Di tengah cerita Ki Lurah Singoranu tentang keinginan Ratna Nareh menggelar pertunjukan di Sanggar Pamujan untuk menyerap energi baik maupun buruk, membuat Ratu Sendang Sarpamara murka.
Surologo kemudian menyela cerita Ki Lurah. Ia tiba-tiba ingin mengetahui bagaimana penduduk Desa Wonontoro yang tinggal di daerah terpencil dapat memiliki Sanggar Pamujan yang fungsinya telah disalahgunakan oleh Ratna Nareh.
Ki Lurah Singoranu pun menceritakan bagaimana terciptanya Sanggar Pamujan di Desa Wonontoro kepada Surologo. Dahulu rombongan besar datang dari arah barat, dipimpin oleh seorang Rsi yang penuh wibawa. Sepanjang perjalanannya ke arah timur, beliau bersama para muridnya bertapa di gunung hingga tibalah di Sungai Para Lingga di Gunung Raung. Kedatangannya jauh sebelum kerajaan milik Raja Airlangga berdiri, jauh sebelum Calonarang ada dan tentu saja jauh dari masa Kerajaan Majapahit.
Di tepi Sungai Para Lingga itulah sang Rsi membuat pasraman atau pertapaan seperti tempat-tempat sebelumnya yang pernah disinggahinya. Rsi berkarisma itu bernama Rsi Markandea, yang rupanya mendapat pawisik gaib untuk melanjutkan perjalanannya ke arah timur. Dengan ketaatannya yang luar biasa, bersama para muridnya sang Rsi kembali menerabas hutan hingga menyeberangi Segoro Rupek, selat kecil di arah timur menuju sebuah tanah keramat.
Namun sesampai di sana, para murid yang dibawa justru banyak yang meninggal, setelah membabat hutan lebat untuk digunakan sebagai pemukiman. Akibatnya, Rsi Markandea harus kembali ke pasramannya di pinggir Sungai Para Lingga di Gunung Raung untuk bertapa menemukan jalan keluar. Dari pertapaannya itu, beliau kembali mendapat pawisik untuk melakukan upacara suci sebelum menjelajahi lebih jauh tanah keramat itu. Upacara itu kemudian dilaksanakan di puncak Gunung Toh Langkir.
Selain memberikan sejumlah persembahan, Rsi Markandea menanam Panca Datu yaitu lima elemen logam yang terdiri atas emas, perak, perunggu, tembaga dan besi. Saat upacara itu selesai dilaksanakan dan segala menjadi baik-baik saja, di puncak itulah sang Rsi baru menyadari bahwa tanah keramat itu ternyata terpisah dari tanah Jawa. Meski hanya dibatasi selat kecil. Pulau tersendiri itu kemudian dikenal sebagai Bali yang dalam bahasa Palawanya bisa dimaksudkan sebagai persembahan bagi para Dewata. Sementara Gunung Tohlangkir akhirnya kita kenal sebagai Gunung Agung saat ini.
Suatu ketika ada penduduk Wonontoro yang keluar desa melalui sisi utara menuju Sungai Para Lingga untuk mencari bibit-bibit ikan. Sesampai di sana baru ia tahu bahwa ada sebuah pasraman telah berdiri. Pasraman itu hanya dihuni beberapa orang kala itu, karena sebagian besar telah ke Bali mengikuti Rsi Markandea. Di pasraman itulah ia tertarik dengan ajaran-ajaran Siwa yang diketahui dari sisa pengikut Rsi Markandea. Saat pulang ke Wonontoro, dia mengajarkannya juga kepada penduduk yang lain, kemudian berdirilah Sanggar Pamujan sebagai ranah puja. Pada saat itulah banyak penduduk Wonontoro menganut ajaran Siwa.