantar kembali pulang ke rumah

Berlandaskan lontar Dewa Tatwa masyarakat Padang Bulia percaya dengan melaksanakan tradisi manak salah dapat menciptakan perdamaian secara niskala. Namun jika tradisi ini tidak dilaksanakan dipercaya bahwa akan tejadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang telah dicantumkan pada lontar dewa tatwa.

Lanjutnya, selain lontar, krama juga merujuk berdasarkan Catur Dresta. Yakni Sastra Dresta kebenaran sastra agama, Purwa Dresta kenenaran yang didasari apa yang menjadi warisan agar dilanjutkan, Loka dresta berdasarkan keputusan paruman, dan Desa Dresta.

 “Kami meyakini, jika tidak dilaksanakan bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Terakhir tahun 2019 ada warga kami yang melahirkan kembar buncing, dan sudah menjalaninya dengan tulus ikhlas, upacaranya juga sudah tuntas,” paparnya.(bersambung)


Desa Adat Padang Bulia, kecamatan Sukasada masih memegang teguh Tradisi Manak Salah atau bayi lahir kembar buncing. Tradisi secara turun-temurun ini pelaksanannya sangat manusiawi. Sebab, segala kebutuhan orang tua si bayi dan upacaranya sudah ditanggung desa adat.

Bendesa Adat Padang Bulia Gusti Aji Nyoman Bisana, 74 menjelaskan, tidak ada keterangan yang jelas sejak kapan tradisi manak salah mulai dilaksanakan. Tetapi masyarakat mempercayai bahwa tradisi tersebut sudah dilaksanakan sejak dahulu kala.

Gusti Aji Bendesa Bisana menegaskan, tidak ada kaitannya tradisi manak salah di Padang Bulia dengan masa pemerinatahan Raja Masula Masuli yang melakukan pengucilan terhadap keluarga yang memiliki anak kembar buncing.Sedangkan kalau di Padang Bulia, tradisi manak salah diperlakukan manusiawi. Bakan, seluruh krama ikut bergotong royong dalam melayani keluarga si bayi kembar buncing.

Dikatakan Bendesa Bisana, bukti otentik itu diperkuat dengan ditemukannya beberapa lontar yang memuat tentang tradisi manak salah. Salah satunya adalah lontar Dewa Tatwadan Brahma Sapa.

Dalam lontar Brahma Sapa diceritakan awal mula bagaimana bisa terjadinya fenomena manak salah atau kembar buncing. Sampai saat ini masyarakat Padang Bulia masih mempercayai hal tersebut.

“Oleh karena itu setiap ada kelahiran bayi kembar buncing, maka semua masyarakat akan saling menolong bergotong-royong untuk membantu segala hal yang harus dilakukan sesuai dengan isi dari lontar dewa tatwa,” jelasnya, Rabu (18/8).

Baca Juga :  Harga PCR Fluktuatif, YLPK Bali Tegaskan Perlu Adanya Transparansi

Lontar Dewa Tatwa dan Brahma Sapa yang berlaku di Desa adat Padangbulia merupakan dasar dari pelaksanaan upacara melasti terkait dengan kelahiran bayi kembar buncing atau manak salah. Masyarakat Padangbulia menganggap kelahiran bayi kembar buncing merupakan suatu kesalahan atau disebut sebagai salah wetu yang menyebabkan kahyangan menjadi kotor.

Hal ini juga tercantum dalam lontar dewa tatwa yang berbunyi: Yan ana salah wetu ring pasabhaning kahyangan yadnya sarwa tumuwuh manusa mwang sarwa patikawenang metu ring pertiwi manusa wetu tan pasuku tan pamata mwang ana lewihnia ana kurangnia wetu buncing mwah kunang sakalwir tan paripurna kadi kawitania yadyan sarba satwa

Jika diartikan: bahwa kahyangan yang disebut sebagai kahyangan kotor adalah bila ada kelahiran yang ganjil pada wilayah prahyangan seperti tumbuh-tumbuhan manusia dan segala hewan peliharaan yang lahir di bumi ini yaitu manusia lahir tanpa kaki tidak memiliki mata memiliki anggota tubuh yang berlebih ataupun yang kurang kelahiran buncing (laki-laki dan perempuan) dan semua kelahiran yang tidak sempurna termasuk binatang. Dalam rangka menyucikan desa keluarga beserta bayi kembar buncing melakukan tapa berata atau pengasingan sementara di daerah campuhan selama telung tilem (tiga bulan).

Baca Juga :  Tradisi Nyulubang di Pura Penyaungan, Sembuhkan Bayi Busung Lapar

Selama masa tapa brata tersebut orang tua beserta bayi kembar buncing dilarang pulang ke rumah. Setelah tiga bulan tepatnya pada saat tilem ketiga orang tua beserta bayi kembar buncing akan melakukan rangkaian upacara penyucian.

Upacara penyucian dilakukan dibeberapa tempat. Dimulai di tempat tapa berata yang kemudian dilanjutkan di pura desa. Setelah di pura desa maka akan dilanjutkan di segara (pantai). Tuntas di pantai maka orang tua beserta bayi kembar buncing akan diantar kembali pulang ke rumah

Berlandaskan lontar Dewa Tatwa masyarakat Padang Bulia percaya dengan melaksanakan tradisi manak salah dapat menciptakan perdamaian secara niskala. Namun jika tradisi ini tidak dilaksanakan dipercaya bahwa akan tejadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang telah dicantumkan pada lontar dewa tatwa.

Lanjutnya, selain lontar, krama juga merujuk berdasarkan Catur Dresta. Yakni Sastra Dresta kebenaran sastra agama, Purwa Dresta kenenaran yang didasari apa yang menjadi warisan agar dilanjutkan, Loka dresta berdasarkan keputusan paruman, dan Desa Dresta.

 “Kami meyakini, jika tidak dilaksanakan bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Terakhir tahun 2019 ada warga kami yang melahirkan kembar buncing, dan sudah menjalaninya dengan tulus ikhlas, upacaranya juga sudah tuntas,” paparnya.(bersambung)


Most Read

Artikel Terbaru