BULELENG, BALI EXPRESS – Suasana ramai terlihat di areal wantilan Banjar Paketan, Desa Adat Buleleng, Kamis (23/3) sore sekitar pukul 16.00 Wita. Ratusan krama tumpah ruah menyaksikan parade Ngoncang yang dilaksanakan bertepatan dengan Ngembak Geni atau sehari setelah Nyepi.
Pantauan Bali Express (Jawa Pos Group), ratusan krama menonton sembilan sekaa yang ikut ambil bagian dalam parade Ngoncang. Uniknya, Ngoncang yang identik dengan kaum perempuan ini, justru peserta kali ini diikuti oleh kaum laki-laki. Mereka menggunakan pakaian yang menarik agar semakin semarak.
Suara lesung berbahan kayu sepanjang 3 meter yang ditumbuk dengan lu (antan) bertalu-talu, begitu acara parade dimulai. Sorak-sorai penonton memberikan semangat kepada para peserta untuk lebih kompak dalam beratraksi menumbuk.

Setiap sekaa diperkuat oleh 8-10 orang. Bahkan, ada satu orang yang bertugas sebagai pemandu agar suara yang dikeluarkan menjadi bersahutan. Para penonton begitu menikmati alunan lesung yang ditumbuk tersebut.
Sekretaris Desa Adat Buleleng Putu Mahendra menjelaskan, tradisi Ngoncang memang sudah diwariskan sejak ratusan tahun silam oleh para pendahulunya. Tradisi ini memang tidak jauh dengan ritual agraris sebagai wujud syukur atas panen yang berlimpah.
Dikatakan Mahendra, tradisi ini dilakukan serangkaian Ngembak Geni. Parade ini diinisiasi oleh Sekaa Teruna Banjar Paketan. Ia menyebut tradisi ini dibangkitkan kembali di tengah ancaman kepunahannya. “Ini adalah budaya yang sangat lama dan sudah hampir punah. Terbukti, biasanya saat Ngoncang dahulu di Banjar Paketan kalau ada bulan kepangan (gerhana bulan), secara serempak Ngoncang, semua membunyikan kentungan. Begitu juga ada upacara Ngaben,” ungkapnya.
Dikatakan Mahendra, kebiasaan Ngoncang di Banjar Paket Agung diyakini sudah ada sejak 1876 silam. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan perangkat lesung padi yang jumlahnya belasan di rumah-rumah warga Banjar Paketan dengan usia yang sudah ratusan tahun.
Kondisinya pun beragam. Ada yang masih baik, maupun sudah rusak. Ia menyebut, lesung-lesung inilah yang digunakan masyarakat untuk Ngoncang sebagai ungkapan syukur sekaligus hiburan setelah masa panen padi berlimpah.
Tidak heran kala itu, warga menyimpan ketungan dan lu dari kayu lokal Bali. “Tradisi Ngoncang pada zaman dahulu juga dipercaya sebagai upaya menolak bala pada saat terjadi gerhana. Tradisi Ngoncang juga saat upacara Dewa Yadnya dan Manusa Yadnya. Tujuannya sebagai sarana komunikasi dengan roh-roh leluhur,” paparnya.
Mahendra berharap tradisi ini juga terus dilaksanakan, sehingga pelestarian tradisi terus bisa dilakukan. Begitu juga para sekaa Ngoncang mendapatkan pembinaan dari budayawan. Sehingga nanti budaya Ngoncang bisa tumbuh berkembang seperti dahulu.
“Kalau bisa tidak hanya di Banjar Paketan saja. Tetapi juga diperluas ke desa-desa di Buleleng. Karena ini adalah tradisi agraris yang memiliki fungsi secara sekala dan niskala. Selain sebagai hiburan, juga untuk menolak bala,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Sekaa Teruna Hita Mandala, Banjar Paketan I Gede Arya Septiawan menyebut tradisi ngoncang yang dilaksanakan setiap tahun memang sempat vakum akibat pandemi Covid-19.
Menurutnya, parade Ngoncang bertujuan untuk melestarikan adat seni dan budaya sesuai dengan visi misi pasikian yowana Majelis Desa Adat (MDA), yaitu nangun ajeg adat, seni lan budaya.
“Peserta ngoncang ini tahun sebelumnya biasanya 8 peserta. Namun tahun ini diikuti oleh 9 peserta. Karena diikuti oleh RT di Banjar Paketan. Dan kami berkolaborasi antara desa adat dan dinas. Antara banjar adat dan Banjar Paketan bersama kelurahan Paket Agung,” ungkapnya.
Dikatakan Arya, regenerasi sudah mulai dilaksanakan oleh teruna-teruni. Hal itu juga membuatnya kian optimis, jika tradisi Ngoncang di Banjar Paketan ini bisa dilaksanakan secara konsisten. “Kami akan rutin untuk menggelar tradisi ini, sebagai bentuk tanggung jawab moral melestarikan seni dan budaya Banjar Paketan,” paparnya.