26.5 C
Denpasar
Monday, June 5, 2023

Tari Baris di Desa Adat Dukuh Penaban (1)

Berawal dari Gerubug, Cang Long Leng Gunakan Busana Poleng

Desa Adat Dukuh Penaban, Karangasem melestarikan sejumlah tarian sakral, yang tercipta ratusan tahun silam lantaran Desa Dukuh Penaban pernah terkena wabah. Beberapa tarian itu adalah tari baris, yakni Tari Baris Cang Long Leng, Baris Kupu-Kupu Kuning, Tari Baris Alok Alok dan Tari Baris Sekar Taman.

KARANGASEM, BALI EXPRESS – Bendesa Adat Dukuh Penaban I Nengah Suarya secara umum menjelaskan, sekitar tahun 1712 Masehi (Isaka 1634) terjadi musibah yang menimpa warga Banjar Adat Penaban. Hampir sebagian warganya diserang wabah penyakit yang mematikan.

Penyakit yang menimpa warga pada saat itu disebut gerubug. Sebab kejadiannya sangat mengerikan. Pagi sakit perut, panas, tidak berselang lama orang tersebut meninggal dunia. Tak jarang dalam satu keluarga meninggal secara bersamaan. Hal itu menimbulkan kepanikan warga Banjar Adat Penaban.

BAWA TAMIANG: Selain busananya yang unik berwarna poleng, penari Cang Long Leng juga membawa tamiang.

Dalam suasana panik tersebut, warga Banjar Adat penaban memohon petunjuk dan keselamatan ke hadapan Sang Hyang Widhi. “Pada saat itu warga Banjar Adat Penaban menghaturkan sesajen ke hadapan Ida Bhatara Gede Banjar sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana di Pura Banjar Adat Penaban,” tutur Suarya belum lama ini.

Setelah ritual itu, Jro Mangku mendapat petunjuk dari Ida Bhatara Gede Banjar agar memanggung jempana palinggihan Ida Bhatara. Krama pun menyiapkan sesajen sebagaimana petunjuk itu. Pada saat mempersembahkan sesajen, krama segera mengangkat dan mengusung Palinggih Ida Bhatara untuk ditempatkan di atas panggungan yang telah ditentukan dan beberapa orang mengalami karauhan (trance).

Dalam keadaan karauhan, mereka menyampaikan sabda dari Ida Bhatara agar mengawal palinggih dengan sepasukan /sebarisan pengawal. Ketika itu juga tanpa dikomando lagi sebanyak dua belas orang menari secara spontan dengan gerakan sederhana sambil memutar-mutar sepucuk daun jepun (kamboja) sebagai perlengkapan menari dan berteriak-teriak iiiiih…….uuuuuuh……….iiiiiiiiiiih untuk mengusir penyakit di areal tempat panggungan Palinggihan Ida Bhatara Gede Banjar.

Krama Banjar Adat Penaban sangat meyakini dengan memanggung palinggihan Ida Bhatara yang diiringi tarian menyebabkan wabah penyakit bisa ditanggulangi. Kemudian terbukti sejak saat itu grubug berangsur-angsur lenyap dan keadaan normal kembali.

Baca Juga :  Syukuri Sakit Agar Karma Buruk Berkurang

Suarya mengatakan, salah satu tarian sakral adalah Tari Cang Long Leng. Tarian ini dipentaskan di Pura Puseh. Pementasannya setiap Purnama Sasih Kapat, Purnama Kapitu, Purnama Kadasa, sehari dan dua hari setelah Hari Raya Kuningan.

Tarian ini dipentaskan oleh 6 orang pria dengan berbusana saput, kampuh, dan destar yang dihias dengan daun andong merah dan pucuk bang/merah yang menandakan keberanian. Semuanya berwarna poleng (hitam putih).

