Sejarah asal mula adanya tradisi Mabubu tidak diketahui oleh masyarakat Gelogo sampai saat ini, tetapi masyarakat tetap melaksanakannya, sehingga lestari sampai sekarang karena keyakinan masyarakat, jika tradisi ini tidak dilakukan akan terjadi malapetaka atau gerubug (dilanda penyakit).
KLUNGKUNG, BALI EXPRESS -Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu di Desa Adat Gelogor, Kecamatan Dawan, Klungkung, membersihkan desa dengan cara menjalankan tradisi Mabubu menggunakan sarana danyuh (daun kelapa kering) yang dibakar.
Mabubu diambil dari kata bubu yang ditambah awalan ma. Bubu pada tradisi Mabubu ini adalah sarana utama tradisi ini yang terbuat dari danyuh yang diikat menjadi satu dengan ukuran yang beraneka ragam.
Bubu inilah yang kemudian disimbolkan sebagai tempat bersemayamnya energi negatif. Sehingga pada Pangrupukan atau sehari sebelum Nyepi, bubu ini diarak ke setra (kuburan) desa dan dibakar sebagai simbol pembersihan.
Prajuru Adat Gelogor I Wayan Carita menjelaskan, tradisi Mabubu ini memiliki sedikit kemiripan dengan pengarakan ogoh-ogoh. Hanya saja pada tradisi ini yang diarak adalah kumpulan daun kelapa kering yang diikat menjadi satu dan dibakar di kuburan. Tradisi Mabubu diyakini sebagai momentum pembersihan desa sebelum tahun baru caka. Ritual ini sudah diwarisi secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Adat Gelogor.
Mabubu dilakukan dengan cara mengarak danyuh yang dibentuk seperti tabung dari ujung desa ke kuburan desa. Kemudian prosesi diakhiri dengan perebutan kepala sapi.
“Sejarah asal mula adanya tradisi ini tidak diketahui oleh masyarakat setempat sampai saat ini, tetapi masyarakat tetap melaksanakan tradisi Mabubu, sehingga masih tetap lestari sampai sekarang karena keyakinan masyarakat, jika tradisi ini tidak dilakukan akan terjadi malapetaka atau gerubug (dilanda penyakit),” katanya.
Tradisi ini dilakukan dengan berbagai rangkaian. Diantaranya pembuatan bubu, memotong yang selanjutnya diletakkan di asagan (meja tinggi yang terbuat dari bambu), persembahyangan.
Selanjutnya dilakukan pengarakan bubu, pembakaran bubu, dan berebut daging sapi.
“Tradisi Mabubu mempunyai kemiripan dengan pengarakan ogoh-ogoh, hanya saja di Desa Gelogor tidak menggunakan ogoh-ogoh, tetapi menggunakan bubu sambil diiringi gambelan baleganjur,” ungkapnya.
Selain itu, tradisi Mabubu memiliki kemiripan dengan Tari Sang Hyang Jaran. Karena setelah pengarakan, bubu dijadikan satu dan dibakar, masyarakat merebut potongan sapi di tengah api besar dengan menerobos api dan mengorek-oreknya dengan pisau untuk mengambil kepala sapi.
Ia menjelaskan, sarana bubu ini dibuat oleh sekelompok pemuda desa. Kelompok-kelompok ini berdiri berdasarkan keinginan para pemuda. Tak bisa dipungkiri, ada banyak bubu yang akan diarak. Bahkan, jumlahnya pun belum dapat dipastikan.
Jika dilihat, sarana bubu ini tidaklah sulit untuk dibuat. Pertama-tama siapkan bahan-bahan yang akan yang diperlukan, yaitu danyuh dengan tetap berisi tangkainya kira-kira panjang 1 meter, bambu yang ukurannya disesuaikan dengan keinginan, tali pengikat yang terbuat dari bambu.
Tempelkan dayuh beserta tangkainya satu per satu pada bambu dan ikat dengan tali. Tempelan danyuh tersebut dibentuk seperti tabung, tetapi mengerucut di kedua ujungnya. Banyak danyuh yang ditempelkan disesuaikan dengan keinginan pembuatnya “Terakhir, tempelan danyuh ini diikat kembali di setiap permukaannya agar danyuh rapi tidak ada yang keluar,” sebut Carita.