26.5 C
Denpasar
Thursday, June 1, 2023

Pura Dalem Kedewatan Dijaga Barong Rentet dan Ular Gaib

TABANAN, BALI EXPRESS – Pura Dalem Kedewatan yang berada di wilayah Desa Sembung Gede, Kerambitan, Tabanan  ini, terbilang unik, karena tampilannya beda. Pura kuno ini berdiri kokoh di atas batu besar, diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun silam.  

Ketua Pengempon Pura Dalem Kedewatan, Nyoman Atmaja, 66, mengaku  sama sekali tidak memiliki catatan sejarah atau bukti fisiknya dari muasal keberadaan pura. Dewa Nyoman Atmaja mengatakan, hanya diceritakan secara turun temurun oleh leluhurnya.

Pangempon pura yang rumahnya justru berada di luar wilayah Desa Sembung Gede ini, yakni di Desa Samsam, Kerambitan ini, membeberkan, hingga kini pura diempon 14 KK warga di lingkungan Desa Samsam. “Bukti fisik seperti lontar tidak ada sama sekali. Hanya cerita saja. Yang saya dengar itu, dahulunya batu yang menjadi pondasi palinggih katanya bersinar. Bahkan, sinarnya bisa dilihat dari Sanur, Denpasar,” terang Dewa Nyoman Atmaja kepada bali Express (Jawa Pos Group) pekan kemarin. 

Namun, sempat pada tahun 2005, pihak keluarga Dewa Nyoman Atmaja mengajak Jro Dasaran (tokoh spiritual) ke pura dengan tujuan nunas baos (mohon petunjuk niskala). Hal ini dilakukan supaya mengetahui bagaimana keberadaan Pura Dalem Kedewatan ini sebenarnya.

Jro Dasaran yang disebutkan berasal dari Desa Kalanganyar, Tabanan, langsung karauhan (trance) begitu memasuki areal pura. Lalu kemudian duduk di tangga menuju areal jeroan. Dalam karauhan itu, diceritakan awalnya yang mangempon (mengurus) pura ini ternyata putung alias tidak memiliki keturunan. Sehingga, tidak ada keluarga yang akhirnya menjadi penerus untuk mengempon pura.

“Kebetulan juga tegalan yang menjadi areal pura ini, milik keluarga. Jadi beliau (yang merasuki Jro Dasaran) mengaku sangat berterima kasih karena sudah melanjutkan mengurus pura ini,” papar Dewa Nyoman Atmaja.

Baca Juga :  Patung “Bersetubuh” Simbol Menyatunya Siwa dengan Durga

Keunikan pura yang piodalannya jatuh pada Soma Sinta atau Soma Ribek ini memang sangat terlihat, selain lingkungan masih asri dan menyatu dengan alam. Bahkan, panyengker pura tidak dibatasi oleh tembok, melainkan hanya dari pagar alam yang terdiri dari pepohonan.

Di atas batu besar tersebut berdiri enam buah palinggih. Palinggih utama disebutkan merupakan stana dari Ratu Biang Sakti Dalem Kedewatan. Kemudian ada Palinggih Dayu Mas Manik Meketel, Pasimpangan Pura Tamba Waras, Pasimpangan Pura Batukaru, Pasimpangan Pura Tanah Lot, Piasan Agung, dan yang terunik adalah Padmasana yang atapnya dari batu besar yang merupakan linggih dari Ratu Ngurah Batu Agung. Dan, di bawah pohon Beringin di pojok timur-utara terdapat sebuah Palinggih Pasimpangan Ratu Patih.

Diceritakan Dewa Nyoman Atmaja, sudah banyak kejadian gaib dan tak masuk akal lainnya yang berhubungan dengan pura ini, salah satunya adalah duwe atau penjaga gaib. Meskipun Dewa Nyoman Atmaja tidak pernah mengalami secara langsung, namun ia pernah mendengar pengakuan warga yang sedang berada atau pulang setelah dari pura.

Dipaparkannya, beberapa tahun yang lalu, ada pemangku dari Banjar Kukuh (desa tetangga di sebelah selatan) sedang mengecek air sawah pada malam hari. Kebetulan jro mangku tersebut sebagai petani juga. Lokasi sawahnya berada di barat pura.

“Setelah mengecek air, jro mangku beristirahat di dekat pura. Alangkah kagetnya ketika dia mendengar suara lonceng di areal pura. Saat itu langsung disenter dan dilihat Barong Rentet yang merupakan duwe di pura sedang masolah (menari) di penataran pura. Esok harinya, kejadian itu diceritakan langsung kepada saya,” tutur pensiunan kepala sekolah ini.

