25.4 C
Denpasar
Thursday, June 8, 2023

Satu Setengah Tahun Pandemi, Penjualan Tahu Tempe Merosot

DENPASAR, BALI EXPRESS – Satu setengah tahun pandemi, penjualan tahu dan tempe merosot. Padahal, tahu dan tempe merupakan makanan yang tergolong murah dan masih dapat dijangkau masyarakat dalam kondisi saat ini. Namun nyatanya, penjualan keduanya mengalami penurunan bahkan hingga 50 persen. Hal tersebut diakui salah satu produsen tahu asal Lombok, Sapriwan.

“Penjualan merosot lebih dari 50 persen, kalau dulu sebelum pandemi bisa produksi antara 350 kg sampai 400 kg sehari. Sekarang 150 kg per hari saya distribusi ke Pasar Badung saja, itupun kadang-kadang kurang,” ujarnya saat ditemui di lokasi Selasa (24/8).

Sapriwan mengungkapkan, berkurangnya penjualan tahu ini, dikarenakan permintaan di pasar terus mengalami penurunan. Disamping itu, banyaknya masyarakat rantau yang kembali ke kampung halaman, tutupnya sejumlah pedagang, rumah makan, restoran, serta hotel menjadi faktor menurunnya permintaan tahu.

Baca Juga :  Pedagang Pasar Badung Curhat, Ingin Segera Tempati Pasar Baru

Tak sampai di sana, bahan baku tahu yakni kedelai, juga mengalami kenaikan harga. Awalnya, ungkap Sapriwan, sebelum pandemi harga kedelai Rp 8 ribu sekilo, menjadi Rp 11 ribu sekilo. Sementara ia menghabiskan ratusan kilo selama produksi setiap harinya. “Untuk bahan baku kedelai, asal kita berani sama harga, kedelai itu ada,” kata dia.

Meskipun begitu, dirinya mesti tetap berproduksi setiap hari. Sehingga mau tak mau, untuk menekan pengeluaran, ia terpaksa merumahkan sejumlah karyawannya. “Kita kan mau tidak mau menjalani, yang kerja juga jadinya kita pulangkan. Dulu saya sama enam karyawan, sekarang tinggal tiga karyawan,” katanya.

Karena pandemi, ditambah penerapan PPKM, masyarakat mulai jarang ke pasar. Pelanggan-pelanggan pun, kata dia, mulai jarang terlihat. Biasanya, setiap membawa tahunya ke pasar, berapa pelanggan yang mengorder jelas. “Sekarang nggak jelas (kemana mereka perginya), jadi kadang tahu saya habis semua, kadang tidak,” ungkapnya. “Padahal tahu tempe ini ini kan tergolong makanan murah, Rp 10 ribu dapat untuk sekali makan satu keluarga. Tapi memang pembeli sekarang nggak kelihatan,” imbuhnya.

Baca Juga :  Disdikpora Buleleng Siap Ajukan Permohonan PTMT

Pria yang memulai usaha tahunya sejak tahun 1997 ini mengaku, kondisi pandemi ini merupakan kondisi penurunan penjualan terparah. Lantaran kondisinya berlarut-larut. “Ini kondisi terparah daripada bencana dulu bom Bali, lalu ada masalah formalin. Ini terparah, karena ini mendunia dan berlarut-larut,” tandasnya.(ika)


DENPASAR, BALI EXPRESS – Satu setengah tahun pandemi, penjualan tahu dan tempe merosot. Padahal, tahu dan tempe merupakan makanan yang tergolong murah dan masih dapat dijangkau masyarakat dalam kondisi saat ini. Namun nyatanya, penjualan keduanya mengalami penurunan bahkan hingga 50 persen. Hal tersebut diakui salah satu produsen tahu asal Lombok, Sapriwan.

“Penjualan merosot lebih dari 50 persen, kalau dulu sebelum pandemi bisa produksi antara 350 kg sampai 400 kg sehari. Sekarang 150 kg per hari saya distribusi ke Pasar Badung saja, itupun kadang-kadang kurang,” ujarnya saat ditemui di lokasi Selasa (24/8).

Sapriwan mengungkapkan, berkurangnya penjualan tahu ini, dikarenakan permintaan di pasar terus mengalami penurunan. Disamping itu, banyaknya masyarakat rantau yang kembali ke kampung halaman, tutupnya sejumlah pedagang, rumah makan, restoran, serta hotel menjadi faktor menurunnya permintaan tahu.

Baca Juga :  Hotel Tutup, Petambak Bingung Jual Udang

Tak sampai di sana, bahan baku tahu yakni kedelai, juga mengalami kenaikan harga. Awalnya, ungkap Sapriwan, sebelum pandemi harga kedelai Rp 8 ribu sekilo, menjadi Rp 11 ribu sekilo. Sementara ia menghabiskan ratusan kilo selama produksi setiap harinya. “Untuk bahan baku kedelai, asal kita berani sama harga, kedelai itu ada,” kata dia.

Meskipun begitu, dirinya mesti tetap berproduksi setiap hari. Sehingga mau tak mau, untuk menekan pengeluaran, ia terpaksa merumahkan sejumlah karyawannya. “Kita kan mau tidak mau menjalani, yang kerja juga jadinya kita pulangkan. Dulu saya sama enam karyawan, sekarang tinggal tiga karyawan,” katanya.

Karena pandemi, ditambah penerapan PPKM, masyarakat mulai jarang ke pasar. Pelanggan-pelanggan pun, kata dia, mulai jarang terlihat. Biasanya, setiap membawa tahunya ke pasar, berapa pelanggan yang mengorder jelas. “Sekarang nggak jelas (kemana mereka perginya), jadi kadang tahu saya habis semua, kadang tidak,” ungkapnya. “Padahal tahu tempe ini ini kan tergolong makanan murah, Rp 10 ribu dapat untuk sekali makan satu keluarga. Tapi memang pembeli sekarang nggak kelihatan,” imbuhnya.

Baca Juga :  Mohon ke Dang Hyang Tanah Jawi, agar Pandemi Segera Berlalu

Pria yang memulai usaha tahunya sejak tahun 1997 ini mengaku, kondisi pandemi ini merupakan kondisi penurunan penjualan terparah. Lantaran kondisinya berlarut-larut. “Ini kondisi terparah daripada bencana dulu bom Bali, lalu ada masalah formalin. Ini terparah, karena ini mendunia dan berlarut-larut,” tandasnya.(ika)


Most Read

Artikel Terbaru