29.8 C
Denpasar
Thursday, June 8, 2023

Upacara Manusa Yadnya Nanggapang di Pedawa Bisa Dilaksanakan hingga 9 Kali

BANJAR, BALI EXPRESS – Pelaksanaan upacara manusa yadnya di Desa Adat Pedawa dilaksanakan berdasarkan Kuna Dresta dan Desa Dresta. Namun tidak juga mengesampingkan dresta-dresta lainnya. Hal ini menyebabkan pelaksanaan upacara manusa Yadnya di Desa Adat Pedawa berbeda dengan beberapa wilayah di Bali.

Salah satunya adalah pelaksanaan upacara Nanggapang. Ritual ini dapat dilaksanakan beberapa kali oleh setiap orang di Desa Adat Pedawa, tergantung kemampuan secara ekonomi dan juga memperhatikan usia.

Balian Desa Pedawa, Pan Karpani (Nyoman Kalam), 66, menyebut upacara manusa yadnya dilaksanakan secara bertahap. Mulai dari bayi dalam kandungan hingga menginjak dewasa. Upacara Siklus kehidupan ini menjadi wajib dilaksanakan secara turun temurun.

Mulai dari Kayeh di Cangkupe (melukat saat hamil), Kepus punsed, Nampi, Nanggapang, Nyambutin, Nyerimpen, Mesangih hingga upacara Nganten.

Hanya saja, yang menarik dalam pelaksanaan upacara nanggapang ini bisa dilakukan berkali-kali oleh masyarakat di Pedawa.

Pan Karpani menyebut upacara Nanggap artinya nerima, ngupah. “Jadi kata nanggapang artinya menerima dan membayar atau ngupahin yang numadi (ingkarnasi) dengan berbagai bentuk penyucian sampai sembilan kali, ada juga beberapa masyarakat melakukan hanya 7 kali,” ujarnya.

Nanggapang pertama dilaksakan saat bayi berusia abulan pitung lemeng atau satu bulan tujuh hari. Sejenis ngaluang atau nyapatin di Bali dataran pada umumnya.  Upacara ini dilakukan dengan nunasang kepada orang pintar di Pedawa dan menanyakan tentang siapa yang menjelma atau reinkarnasi itu.

Baca Juga :  Halau Burung, Lumuri Lelakut dengan Tri Ketuka

“Ciri-ciri dari pelaksanaan nanggapang kapertama ini adalah menggunakan tempat tirta dari beruk dan menggunakan pengetisan dengan tiga pucuk pohon yaitu pucuk dap-dap tis, pucuk tabah dan menireng. Banten yang digunakan pada prosesi ini yaitu banten penanggapan,” paparnya.

Nanggapang kedua dilaksanakan saat bayi berusia Tiga Bulan. Saat prosesi ini banten yang digunakan adalah banten penanggapan hampir sama dengan banten nanggapang kapertama. Namun yang membedakan dengan prosesi upacara yang pertama yaitu pada saat upacara tiga bulanan. Pelaksanannya dimana tempat tirtanya berupa jun pirian dengan sarana pengetisan pitung pemujaan atau tujuh pucuk pohon yaitu kayu tulak, kayu sisih, andong bang, sudamala, lalang, bungan jepun, dadap tis

Nanggapang ketiga saat bayi berusia 6 Bulan. Bantennya sama dengan yang pertama namun tempat tirtanya yang berbeda yaitu dengan menggunakan payuk kedas dengan penirtan 7 pemujan yaitu kayu tulak, kayu sisih, andong bang, sudamala, lalang, bungan jepun, dadap tis.

Nanggapang keempat sudah dilakukan secara bebas sesuai kemampuan dalam menentukan harinya. Bantennya sama dengan nanggapang kapertama dengan tempat tirta menggunakan beruk, dengan penirtan lima pucuk tumbuhan yaitu  andong bang, sudamala, lalang, bungan jepun, dadap tis.

Baca Juga :  Kamar Suci Wajib Ada Semayaan, Simbol Krama Desa Sambirenteng

Nanggapang kelima juga dilaksanakan sesuai kemampuan dalam menentukan harinya. Bantennya sama dengan nanggapang kapertama. Tetapi tempat tirtanya sudah menggunakan sangku dan penirtan lis sakti adapun lis sakti itu terdiri dari tangga menek, tanga tuwun, sumbah-sumbah, basang wayah, basang muda, tangkar, geligih, ati.

Nanggapang keenam pelaksanannya banten yang digunakan sama seperti nanggapang pertama. Dengan tempat tirta menggunakan sangku dan penirtan lis solas warna.

Nanggapang ketujuh menggunakan tempat penirtan menggunakan beruk gede dan penirtan putih kuning.

Nanggapang kedelapan menggunakan sarana dengan tempat tirta berupa cawen putra dan pengetisan bunga jempiring putih. Sedangkan Nanggapang kesembilan juga bantennya sama dengan tempat tirta berupa cawen putra dan pengetisan bunga jempiring putih.
Penggunaan bungan atau pucuk tumbuhan dan alat atau wadah tirta memiliki makna tersendiri. Beruk memiliki arti memohonkan kekuatan kehadapan Ida Bhatara Wisnu, Payuk tanah dan jun yang terbuat dari tanah merupakan sarana memohon kekuatan panca datu, mengingat tanah merupakan panca datu.

Sangku memohonkan kekuatan para dewa, dan sangka memohon kehadapan hyang suksma, sehingga sangka tidak memiliki gegambaran dalam pembuatannya. “Pelaksanaan Nanggapang ini tidak harus Sembilan kali, tetapi sesuai kemampuan,” tutupnya.






