DENPASAR, BALI EXPRESS – Peternak ayam daging (broiler) dan peternak ayam petelur di Provinsi Bali nyaris kolaps. Pasalnya, melambungnya harga pakan tak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Disamping itu, pandemi Covid-19 yang belum mereda mengakibatkan sejumlah peternak ayam mandiri terpaksa gulung tikar.
“Peternak ayam broiler tidak terlalu mengalami kelangkaan pasokan pakan, yang mengalami kelangkaan peternak ayam petelur. Karena harga jagung untuk pakan mahal ditambah juga harga pakan impor mahal sekali,” ujar Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Bali, I Ketut Yahya Kurniadi saat dihubungi Rabu (22/9).
Ketut Yahya mengungkapkan, berdasarkan hasil pertemuan Peternak Layer Blitar dengan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu meminta agar harga jagung bisa disesuaikan. “Kami sih mengusulkan agar harga bibit ayam dan harga pakan bisa menyesuaikan atau turun. Karena dengan daya beli masyarakat yang sudah sangat lemah, kalau kami bekerja dengan harga pokok produksi terlalu tinggi kan susah jualnya,” kata dia.
Pihaknya khawatir, dengan kondisi daya beli masyarakat yang masih sangat rendah saat ini, jika HPP (harga pokok penjualan) melonjak tinggi, tidak ada masyarakat yang mau membeli daging maupun telur. Saat ini, sebut dia, harga bibit ayam sudah mencapai Rp 7.000 lebih. Sementara harga pakan jadi sudah menyentuh Rp 8.000 sampai Rp 9.000 per kilo dan harga pakan jagung Rp 6.000 per kilo. Yang mana sebelumnya, harga pakan ayam jadi di kisaran Rp 6.800 sampai Rp 7.000 per kilo. Sehingga, sambungnya, otomatis harga pokok produksi daging Rp 21.500 sampai Rp 22.000 per kilo.
“Sementara daya beli masyarakat masih rendah, siapa yang mau beli daging? Saudara kami di peternak ayam petelur kesusahan menjual telur. Harga telur jatuh, ada penumpukan, pada saat harga telur jatuh, ditambah harga jagung naik, harga pakan konsentrat dari pabrik juga naik, kan kelenger sekarang. Teman-teman peternak secara umum berat sekali sekarang,” katanya. “Satu sisi, pemerintah berharap para peternak selaku UMKM yang bisa menggerakkan ekonomi bisa menopang kebutuhan protein hewani masyarakat, kalau tidak diperhatikan pemerintah kan habis kami,” lanjutnya.
Dalam kondisi seperti ini, kata dia, para peternak khususnya peternak ayam petelur seperti membakar uang. Dia memaparkan, harga pokok telur di Bali Rp 1.100 per butir. Dalam 1 krat terisi 30 butir telur yang jika dihibahkan seharga Rp 33.000 per krat. Dengan harga tersebut, peternak baru kembali modal ternaknya. “Sekarang harga telur per krat Rp 27.000 artinya kan peternak rugi Rp 6.000 per krat atau dengan asumsi ayam 1.000 ekor, per hari mereka menalangi biaya pakan Rp 250.000 per 1.000 ekor ayam. Kalau peternak UMKM punya ayam 10.000 ekor, berarti per harinya mereka menalangi kerugian Rp 2.500.000 dan ini sudah berjalan sebulan lebih. Paling parah dua minggu belakangan ini,” bebernya.
Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah bisa melihat kondisi para peternak saat ini dan menyesuaikan harga pakan. Terlebih kata dia, di Bali saat ini tidak lagi ada dinas yang khusus menggarap peternakan seperti sebelumnya. “Di Bali, Dinas Peternakan sudah tidak ada, sekarang jadinya Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. Yang mengayomi kami sudah tidak ada. Katanya yang bisa menggerakkan perekonomian rakyat saat ini adalah sektor pertanian, kami peternak juga masuk sektor pertanian. Tapi kami dari peternak mandiri hampir kolaps. Pemerintah harusnya tanggap,” tegasnya.(ika)