Cerita mistis lainnya, yakni keberadaan duwe ular pendek, namun berbadan besar yang kerap menampakkan diri saat hari-hari tertentu. Pernah suatu ketika, saat sedang musim tanam padi, warga yang memiliki sawah melihat ular duwe tersebut di pematang sawah. “Kejadian itu merupakan pertanda baik. Artinya, jika duwe tersebut menampakkan diri di sawah, hasil padi pasti melimpah. Setelah panen, biasanya warga menghaturkan terima kasih di pura,” jelasnya.

Baca Juga :  Lontar Purwa Bumi Kemulan ungkap Cara Merawat Pertiwi

Selain kemistisannya, Pura Dalem Kedewatan dahulunya juga sering dipakai oleh orang-orang tertentu untuk melakukan meditasi. “Kalau sekarang sudah jarang. Karena di sekitar areal pura sudah dibangun perumahan. Kalau dahulu masih alami, masih di tengah hutan,” papar Dewa Nyoman Atmaja. 

Di salah satu sudut pura (pojok barat), terdapat sebuah palinggih yang merupakan stana dari Ida Ratu Betara Ganang Panca Ibu, dan di belakangnya tumbuh pohon yang dinamai Kayu Kesina. Pohon ini dipercaya manjur sebagai obat untuk orang yang sakit lemet (badan lemas). Caranya, kulit kayu Kesina tersebut dijadikan boreh (lulur) dan dioleskan ke badan yang sakit.

“Sebelum mengambilnya harus minta izin dulu. Karena dahulu pernah ada orang tidak izin mengambil pohon Beringin di areal pura untuk dijadikan bonsai. Beberapa hari setelahnya langsung sakit dan tidak kunjung sembuh. Setelah ditanya, ternyata karena mengambil bonsai itu di pura,” sebut mantan Sabha Kerta Desa Adat Samsam ini.

Dikatakannya, pihak pangempon sebenarnya berencana untuk merenovasi pura, terutama soal panyengker. Hanya saja masih terkendala soal dana. Jika diusulkan kepada dinas terkait, kendalanya juga ada, yakni fakta sejarah pura yang masih abu-abu, karena catatan sejarah atau bukti fisiknya tidak diketahui. “Dahulu palinggihnya hanya batu yang ditumpuk-tumpuk saja (bebaturan). Terakhir kali palinggih diganti itu tahun 60 an,” tandas Dewa Nyoman Atmaja.


TABANAN, BALI EXPRESS – Pura Dalem Kedewatan yang berada di wilayah Desa Sembung Gede, Kerambitan, Tabanan  ini, terbilang unik, karena tampilannya beda. Pura kuno ini berdiri kokoh di atas batu besar, diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun silam.  

Ketua Pengempon Pura Dalem Kedewatan, Nyoman Atmaja, 66, mengaku  sama sekali tidak memiliki catatan sejarah atau bukti fisiknya dari muasal keberadaan pura. Dewa Nyoman Atmaja mengatakan, hanya diceritakan secara turun temurun oleh leluhurnya.

Pangempon pura yang rumahnya justru berada di luar wilayah Desa Sembung Gede ini, yakni di Desa Samsam, Kerambitan ini, membeberkan, hingga kini pura diempon 14 KK warga di lingkungan Desa Samsam. “Bukti fisik seperti lontar tidak ada sama sekali. Hanya cerita saja. Yang saya dengar itu, dahulunya batu yang menjadi pondasi palinggih katanya bersinar. Bahkan, sinarnya bisa dilihat dari Sanur, Denpasar,” terang Dewa Nyoman Atmaja kepada bali Express (Jawa Pos Group) pekan kemarin. 

Namun, sempat pada tahun 2005, pihak keluarga Dewa Nyoman Atmaja mengajak Jro Dasaran (tokoh spiritual) ke pura dengan tujuan nunas baos (mohon petunjuk niskala). Hal ini dilakukan supaya mengetahui bagaimana keberadaan Pura Dalem Kedewatan ini sebenarnya.

Jro Dasaran yang disebutkan berasal dari Desa Kalanganyar, Tabanan, langsung karauhan (trance) begitu memasuki areal pura. Lalu kemudian duduk di tangga menuju areal jeroan. Dalam karauhan itu, diceritakan awalnya yang mangempon (mengurus) pura ini ternyata putung alias tidak memiliki keturunan. Sehingga, tidak ada keluarga yang akhirnya menjadi penerus untuk mengempon pura.

“Kebetulan juga tegalan yang menjadi areal pura ini, milik keluarga. Jadi beliau (yang merasuki Jro Dasaran) mengaku sangat berterima kasih karena sudah melanjutkan mengurus pura ini,” papar Dewa Nyoman Atmaja.

