GIANYAR, BALI EXPRESS – Bergantung dengan konsumen dari wisatawan asing, pengrajin patung di sekitaran Singapadu, Sukawati, Gianyar, alami penurunan penjualan hingga 90 persen selama pandemi Covid-19. Saat ini, para pengrajin patung tersebut hanya bisa mengandalkan konsumen dari masyarakat lokal. Hal itu jelas tak cukup mendongkrak omzet menjadi lebih baik seperti sebelumnya.
“Lebih banyak turis dulu yang beli. Penurunan (omzet) hingga 90 persen karena pandemi. Dulu kami sampai ekspor ke luar negeri, seperti Jerman, Amerika, Perancis, Jepang. Semenjak pandemi stop semua penjualannya dan orang lokal saja yang beli,” ujar salah satu pengrajin patung batu, Made Seniati, saat diwawancara Senin (20/9).
Tak hanya berdampak pada penjualan, Made Seniati mengaku, ia terpaksa merumahkan 10 orang karyawannya lantaran tidak bisa menggaji karena sepinya pesanan. “Dulu di sini saya ngajak karyawan 10 orang, sekarang kalau ada orderan saja manggil tukang itupun cuma dua orang,” katanya.
Ia pun mengeluhkan pendapatannya yang turun selama pandemi. Selama 25 tahun berproduksi di Gianyar, kondisi ini merupakan penurunan penjualan terparah yang ia alami. Pasalnya, jauh sebelum pandemi ia bisa mengantongi Rp 20 juta sebulan. Namun saat ini hanya berkisar Rp 5 juta sebulan.
“Kami produksi patung sesuai orderan konsumen. Patungnya macam-macam sesuai request customer. Contohnya kalau dulu sebelum pandemi kebanyakan bule maunya patung Budha, Ganesha, kalau orang lokal dipesannya jenis pewayangan seperti patung Brahma, Wisnu untuk di Pura dan tempat suci,” paparnya.
Sementara untuk kisaran harganya, mulai dari Rp 10 ribu untuk patung terkecil dan Rp 20 juta untuk patung termahal dengan ukuran tinggi 2 meter lebar 70 meter. Bahannya sendiri mulai dari batu putih, palimanan, batu padas, batu hitam, batu hijau, lahar, hingga batu dari cetakan. “Kalau batu paras Bali didapat dari Bali langsung, kalau palimanan dan lahar dari Jogja. Sekarang sudah ada cetakan bikin batu dari beton atau bubuk paras,” katanya.(ika)