Di samping itu, penari juga membawa sarana lainnya berupa tamiang yang dibuat dari kayu dan sebilah keris. Kalau melihat dari busana yang dipakai penari berwarna serba poleng hitam putih, hal ini terjadi karena erat kaitannya dengan busana Ida Bhatara Gde Munggah Sakti yang disuguhkan tarian ini adalah berbusana serba poleng hitam putih, penari tidak memakai baju.

Para penari ini tidak belajar secara khusus, hanya melihat secara langsung para seniornya. Sebelum gambelan dibunyikan, para penari sudah siap dengan busana yang lengkap menunggu di jaba pisan. Begitu gambelan dibunyikan, salah seorang penari masuk melalui candi bentar menuju jaba tengah pura sambil menari.

Kemudian disusul oleh penari lainnya masuk, satu persatu dari jaba pisan menuju jaba tengah pura. Di jaba tengah pura para penari menunjukkan kemanapun mereka menari masing-masing. Setelah lengkap enam orang, baru lah gerakan penari seragam.

Pada saat menari di jaba tengah di utama mandala pura sudah disiapkan tarian pamendak menghadap ke penari Baris Cang Long Leng. “Penari pamendak ini mulai dari yang membawa segehan, toya anyar, kelungah, tuak, arak, dan berem, serta dilengkapi dengan api takepan yang dibuat dengan sambuk (kulit serabut buah kelapa sebagai pemisah). Para penari bergerak dengan mantap dengan gerakan tarian menyuguhkan apa yang mereka bawa,” beber bendesa yang juga ASN di Pemkab Karangasem ini.

Baca Juga :  Penari Wajib Truna Bunga, Berjumlah Sembilan Orang

Lanjut Suarya, gerakan Tari Baris Cang Long Leng pada saat menerima pamendak adalah kaki kanan berada di depan dan kaki kiri berada di belakang. Kemudian tangan kanan memegang tamiang yang diletakkan di depan dada. Sedangkan tangan kiri diayun ke belakang, posisi badan agak dibungkukkan, kemudian kaki dihentakan sebanyak tiga kali, lalu dilanjutkan dengan bersorak iiiiiiiih..uuuuuuuh.

Sorakan itu mengandung makna tertentu. sorakan ‘Iiih’ berarti memanggil Sang Bhuta Kala untuk menerima suguhan yang disajikan seperti segehan, toya anyar, klungah, tuak, arak, dan berem.

Kemudian sorakan ‘Uuuuh’ berarti meminta ke hadapan Sang Bhuta Kala segera meninggalkan tempat itu, setelah menerima suguhan dan tidak mengganggu jalannya upacara. Setelah para penari pamendak selesai menyuguhkan upakara pamendak keenam penari menuju jeroan pura untuk melanjutkan tariannya.

Penari menari dengan memutar tamiang, menghadap ke utara tiga kali pukulan gong dan menghadap ke selatan tiga kali pukulan gong. Setelah menghadap ke utara, penari berjongkok menghunus keris, selanjutnya mereka menari seperti keadaan sedang berperang.

Menari dengan menggunakan keris yang diputar-putar menghadap ke utara tiga kali pukulan gong dan menghadap ke selatan tiga kali pukulan gong, disertai juga dengan sorakan ‘iiiiiiiiih…….. uuuuuuuh’.

Setelah itu, para penari menyarungkan kembali kerisnya. Fase yang terakhir penari kembali dengan gerakan yang pertama dengan gerakan kaki diangkat bergantian. Demikian juga tangannya.

Bila kaki kanan yang diangkat, tangan kanan yang memegang tamiang diayun ke depan dan diangkat ke atas, tangan kiri diayunkan ke belakang. Selanjutnya bila kaki kiri yang diangkat, tangan kiri diayun ke depan atas sedangkan tangan kanan yang memegang tamiang ditekuk sehingga tamiang tepat berada di depan dada kiri penari.