Baca Juga :  Siswa Putus Sekolah Masih Bayangi Profil Pendidikan Tabanan

Keunikan pura yang piodalannya jatuh pada Soma Sinta atau Soma Ribek ini memang sangat terlihat, selain lingkungan masih asri dan menyatu dengan alam. Bahkan, panyengker pura tidak dibatasi oleh tembok, melainkan hanya dari pagar alam yang terdiri dari pepohonan.

Di atas batu besar tersebut berdiri enam buah palinggih. Palinggih utama disebutkan merupakan stana dari Ratu Biang Sakti Dalem Kedewatan. Kemudian ada Palinggih Dayu Mas Manik Meketel, Pasimpangan Pura Tamba Waras, Pasimpangan Pura Batukaru, Pasimpangan Pura Tanah Lot, Piasan Agung, dan yang terunik adalah Padmasana yang atapnya dari batu besar yang merupakan linggih dari Ratu Ngurah Batu Agung. Dan, di bawah pohon Beringin di pojok timur-utara terdapat sebuah Palinggih Pasimpangan Ratu Patih.

Diceritakan Dewa Nyoman Atmaja, sudah banyak kejadian gaib dan tak masuk akal lainnya yang berhubungan dengan pura ini, salah satunya adalah duwe atau penjaga gaib. Meskipun Dewa Nyoman Atmaja tidak pernah mengalami secara langsung, namun ia pernah mendengar pengakuan warga yang sedang berada atau pulang setelah dari pura.

Dipaparkannya, beberapa tahun yang lalu, ada pemangku dari Banjar Kukuh (desa tetangga di sebelah selatan) sedang mengecek air sawah pada malam hari. Kebetulan jro mangku tersebut sebagai petani juga. Lokasi sawahnya berada di barat pura.

“Setelah mengecek air, jro mangku beristirahat di dekat pura. Alangkah kagetnya ketika dia mendengar suara lonceng di areal pura. Saat itu langsung disenter dan dilihat Barong Rentet yang merupakan duwe di pura sedang masolah (menari) di penataran pura. Esok harinya, kejadian itu diceritakan langsung kepada saya,” tutur pensiunan kepala sekolah ini.

Cerita mistis lainnya, yakni keberadaan duwe ular pendek, namun berbadan besar yang kerap menampakkan diri saat hari-hari tertentu. Pernah suatu ketika, saat sedang musim tanam padi, warga yang memiliki sawah melihat ular duwe tersebut di pematang sawah. “Kejadian itu merupakan pertanda baik. Artinya, jika duwe tersebut menampakkan diri di sawah, hasil padi pasti melimpah. Setelah panen, biasanya warga menghaturkan terima kasih di pura,” jelasnya.

Baca Juga :  Menepis Mitos, Mengurai Makna Banten Saraswati

Selain kemistisannya, Pura Dalem Kedewatan dahulunya juga sering dipakai oleh orang-orang tertentu untuk melakukan meditasi. “Kalau sekarang sudah jarang. Karena di sekitar areal pura sudah dibangun perumahan. Kalau dahulu masih alami, masih di tengah hutan,” papar Dewa Nyoman Atmaja. 

Di salah satu sudut pura (pojok barat), terdapat sebuah palinggih yang merupakan stana dari Ida Ratu Betara Ganang Panca Ibu, dan di belakangnya tumbuh pohon yang dinamai Kayu Kesina. Pohon ini dipercaya manjur sebagai obat untuk orang yang sakit lemet (badan lemas). Caranya, kulit kayu Kesina tersebut dijadikan boreh (lulur) dan dioleskan ke badan yang sakit.

“Sebelum mengambilnya harus minta izin dulu. Karena dahulu pernah ada orang tidak izin mengambil pohon Beringin di areal pura untuk dijadikan bonsai. Beberapa hari setelahnya langsung sakit dan tidak kunjung sembuh. Setelah ditanya, ternyata karena mengambil bonsai itu di pura,” sebut mantan Sabha Kerta Desa Adat Samsam ini.

Dikatakannya, pihak pangempon sebenarnya berencana untuk merenovasi pura, terutama soal panyengker. Hanya saja masih terkendala soal dana. Jika diusulkan kepada dinas terkait, kendalanya juga ada, yakni fakta sejarah pura yang masih abu-abu, karena catatan sejarah atau bukti fisiknya tidak diketahui. “Dahulu palinggihnya hanya batu yang ditumpuk-tumpuk saja (bebaturan). Terakhir kali palinggih diganti itu tahun 60 an,” tandas Dewa Nyoman Atmaja.


Most Read

Artikel Terbaru