GIANYAR, BALI EXPRESS – Dari 1.894 hotel dan restoran di Gianyar yang diusulkan untuk dapat menerima dana hibah pariwisata dari pemerintah pusat, hanya 787 yang memroses pencairan dana hibah pariwisata tersebut. Sisanya tidak memenuhi persyaratan, serta ada juga yang mengundurkan diri lantaran mengetahui dana hibah yang didapatkan nominalnya tidak seberapa.
Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Gianyar Ngakan Jati Ambarsika menjelaskan, dana hibah pariwisata merupakan domain dari Dinas Pariwisata, namun bersentuhan dengan BPKAD untuk proses pencairannya.
Berdasarkan data dari BPKAD Gianyar, dari 1.894 hotel dan restoran yang masuk database, sebanyak 112 mundur sebelum SK Penetapan Penerima Hibah Pariwisata keluar. Selajutnya sebanyak 207 mundur setelah SK Penetapan Penerima Hibah Pariwisata keluar, dan sebanyak 788 tidak mengurus hibah pariwisata, hanya sebanyak 787 maju untuk proses pencairan hibah pariwisata.
Ia menyebutkan, jumlah hotel dan restoran yang masuk data base adalah sebanyak 1.894. Yang kemudian diajukan ke pusat, sehingga Kabupaten Gianyar mendapatkan alokasi dana hibah pariwisata sebesar Rp 135 Miliar lebih.
“Sebanyak 70 persen atau Rp 94,5 Miliar diberikan kepada pelaku usaha hotel dan restoran, dan 30 persen digunakan untuk program pembangunan penunjang pariwisata, termasuk operasional,” paparnya.
Hanya saja dari 1.894 hotel dan restoran tersebut tidak seluruhnya mendapatkan dana hibah pariwisata. Sebab, ada yang tidak bisa memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh pusat.
Ada pula yang memang mengundurkan diri secara sadar karena tidak bisa memenuhi persyaratan, serta ada juga yang malas mengurus segala persyaratan yang dibutuhkan, karena mengetahui dana hibah yang didapat besarannya tidak seberapa.
Adapun persyaratan yang dimaksud adalah memiliki Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), telah melakukan pembayaran pajak tahun 2019 dan lainnya. “Karena ada banyak hotel dan restoran yang mendapatkan dana hibah itu dibawah Rp 5.000, bahkan ada yang dapat Rp 1.000. Jadi banyak yang malas mengurus pencairan dana hibah ini karena merasa biaya fotocopi dan materai saja lebih mahal daripada dana hibah yang didapat,” jelas Ambarsika.
Ia menyebutkan usaha yang tidak mengambil hibah itu ada dagang lawar di emperan jalan raya, hingga home stay di Jalan Hanoman Ubud yang memperoleh hibah sangat kecil.
“Pelaku usaha yang memperoleh hibah kecil itu karena jumlah pajak yang dibayarkan pada 2019 juga kecil. Yang punya omzet Rp 5 juta, wajib bayar pajak. Kalau bayarnya kecil, dapat hibah kecil,” bebernya.
Besaran dana hibah pariwisata yang diterima pelaku usaha hotel atau restoran dapat diketahui melalui formula yang telah ditetapkan oleh pusat. Yakni pembayaran pajak dalam satu tahun dikali 20 persen. “Misalnya ada hotel yang membayar pajak Rp 16 Miliar, dikalikan 20 persen, jadi dana hibah yang didapat Rp 3 Miliar,” imbuhnya.
Atas kondisi tersebut maka hanya 787 hotel dan restoran saja yang mendapatkan dana hibah pariwisata dengan total anggaran yang digelontorkan sebesar Rp 84 Miliar lebih. Kemudian anggaran yang tersisa akan menjadi SILPA.
Pihaknya berharap, para pengusaha kedepannya lebih taat membayarkan pajak kepada pemerintah daerah. Sebab, pajak daerah yang dipungut dari hotel itu adalah pajak oleh pengunjung yang dititipkan kepada hotel, sehingga harus dibayarkan.
“Banyak WP (Wajib Pajak) tidak menyetor meski memungut. Dia beraktivitas, misalnya swing, sudah operasional, tapi tidak bayar pajak,” tandasnya.