DENPASAR, BALI EXPRESS— Tanpa sekat, tidak membeda-bedakan atau mengkotak-kotakkan agama terlihat saat perayaan Hari Raya Imlek di Griya Kongco Dwipayana Tanah Kilap, Denpasar beberapa waktu lalu.
Meski Imlek merupakan hari besar umat Konghucu, namun warga Bali yang beragama Hindu juga melakukan persembahyangan di tempat yang sama, meskipun cara memuja kebesaran Sang Pencipta berbeda-beda.
Pamangku di Griya Kongco Dwipayana Ida Bagus Adnyana mengatakan akulturasi budaya Bali dan Tionghoa dari dahulu memang melebur menjadi satu di salah satu Kongco terbesar di Indonesia ini.
Di dalam Kongco Dwipayana ini terdapat altar kolam 7 Dewi, gedung utama, Altar Dewa, Pagoda berisi patung Dewi Kwan Im Lengan Seribu.
Sedangkan bagian luar pagar bangunan bercorak merah emas ini dikelilingi patung singa penjaga Kongco, Gajah Maliki, Gajah Pali dan terdapat panglima perang di dalamnya, yakni Panglima Tio Kei dan Panglima Lau Im, gedong Panglima Emas Huang Cin Chua serta ornamen Naga di dalam Kongco yang memiliki makna kesejahteraan.
Yang membuat umat Hindu bersembahyang di lokasi ini adanya Padmasana Ratu Gede Pengenter Jagat Ratu Mas Rajeg Bumi yang menjadi simbol akulturasi Hindu. “Oleh karena adanya Palinggih Padmasana Ratu Gede Pengenter Jagat Ratu Mas Rajeg Bumi ini, umat Hindu Bali juga ikut bersembahyang di sini saat Imlek.
“Tak ada sekat, kedua warga beda agama sembahyang bersama-sama dengan cara masing-masing,” jelas pria yang akrab disapa Atu Mangku.
Sarana sembahyang umat Hindu disebutkannya sama seperti tempat-tempat suci lainnya berupa banten pajati, canang, kwangen, bunga, dan juga dupa. Seusai bersembahyang, umat akan diperciki tirta sebagaimana sembahayang biasanya.
“Hanya yang membedakan tempatnya. Tapi tujuan kedua umat bersembahyang di sini sama, yakni untuk meminta kesejahteraan, kebijaksanaan, serta keselamatan dan menjadi pribadi yang lebih baik,” tuturnya. Saat Imlek juga rutin digelar kesenian antarbudaya seperti Barongsai serta kesenian Bali di kongco itu.