Reporter: I Putu Mardika

BANJAR, BALI EXPRESS – Pelaksanaan upacara manusa yadnya di Desa Adat Pedawa dilaksanakan berdasarkan Kuna Dresta dan Desa Dresta. Namun tidak juga mengesampingkan dresta-dresta lainnya. Hal ini menyebabkan pelaksanaan upacara manusa Yadnya di Desa Adat Pedawa berbeda dengan beberapa wilayah di Bali.

Salah satunya adalah pelaksanaan upacara Nanggapang. Ritual ini dapat dilaksanakan beberapa kali oleh setiap orang di Desa Adat Pedawa, tergantung kemampuan secara ekonomi dan juga memperhatikan usia.

Balian Desa Pedawa, Pan Karpani (Nyoman Kalam), 66, menyebut upacara manusa yadnya dilaksanakan secara bertahap. Mulai dari bayi dalam kandungan hingga menginjak dewasa. Upacara Siklus kehidupan ini menjadi wajib dilaksanakan secara turun temurun.

Mulai dari Kayeh di Cangkupe (melukat saat hamil), Kepus punsed, Nampi, Nanggapang, Nyambutin, Nyerimpen, Mesangih hingga upacara Nganten.

Hanya saja, yang menarik dalam pelaksanaan upacara nanggapang ini bisa dilakukan berkali-kali oleh masyarakat di Pedawa.

Pan Karpani menyebut upacara Nanggap artinya nerima, ngupah. “Jadi kata nanggapang artinya menerima dan membayar atau ngupahin yang numadi (ingkarnasi) dengan berbagai bentuk penyucian sampai sembilan kali, ada juga beberapa masyarakat melakukan hanya 7 kali,” ujarnya.

Nanggapang pertama dilaksakan saat bayi berusia abulan pitung lemeng atau satu bulan tujuh hari. Sejenis ngaluang atau nyapatin di Bali dataran pada umumnya.  Upacara ini dilakukan dengan nunasang kepada orang pintar di Pedawa dan menanyakan tentang siapa yang menjelma atau reinkarnasi itu.

Baca Juga :  Palinggih Ratu Bagus Sundawan Berkaitan dengan Umat Kristen

“Ciri-ciri dari pelaksanaan nanggapang kapertama ini adalah menggunakan tempat tirta dari beruk dan menggunakan pengetisan dengan tiga pucuk pohon yaitu pucuk dap-dap tis, pucuk tabah dan menireng. Banten yang digunakan pada prosesi ini yaitu banten penanggapan,” paparnya.

Nanggapang kedua dilaksanakan saat bayi berusia Tiga Bulan. Saat prosesi ini banten yang digunakan adalah banten penanggapan hampir sama dengan banten nanggapang kapertama. Namun yang membedakan dengan prosesi upacara yang pertama yaitu pada saat upacara tiga bulanan. Pelaksanannya dimana tempat tirtanya berupa jun pirian dengan sarana pengetisan pitung pemujaan atau tujuh pucuk pohon yaitu kayu tulak, kayu sisih, andong bang, sudamala, lalang, bungan jepun, dadap tis

Nanggapang ketiga saat bayi berusia 6 Bulan. Bantennya sama dengan yang pertama namun tempat tirtanya yang berbeda yaitu dengan menggunakan payuk kedas dengan penirtan 7 pemujan yaitu kayu tulak, kayu sisih, andong bang, sudamala, lalang, bungan jepun, dadap tis.

Nanggapang keempat sudah dilakukan secara bebas sesuai kemampuan dalam menentukan harinya. Bantennya sama dengan nanggapang kapertama dengan tempat tirta menggunakan beruk, dengan penirtan lima pucuk tumbuhan yaitu  andong bang, sudamala, lalang, bungan jepun, dadap tis.

Baca Juga :  Menguak Kisah Ngambil Rabi Pura Dalem Pengalasan, Padangsambian

Nanggapang kelima juga dilaksanakan sesuai kemampuan dalam menentukan harinya. Bantennya sama dengan nanggapang kapertama. Tetapi tempat tirtanya sudah menggunakan sangku dan penirtan lis sakti adapun lis sakti itu terdiri dari tangga menek, tanga tuwun, sumbah-sumbah, basang wayah, basang muda, tangkar, geligih, ati.

Nanggapang keenam pelaksanannya banten yang digunakan sama seperti nanggapang pertama. Dengan tempat tirta menggunakan sangku dan penirtan lis solas warna.

Nanggapang ketujuh menggunakan tempat penirtan menggunakan beruk gede dan penirtan putih kuning.

Nanggapang kedelapan menggunakan sarana dengan tempat tirta berupa cawen putra dan pengetisan bunga jempiring putih. Sedangkan Nanggapang kesembilan juga bantennya sama dengan tempat tirta berupa cawen putra dan pengetisan bunga jempiring putih.
Penggunaan bungan atau pucuk tumbuhan dan alat atau wadah tirta memiliki makna tersendiri. Beruk memiliki arti memohonkan kekuatan kehadapan Ida Bhatara Wisnu, Payuk tanah dan jun yang terbuat dari tanah merupakan sarana memohon kekuatan panca datu, mengingat tanah merupakan panca datu.

Sangku memohonkan kekuatan para dewa, dan sangka memohon kehadapan hyang suksma, sehingga sangka tidak memiliki gegambaran dalam pembuatannya. “Pelaksanaan Nanggapang ini tidak harus Sembilan kali, tetapi sesuai kemampuan,” tutupnya.






Reporter: I Putu Mardika

Most Read

Artikel Terbaru