BULELENG, BALI EXPRESS – Daksina Linggih menjadi sarana vital yang digunakan dalam berbagai aspek upacara di Bali. Sarana yang sarat makna ini diyakini sebagai hulu dari banten dan merupakan simbol dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Serati banten asal Kubutambahan, Buleleng, Jro Ketut Utara mengatakan, Daksina Linggih sejatinya berbeda dengan daksina pada umumnya. Meskipun dilihat secara sepintas, sama. Tidak ada perbedaan yang menonjol.
Ia memaparkan, daksina dalam bentuk persembahan bisa difungsikan sebagai linggih atau simbol Tuhan. Namun, Daksina Linggih tidak bisa difungsikan sebagai persembahan, karena merupakan simbol Tuhan dan berfungsi sebagai hulu dari banten.
Daksina Linggih, sebut Jro Utara, merupakan arcanam yaitu pemujaan Tuhan melalui media atau arca. Arcanam berarti juga memvisualisasikan Tuhan ke dalam suatu bentuk atau simbol. Simbol yang dipakai adalah penggambaran Tuhan dalam media Daksina Linggih.
Pada umumnya sarana yang dipergunakan untuk membuat Daksina Linggih terdiri dari bebedogan atau wakul, tapak dara, beras, kelapa, telur itik, uang kepeng 225 keping, kojong kecil, kemiri, pangi, porosan, pesel-peselan, jebug harum, bija, dan pisang 2 biji. Ada juga kojong besar, plawa/daun endong, buah pinang, bunga, reringgitan, bunga bancangan, dan canang yasa.
Jro Utara mengatakan, sarana Daksina Linggih juga mewakili tiga aspek. Yaitu aspek hutan (isin alas), aspek sawah (isin carik), dan aspek laut (isin pasih). Aspek hutan dalam sarana Daksina Linggih digantikan oleh pesel-peselan yang terbuat dari daun-daunan sebagai cerminan hutan yang rimbun. “Aspek sawah digantikan oleh sarana beras dan bija ratus yang berisi biji-bijian. Dan aspek laut digantikan oleh garam yang ada pada bija ratus,” kata Jro Utara.
Secara struktur, Daksina Linggih terdiri dari alas (kulit), isi (tubuh) dan kepala. Penggambaran dianalogikan seperti manusia, artinya simbol sebagai penggambaran Tuhan disamakan seperti karakteristik yang melekat pada manusia, yaitu memiliki kulit (kaki), tubuh dan kepala.
Daksina Linggih juga bisa dianalogikan dengan konsep Tri Angga. Yaitu nista angga, madya angga, dan utama angga. Nista angga dalam Daksina Linggih disimbolkan dari bebedogan atau wakul yang merupakan bagian luar atau alas.
Lontar Yajna Prakerti menguraikan bahwa banten memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Banten disebutkan sebagai berikut : sahananing babanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuanaa. Pinaka ragannta tuwi artinya lambang dirimu atau lambang diri kita, pinaka warna rupaning Ida Bhatara.
Artinya, sebagai lambang kemahakuasaan Tuhan, dan pinaka anda bhuwana artinya lambang alam semesta (bhuana agung). Jika merujuk pada Lontar Yadnya Prakerti, Daksina Linggih sebagai sthana Tuhan mempunyai kedudukan sama seperti halnya arca, pratima, pralingga, dan patapakan dalam wujud barong ataupun rangda.
Penggunaan simbol-simbol agama (nyasa) merupakan salah satu upaya mempersonifikasikan Tuhan atau sifat-sifat Tuhan ke dalam bentuk persembahan. “Bentuk-bentuk perwujudan nyasa dapat diwujudkan dalam gerak tangan atau mudra, mantra-mantra, garis-garis yang disebut yatra, banten atau sesajen, Daksina Linggih, dan lain sebagainya,” sebut Jro Utara.