26.5 C
Denpasar
Tuesday, June 6, 2023

Biaya Operasional Tinggi, Puluhan Hotel Dijual

MANGUPURA, BALI EXPRESS- Pandemi Covid-19 membuat pariwisata anjlok. Akibatnya, puluhan hotel yang ada di Kabupaten Badung berpindah tangan alias dijual. Hal ini disebabkan oleh pendapatan selama pandemi tidak berbanding lurus dengan biaya operasional.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung I Gusti Agung Rai Suryawijaya mengatakan, banyaknya aset hotel dan restoran di Badung yang dijual disebabkan oleh dampak dari pandemi Covid-19. “Sampai saat ini hotel dan restoran yang sudah dijual dan pailit ada sekitar 50-an. Pandemi ini sangat berdampak, karena setahun tiga bulan ini betul-betul tanpa penghasilan,” ujar Agung Ray, Minggu (27/6).

Menurutnya, biaya operasional hotel dalam sebulan tidak berbanding lurus dengan pendapatan lantaran untuk hotel bintang tiga dengan 100 kamar dalam kondisi beroperasi, diperlukan biaya operasional mencapai Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Sedangkan dalam keadaan tutup diperlukan biaya minimal Rp 50 juta sampai Rp100 juta. “Kalau dilihat dari tingkat hunian yang saat ini hanya 10 persen dari jumlah kamar yang tersedia di Bali melebihi 146 ribu. Kalau diisi 7.000-9.000 wisatawan itu jumlahnya masih sangat sedikit, tentunya tidak sebanding,” jelas Agung Ray yang juga selaku Wakil Ketua PHRI Bali.

Baca Juga :  Senjata Brimob yang Hilang di Ayana Ada di Avanza Parkir 3 Bulan

Lebih lanjut, Agung Ray menuturkan, penjualan hotel ini tentunya tak dapat memberikan keuntungan baik bagi pemilik maupun karyawan. Pasalnya hotel yang dijual sudah pasti dengan harga yang lebih rendah dari harga normal sebelum pandemi.  Dalam kondisi normal, harga hotel bisa mencapai Rp 100 miliar. Dengan kondisi sekarang bisa turun sampai 20 persen. “Anggaplah mampu menjual Rp 75 miliar sampai Rp 85 miliar, itu akan habis untuk biaya makan dan untuk memberikan pesangon kepada pegawai. Itu kan kewajiban dari pemilik dan manajemen hotel,” paparnya.

Untuk menekan penjualan hotel atau terjadinya hotel yang bangkrut, pria yang juga Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Badung ini berpendapat bahwa diperlukan beberapa upaya agar kunjungan wisatawan meningkat. Terlebih agar hotel mampu break event point atau tidak untung dan tidak rugi diperlukan minimal 40 persen tingkat hunian. “Ada tiga langkah strategis yang haus dilakukan, pertama vakniasi untuk seluruh masyarakat bali minimal 70 persen, agar herd immunity dapat terbentuk dan bali menjadi daerah green zone. Kedua pemerintah harus berani memberikan open border di Bali, sehingga mampu mendatangkan wisatawan dari beberapa negara, seperti negara yang sudah berani lepas masker setelah vaksin, atau negara-negara di Eropa yang saat ini mampu mengelar Uefa Euro yang melibatkan banyak penonton,” harapnya.

Baca Juga :  Biaya Parkir BMW Misterius yang 4 Tahun di Bandara Mencapai Rp 70 Juta

“Terakhir pemerintah pusat harus memberikan stimulus atau soft load kepada stake holder pariwisata sampai tahun 2023. Karena Bali yang setiap tahunnya sudah menyumbang devisa terbesar, apalagi di tahun 2019 mencapai Rp111 triliun. Jadi saat ini dibantu Rp 9 triliun dalam situasi penyelamatan yang darurat kan lebih baik. Jika tidak dilakukan mungkin akan lebih banyak yang kehilangan aset,” pungkasnya. (esa)