“Tarian berakhir setelah semua penari bersorak iiiiiiiiih……. uuuuuh sebagai penutup tarian,” sebut pria yang juga bendesa madya Majelis Desa Adat (MDA) Karangasem ini. (bersambung)

 






Reporter: I Putu Mardika

Desa Adat Dukuh Penaban, Karangasem melestarikan sejumlah tarian sakral, yang tercipta ratusan tahun silam lantaran Desa Dukuh Penaban pernah terkena wabah. Beberapa tarian itu adalah tari baris, yakni Tari Baris Cang Long Leng, Baris Kupu-Kupu Kuning, Tari Baris Alok Alok dan Tari Baris Sekar Taman.

KARANGASEM, BALI EXPRESS – Bendesa Adat Dukuh Penaban I Nengah Suarya secara umum menjelaskan, sekitar tahun 1712 Masehi (Isaka 1634) terjadi musibah yang menimpa warga Banjar Adat Penaban. Hampir sebagian warganya diserang wabah penyakit yang mematikan.

Penyakit yang menimpa warga pada saat itu disebut gerubug. Sebab kejadiannya sangat mengerikan. Pagi sakit perut, panas, tidak berselang lama orang tersebut meninggal dunia. Tak jarang dalam satu keluarga meninggal secara bersamaan. Hal itu menimbulkan kepanikan warga Banjar Adat Penaban.

BAWA TAMIANG: Selain busananya yang unik berwarna poleng, penari Cang Long Leng juga membawa tamiang.

Dalam suasana panik tersebut, warga Banjar Adat penaban memohon petunjuk dan keselamatan ke hadapan Sang Hyang Widhi. “Pada saat itu warga Banjar Adat Penaban menghaturkan sesajen ke hadapan Ida Bhatara Gede Banjar sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana di Pura Banjar Adat Penaban,” tutur Suarya belum lama ini.

Setelah ritual itu, Jro Mangku mendapat petunjuk dari Ida Bhatara Gede Banjar agar memanggung jempana palinggihan Ida Bhatara. Krama pun menyiapkan sesajen sebagaimana petunjuk itu. Pada saat mempersembahkan sesajen, krama segera mengangkat dan mengusung Palinggih Ida Bhatara untuk ditempatkan di atas panggungan yang telah ditentukan dan beberapa orang mengalami karauhan (trance).

Dalam keadaan karauhan, mereka menyampaikan sabda dari Ida Bhatara agar mengawal palinggih dengan sepasukan /sebarisan pengawal. Ketika itu juga tanpa dikomando lagi sebanyak dua belas orang menari secara spontan dengan gerakan sederhana sambil memutar-mutar sepucuk daun jepun (kamboja) sebagai perlengkapan menari dan berteriak-teriak iiiiih…….uuuuuuh……….iiiiiiiiiiih untuk mengusir penyakit di areal tempat panggungan Palinggihan Ida Bhatara Gede Banjar.

Krama Banjar Adat Penaban sangat meyakini dengan memanggung palinggihan Ida Bhatara yang diiringi tarian menyebabkan wabah penyakit bisa ditanggulangi. Kemudian terbukti sejak saat itu grubug berangsur-angsur lenyap dan keadaan normal kembali.

Baca Juga :  Pendukung Fanatik, Katut Cukur Rambut Bertuliskan Jokowi

Suarya mengatakan, salah satu tarian sakral adalah Tari Cang Long Leng. Tarian ini dipentaskan di Pura Puseh. Pementasannya setiap Purnama Sasih Kapat, Purnama Kapitu, Purnama Kadasa, sehari dan dua hari setelah Hari Raya Kuningan.

Tarian ini dipentaskan oleh 6 orang pria dengan berbusana saput, kampuh, dan destar yang dihias dengan daun andong merah dan pucuk bang/merah yang menandakan keberanian. Semuanya berwarna poleng (hitam putih).

Di samping itu, penari juga membawa sarana lainnya berupa tamiang yang dibuat dari kayu dan sebilah keris. Kalau melihat dari busana yang dipakai penari berwarna serba poleng hitam putih, hal ini terjadi karena erat kaitannya dengan busana Ida Bhatara Gde Munggah Sakti yang disuguhkan tarian ini adalah berbusana serba poleng hitam putih, penari tidak memakai baju.

