26.5 C
Denpasar
Thursday, June 1, 2023

Ditulis oleh Sulinggih, Simbol Kelepasan

Setiap upacara Pitra Yadnya seperti ngaben atau sawa prateka/atiwa-tiwa bagi umat Hindu khususnya di Bali sangat erat kaitannya dengan penggunaan sarana berupa Kajang. Sarana yang terbuat dari kain dan dirajah dengan aksara sakral ini memiliki nilai-nilai magis sebagai simbol kalepasan.

Kajang berasal dari bahasa kawi yang artinya penutup, atau kerudung. Kajang ini terbuat dari selembar kain putih dengan panjang kurang lebih satu setengah meter. Dalam lembaran kain tersebut ditulisi dengan gambar-gambar tertentu dan aksara-aksara modre.

Ida Rsi  Bhujangga Waisnawa Wiweka Natha dari Geriya Taman Taru Pinge, Desa Baktiseraga, Kecamatan/Kabupaten Buleleng menjelaskan kajang secara filosofis adalah simbol wahana atman menuju Brahman untuk menyatu dengan-Nya.

“Bisa dimaknai bahwa kajang itu adalah simbol dari badan jasmani manusia serta simbol pengganti lapisan-lapisan yang membungkus atman,” ungkapnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group) belum lama ini.

Baca Juga :  Karya Ida Bhatara Turun Kabeh di Besakih Nyejer 21 Hari

Dikatakan Ida Rsi, kajang dengan aksara suci yang ada di dalamnya diyakini mengandung kekuatan gaib. Sehingga sarana ini akan membantu perjalanan atman yang dibuatkan upacara ngaben untuk mencapai alam Dewata.

Aksara dalam kajang menurutnya bukanlah aksara sembarangan yang sekadar ditulis. Ada banyak Aksara Modre yang digunakan termasuk Aksara Rwa Bhineda yang sarat akan makna. Apapun jenis kajangnya, Aksara Rwa Bhineda ini selalu ada, dan letaknya harus benar-benar diperhatikan.

“Aksara Rwa Bhineda merupakan benih aksara yang digunakan bagi mereka para pertapa sadhu untuk melepas Sang Atman dan manunggal dengan Sanghyang Paratmasiwa,” ujarnya.

Aksara Rwabhineda atau Dwiaksara merupakan perasan aksara dari Dasaksara atu sepuluh aksara. Yakni Sang, Bang, Tang, Aang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang dan Yang. Kesepuluh aksara diperas menjadi Pancaksara, yakni Sang, Bang, Tang, Ang, Ing yang disebut dengan Panca Brahma.

Baca Juga :  Di Petulu Gunung, Anak-anak Antri Jadi Watangan Matah dalam Calonarang

Kemudian Pancaksara diperas lagi menjadi Triaksara, yakni Ang, Ung dan Mang. Kemudian Triaksara diperas menjadi Dwiaksara, yakni Ang dan Ah yang disebut aksara Rwabhineda. Aksara Rwabhineda, yakni Ang dan Ah selalu ditulis dalam Kajang sebagai simbolisasi kelepasan atau pembebasan sang roh dari belenggu Panca Mahabhuta dan semua kosa (lapisan badan) yang selama sebagai sarung sang roh.

“Kajang akan menjadi berfungsi mistik, magis dan religius jika sesana nyurat dan jnana yang menyurat terasah dengan baik,” paparnya. (bersambung)


Setiap upacara Pitra Yadnya seperti ngaben atau sawa prateka/atiwa-tiwa bagi umat Hindu khususnya di Bali sangat erat kaitannya dengan penggunaan sarana berupa Kajang. Sarana yang terbuat dari kain dan dirajah dengan aksara sakral ini memiliki nilai-nilai magis sebagai simbol kalepasan.

Kajang berasal dari bahasa kawi yang artinya penutup, atau kerudung. Kajang ini terbuat dari selembar kain putih dengan panjang kurang lebih satu setengah meter. Dalam lembaran kain tersebut ditulisi dengan gambar-gambar tertentu dan aksara-aksara modre.

Ida Rsi  Bhujangga Waisnawa Wiweka Natha dari Geriya Taman Taru Pinge, Desa Baktiseraga, Kecamatan/Kabupaten Buleleng menjelaskan kajang secara filosofis adalah simbol wahana atman menuju Brahman untuk menyatu dengan-Nya.

“Bisa dimaknai bahwa kajang itu adalah simbol dari badan jasmani manusia serta simbol pengganti lapisan-lapisan yang membungkus atman,” ungkapnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group) belum lama ini.

Baca Juga :  Pura Beji Purna, Berawal dari Kisah Petani yang Pencuri Kelapa

Dikatakan Ida Rsi, kajang dengan aksara suci yang ada di dalamnya diyakini mengandung kekuatan gaib. Sehingga sarana ini akan membantu perjalanan atman yang dibuatkan upacara ngaben untuk mencapai alam Dewata.

Aksara dalam kajang menurutnya bukanlah aksara sembarangan yang sekadar ditulis. Ada banyak Aksara Modre yang digunakan termasuk Aksara Rwa Bhineda yang sarat akan makna. Apapun jenis kajangnya, Aksara Rwa Bhineda ini selalu ada, dan letaknya harus benar-benar diperhatikan.

“Aksara Rwa Bhineda merupakan benih aksara yang digunakan bagi mereka para pertapa sadhu untuk melepas Sang Atman dan manunggal dengan Sanghyang Paratmasiwa,” ujarnya.

Aksara Rwabhineda atau Dwiaksara merupakan perasan aksara dari Dasaksara atu sepuluh aksara. Yakni Sang, Bang, Tang, Aang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang dan Yang. Kesepuluh aksara diperas menjadi Pancaksara, yakni Sang, Bang, Tang, Ang, Ing yang disebut dengan Panca Brahma.

Baca Juga :  Purnama Sasih Kadasa Inti Purnama, Beri Anugerah Air Suci Kehidupan

Kemudian Pancaksara diperas lagi menjadi Triaksara, yakni Ang, Ung dan Mang. Kemudian Triaksara diperas menjadi Dwiaksara, yakni Ang dan Ah yang disebut aksara Rwabhineda. Aksara Rwabhineda, yakni Ang dan Ah selalu ditulis dalam Kajang sebagai simbolisasi kelepasan atau pembebasan sang roh dari belenggu Panca Mahabhuta dan semua kosa (lapisan badan) yang selama sebagai sarung sang roh.

“Kajang akan menjadi berfungsi mistik, magis dan religius jika sesana nyurat dan jnana yang menyurat terasah dengan baik,” paparnya. (bersambung)


Most Read

Artikel Terbaru