KUBUTAMBAHAN, BALI EXPRESS-Desa Adat Tamblang, Kecamatan Kubutambahan memiliki tradisi Ngiloang Capah (pajegan tinggi) yang dilaksanakan setiap sehari setelah Purnama Sasih Kedasa. Tradisi yang tersurat dalam awig-awig desa ini sudah dilaksanakan secara turun-temurun.
Kelian Adat Desa Tamblang, Jro Nyarikan Nyoman Anggarisa, 50 kepada Bali Express (Jawa Pos Group) mengatakan tradisi Ngiloang Capah ini dilaksanakan di Pura Desa Tamblang. Pelaksanannya persis seusai tegak odalan di Pura Dalem yang dilaksanakan pada Purnama Kedasa
Sehingga ritual ngiloang Capah di Pura Desa dilaksanakan pada sehari setelah Purnama Kedasa. “Capah itu adalah pajegan, tetapi ukurannya tinggi, sekitar 1 meter, yang beralaskan dulang,” ujar Nyarikan Anggarisa, Senin (23/8) siang.
Ngiloang Capah ini merupakan tradisi yang bertujuan untuk napetin Tirta yang diperoleh dari Pura Ulun Danu Batur. Tirta tersebut kemudian dibawak ke Tamblang dan disambut dengan ritual meayu-ayu.
Dikatakan Anggarisa, banten Capah terdiri dari sarana berupa buah-buahan, jajan, daging ayam hingga telor. Selain itu, ada juga sarana berupa satu ekor babi guling yang dihaturkan di Pura Desa Tamblang.
Setiap ritual Ngiloang Capah dilaksanakan, sedikitnya ada 16 buah banten capah yang dihaturkan. Namun, sejak tahun 2020 lalu, mengingat masih suasana pandemic Covid-19, hanya dilibatkan sekitar 4 capah, atau dua pasang saja.
Selain melibatkan krama Desa Tamblang, ritual juga melibatkan krama Subak Lanjahan Babakan. Krama Subak inilah yang bertugas ngiloang atau mengelilingi Pura Desa sebanyak tiga kali secara murwa daksina dengan menggunakan banten Capah.
Menurutnya, tradisi ini telah tersurat di dalam awig-awig Desa Adat Tamblang. “Secara filosofis, ngiloang capah ini bertujuan untuk memohon kemakmuran, agar diberikan hujan, sehingga krama subak bisa panen, karena tanamannya tumbuh subur,” paparnya.