 


MANGUPURA, BALI EXPRESS- Pandemi Covid-19 membuat pariwisata anjlok. Akibatnya, puluhan hotel yang ada di Kabupaten Badung berpindah tangan alias dijual. Hal ini disebabkan oleh pendapatan selama pandemi tidak berbanding lurus dengan biaya operasional.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung I Gusti Agung Rai Suryawijaya mengatakan, banyaknya aset hotel dan restoran di Badung yang dijual disebabkan oleh dampak dari pandemi Covid-19. “Sampai saat ini hotel dan restoran yang sudah dijual dan pailit ada sekitar 50-an. Pandemi ini sangat berdampak, karena setahun tiga bulan ini betul-betul tanpa penghasilan,” ujar Agung Ray, Minggu (27/6).

Menurutnya, biaya operasional hotel dalam sebulan tidak berbanding lurus dengan pendapatan lantaran untuk hotel bintang tiga dengan 100 kamar dalam kondisi beroperasi, diperlukan biaya operasional mencapai Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Sedangkan dalam keadaan tutup diperlukan biaya minimal Rp 50 juta sampai Rp100 juta. “Kalau dilihat dari tingkat hunian yang saat ini hanya 10 persen dari jumlah kamar yang tersedia di Bali melebihi 146 ribu. Kalau diisi 7.000-9.000 wisatawan itu jumlahnya masih sangat sedikit, tentunya tidak sebanding,” jelas Agung Ray yang juga selaku Wakil Ketua PHRI Bali.

Baca Juga :  Berlalu 4 Tahun, Kasus Koperasi Sejahtera Mulia Masih Abu-abu

Lebih lanjut, Agung Ray menuturkan, penjualan hotel ini tentunya tak dapat memberikan keuntungan baik bagi pemilik maupun karyawan. Pasalnya hotel yang dijual sudah pasti dengan harga yang lebih rendah dari harga normal sebelum pandemi.  Dalam kondisi normal, harga hotel bisa mencapai Rp 100 miliar. Dengan kondisi sekarang bisa turun sampai 20 persen. “Anggaplah mampu menjual Rp 75 miliar sampai Rp 85 miliar, itu akan habis untuk biaya makan dan untuk memberikan pesangon kepada pegawai. Itu kan kewajiban dari pemilik dan manajemen hotel,” paparnya.

Untuk menekan penjualan hotel atau terjadinya hotel yang bangkrut, pria yang juga Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Badung ini berpendapat bahwa diperlukan beberapa upaya agar kunjungan wisatawan meningkat. Terlebih agar hotel mampu break event point atau tidak untung dan tidak rugi diperlukan minimal 40 persen tingkat hunian. “Ada tiga langkah strategis yang haus dilakukan, pertama vakniasi untuk seluruh masyarakat bali minimal 70 persen, agar herd immunity dapat terbentuk dan bali menjadi daerah green zone. Kedua pemerintah harus berani memberikan open border di Bali, sehingga mampu mendatangkan wisatawan dari beberapa negara, seperti negara yang sudah berani lepas masker setelah vaksin, atau negara-negara di Eropa yang saat ini mampu mengelar Uefa Euro yang melibatkan banyak penonton,” harapnya.

Baca Juga :  Aprindo Bali Sebut Banyak Karyawan akan Dirumahkan Bila PPKM Berlanjut

“Terakhir pemerintah pusat harus memberikan stimulus atau soft load kepada stake holder pariwisata sampai tahun 2023. Karena Bali yang setiap tahunnya sudah menyumbang devisa terbesar, apalagi di tahun 2019 mencapai Rp111 triliun. Jadi saat ini dibantu Rp 9 triliun dalam situasi penyelamatan yang darurat kan lebih baik. Jika tidak dilakukan mungkin akan lebih banyak yang kehilangan aset,” pungkasnya. (esa)

 


Most Read

Artikel Terbaru