Para penari ini tidak belajar secara khusus, hanya melihat secara langsung para seniornya. Sebelum gambelan dibunyikan, para penari sudah siap dengan busana yang lengkap menunggu di jaba pisan. Begitu gambelan dibunyikan, salah seorang penari masuk melalui candi bentar menuju jaba tengah pura sambil menari.

Kemudian disusul oleh penari lainnya masuk, satu persatu dari jaba pisan menuju jaba tengah pura. Di jaba tengah pura para penari menunjukkan kemanapun mereka menari masing-masing. Setelah lengkap enam orang, baru lah gerakan penari seragam.

Pada saat menari di jaba tengah di utama mandala pura sudah disiapkan tarian pamendak menghadap ke penari Baris Cang Long Leng. “Penari pamendak ini mulai dari yang membawa segehan, toya anyar, kelungah, tuak, arak, dan berem, serta dilengkapi dengan api takepan yang dibuat dengan sambuk (kulit serabut buah kelapa sebagai pemisah). Para penari bergerak dengan mantap dengan gerakan tarian menyuguhkan apa yang mereka bawa,” beber bendesa yang juga ASN di Pemkab Karangasem ini.

Baca Juga :  Upacara Ngeratep Pelawatan di Pura Maspait, Sanur (Bagian-1)

Lanjut Suarya, gerakan Tari Baris Cang Long Leng pada saat menerima pamendak adalah kaki kanan berada di depan dan kaki kiri berada di belakang. Kemudian tangan kanan memegang tamiang yang diletakkan di depan dada. Sedangkan tangan kiri diayun ke belakang, posisi badan agak dibungkukkan, kemudian kaki dihentakan sebanyak tiga kali, lalu dilanjutkan dengan bersorak iiiiiiiih..uuuuuuuh.

Sorakan itu mengandung makna tertentu. sorakan ‘Iiih’ berarti memanggil Sang Bhuta Kala untuk menerima suguhan yang disajikan seperti segehan, toya anyar, klungah, tuak, arak, dan berem.

Kemudian sorakan ‘Uuuuh’ berarti meminta ke hadapan Sang Bhuta Kala segera meninggalkan tempat itu, setelah menerima suguhan dan tidak mengganggu jalannya upacara. Setelah para penari pamendak selesai menyuguhkan upakara pamendak keenam penari menuju jeroan pura untuk melanjutkan tariannya.

Penari menari dengan memutar tamiang, menghadap ke utara tiga kali pukulan gong dan menghadap ke selatan tiga kali pukulan gong. Setelah menghadap ke utara, penari berjongkok menghunus keris, selanjutnya mereka menari seperti keadaan sedang berperang.

Menari dengan menggunakan keris yang diputar-putar menghadap ke utara tiga kali pukulan gong dan menghadap ke selatan tiga kali pukulan gong, disertai juga dengan sorakan ‘iiiiiiiiih…….. uuuuuuuh’.

Setelah itu, para penari menyarungkan kembali kerisnya. Fase yang terakhir penari kembali dengan gerakan yang pertama dengan gerakan kaki diangkat bergantian. Demikian juga tangannya.

Bila kaki kanan yang diangkat, tangan kanan yang memegang tamiang diayun ke depan dan diangkat ke atas, tangan kiri diayunkan ke belakang. Selanjutnya bila kaki kiri yang diangkat, tangan kiri diayun ke depan atas sedangkan tangan kanan yang memegang tamiang ditekuk sehingga tamiang tepat berada di depan dada kiri penari.

“Tarian berakhir setelah semua penari bersorak iiiiiiiiih……. uuuuuh sebagai penutup tarian,” sebut pria yang juga bendesa madya Majelis Desa Adat (MDA) Karangasem ini. (bersambung)

 






Reporter: I Putu Mardika

Most Read

Artikel Terbaru